Lukman Hakim Saifuddin: Agama dan Bangsa Satu Kesatuan yang Tak Bisa Dipisahkan

Lukman Hakim Saifuddin: Agama dan Bangsa Satu Kesatuan yang Tak Bisa Dipisahkan

Lukman Hakim Saifuddin: Agama dan Bangsa Satu Kesatuan yang Tak Bisa Dipisahkan
Lukman Hakim Saifuddin

Dalam halaqah kebangsaan yang diselenggarakan oleh KUPI II di Jepara (24/11) mantan Menteri Agama tahun 2014-2019, Lukman Hakim Saifuddin memaparkan keterikatan antara agama dan bangsa. Menurutnya keberagaman dan keberagamaan adalah ciri khas dari Indonesia, keduanya memberikan warna dan menjadi jalan bagi Indonesia untuk semakin berkembang.

“Agama dan bangsa adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan” Tutur Lukman.

Relasi agama dan negara dibuktikan dengan adanya simbiosis mutualisme yang mana antar keduanya saling membutuhkan satu sama lain. Negara membutuhkan agama dalam menunjukkan arah kebenaran, sedang agama membutuhkan negara untuk perlindungannya.

“Cek and balances” tambah Lukman

Lukman berpendapat bahwa ada empat tantangan yang harus dihadapi dalam upaya memupuk peran perempuan dalam kebangsaan.

Pertama, keluar dari inti pokok agama. Agama apabila dipandang secara ushuliyah/universal pada dasarnya memiliki tujuan untuk memberikan rasa aman, menegakkan kemanusiaan, serta menuju pada kemaslahatan.

Kedua, adanya tafsir keagamaan yang tidak sesuai dengan metodologinya. Lahirnya tafsir yang tidak sesuai dengan metode penafsiran akan menghasilkan penafsiran yang bertolak belakang pada kesetaraan gender. Tafsir ataupun kitab klasik ditulis berdasarkan keadaan sosio historis pada masa hidup penulisnya. Oleh karena itu, seharusnya tafsir keagamaan dipandang secara kontekstual bukan hanya secara tekstual.

Ketiga, belum Pro pada Keadilan Gender. Keadilan gender yang telah digaung-gaungkan tidak lantas menjadikan seluruh manusa melek terhadap gender. Keterbatasan akses dan pengetahuan mengakibatkan beberapa tempat masih menjadi PR untuk penyuluhan adil gender.

Keempat, Budaya Patriarki. Adanya subordinasi, marginalisasi perempuan tidak lepas pada keterikatan budaya masa lalu dimana perempuan dipandang sebagai objek seksual. Salah satu stereotip yang diberikan kepada perempuan adalah sumur, dapur, kasurĀ . Ketiga hal tersebut seolah menjadi landasan diakuinya seseorang menjadi perempuan. Oleh karena itu, perempuan dengan segala kekuatannya diharapkan mampu keluar dari budaya patriarki dengan mengasah kemampuan intelektual serta memberikan pengetahuan kepada masyarakat tentang bagaimana kesetaraan seharusnya diperjuangkan.

Lukman menyimpulkan bahwa perempuan sebenarnya memiliki kekuatan yang amat besar, Karena perempuan memandang dunia dengan cinta dan kasih sayang. Dengan kekuatan tersebut seharusnya perempuan bisa memancarkan sinarnya tidak hanya dalam ranah kecil tapi juga dalam ranah semesta.

“Selalu hadapi problem dengan cinta,” tutup Lukman hakim.