Berbicara tentang kehidupan pesantren, sudah barang tentu sosok kiai dan santri selalu menjadi tokoh sentral yang selalu menarik untuk dikaji. Terutama dalam hal humornya. Bahasan ini selalu menggelitik dan sudah menjadi keunikan yang begitu khas dalam dunia pesantren.
Bagaimana tidak unik? Pesantren yang notabene adalah tempat mencari ilmu, mengabdi, dan ladang berkah santri dari kiainya; seringkali disana muncul joke-joke, guyonan, dan celatuan yang biasa menjadi hiburan gratis bagi santri maupun kiai di tengah kepenatan mencari ilmu dan ketatnya peraturan pondok.
joke-joke, guyonan, dan celatuan pesantren yang biasanya dilontarkan oleh kiai kepada santrinya, maupun yang terjadi di kalangan santri itu sendiri seolah mengalir secara alami dan apa adanya. Dan seolah fenomena ini selalu ada dalam kehidupan pesantren.
Lantas darimana para kiai maupun santri menimba sumber humornya? Rupa-rupanya begini, konon sense of humor adalah bawaan sejak lahir. Tapi ada juga yang bilang kekayaan dan rasa humor pada diri seseorang itu, bersumber dari lingkungan pergaulan. Namun bisa juga, kecintaan pada figur yang humoris, begitu juga bisa jadi akibat suatu situasi dan kondisi, seseorang bisa terpengaruh dan tiba-tiba bersikap yang membuat orang lain merasa senang, dan bahkan terpingkal.
Terlepas darimana asal-muasal sense of humor di kalangan kiai dan santri, berikut akan dijelaskan pusparagram tipologi humor pesantren atau gampangnya tipe-tipe humor pesantren.
Pertama, humor satire dan sinisme. Humor jenis ini berisi tentang sindiran ataupun kritik akan tetapi muatan ejekannya lebih dominan. Kiai maupun santri apabila tidak pintar-pintar berdialektika menggunakan humor ini, bisa-bisa akan terjadi sesuatu yang tidak mengenakkan. Satire dan sinisme ini biasanya terjadi dari kiai ke santri, kiai ke kiai lain, dan antar santri. Tidak ada santri yang berani mencoba ke kiai. Karena kalau sudah begitu tidak lagi disebut humor.
Kedua, plesetan. Orang barat menyebutnya imitation and parody. Isinya memlesetkan segala sesuatu yang telah mapan atau populer. Ia menjadi semacam alat eskapisme kesumpekan. Terobosannya lewat pintu tak terduga dan ini cukup mengundang surprise. Istilah ‘ahli hisab’ (pakar hitung ilmu falak) jadi perokok.
Ketiga, olah logika. Humor bergaya analisis ini bisa disebut humor yang berkelas. Lelucon ini banyak digemari masyarakat tertentu, terutama kalangan terdidik.
Keempat, seks. Seks disini bukan dalam artian gender atau jenis kelamin, tetapi yang menjurus porno, seperti senggama, onani, ciuman dan sebagainya yang diceritakan vulgar. Karena sifatnya yang ringan tidak perlu berpikir lelucon ini efektif mengundang tawa. Biasanya humor tentang seks ini muncul saat mengakaji kitab fikih pada bab-bab tertentu. Tentunya para santri mengerti lah tanpa harus saya jlentrehkan.
Terakhir, apologisme. Ini bukan untuk melucu, tetapi berlindung di balik lelucon. Semacam senjata. Upaya pembenaran yang tergolong “pengecut” karena ketidakberdayaan mempertanggungjawabkan lontaran, pernyataan atau perbuatan yang ternyata tak memiliki argumen. Untuk menetralisir, karena biasanya enggan mengakui kesalahan, lalu berkilah, “Ah, hanya guyon kok.”
Itu tadi sedikit tentang pusparagam tipologi humor yang banyak terjadi di pesantren. Tipe-tipe ini bisa bertambah sejalan dengan pengahayatan kiai dan santri akan humor itu sendiri. Karena humor adalah proses kreatif yang dinamis.
Humor merupakan salah satu dari banyak fenomena yang ada di pesantren. Jadi tidak bisa digeneralisasi bahwa semua kiai dan santri itu memiliki sense of humor, sebab tak sedikit pula sosok kiai maupun santri yang pendiam, atau kharismatik, yang sangat dicintai oleh santri, umat, dan masyarakat pada umumnya. Wallahu A’lam bisshowaab