Dosen program studi Ilmu Al-Qur`an dan Tafsir UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr. Lilik Ummi Kaltsum, menjelaskan bahwa tren tahfidz yang berkembang di Indonesia tidak dibarengi dengan tren tajwid. Dalam arti, para penghafal masih banyak yang belum memperhatikan bacaan Al-Qur`annya sesuai dengan tuntunan ilmu tajwid.
“Tren ini kemudian dibangun, tidak tahu oleh siapa yang mengawali, tetapi sayangnya tren tahfidz ini tidak diimbangi dengan tren tajwid,” jelasnya dalam kegiatan Multaqo Ulama Al-Qur`an Nusantara 2022 di Pondok Pesantren Al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta, Rabu (16/11).
Sebelumnya, Dekan II Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini menyampaikan keresahannya dengan tren tahfidz Al-Qur`an di Indonesia. Menurutnya, banyak sekolah menjadi mahal karena ada program tahfidz.
“Yang asalnya TK itu biasa (biaya pendidikannya) menjadi mahal karena ada tahfidznya. SD yang asalnya biasa saja menjadi mahal karena ada IT-nya. SeDIT (SDIT), SeMPIT,” ucapnya sambil tertawa kecil.
Keresahan itu, berdasarkan pengalaman pribadinya, timbul lantaran beliau menemukan fenomena masyarakat yang tidak mempermasalahkan kenaikan biaya pendidikan di sekolah berlabel IT, namun ketika biaya pendidikan pesantren naik, mereka mempermasalahkan.
“Kalau pesantren dinaikkan sedikit kok protes? Padahal di sini lebih mulia, sanadnya sudah jelas,” lanjutnya.
Kemuliaan (re: kelebihan) yang dimaksud oleh Lilik adalah pengajaran Al-Qur`an yang diberikan di pondok pesantren. Sebagaimana diketahui, pembelajaran Al-Qur`an di pesantren diawali dengan guru membacakan ayat Al-Qur`an, murid terlebih dahulu menyimak bacaan gurunya, lalu kemudian menirukannya. Metode seperti itu mencontoh metode pewahyuan Al-Qur`an oleh malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad, seperti yang disebutkan dalam Q.s. Al-Qiyamah ayat 18.
فَاِذَا قَرَأْنٰهُ فَاتَّبِعْ قُرْاٰنَهٗ ۚ
“Maka, apabila Kami telah selesai membacakannya, ikutilah bacaannya itu.” (Terjemah Kemenag, 2019)
“’Athaf fa’ itu (maknanya) ada jeda dulu, dengarkan dulu, kemudian ikutilah,” terangnya.
Lebih dari itu, dalam mempelajari Al-Qur`an, tidak cukup hanya dengan menghafal dan mengikuti bacaan dari guru, melainkan juga mempelajari makna kandungannya. Itulah kelebihan lain yang dimiliki oleh pondok pesantren.
“Kalau kita di sini, kita punya profil yang utama, yang eksklusif, yang bagus. Bahwa tidak hanya hafal di lafal, tapi juga tahu maknanya sehingga bisa mengamalkan,” sambungnya.
Menurutnya, hanya dengan mengetahui makna kandungan Al-Qur`an, seseorang bisa tahu keluhuran akhlak Rasulullah yang dikatakan “kana khuluquhu Al-Qur`an”, akhlak beliau adalah Al-Qur`an itu sendiri.
“Sehingga tembuslah kepada misi utama kenabian, “innama bu’itstu li utammima makarimal akhlaq” (Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak),” tegasnya.
Semua itu menjadi kritik bagi kita semua, khususnya penghafal Al-Qur`an, agar memperhatikan setiap bacaan Al-Qur`an yang kita lantunkan. Itu tidak bisa dilakukan kecuali dengan berguru kepada ustadz atau kyai yang memiliki kompetensi dan sanad yang jelas. Lebih afdhol lagi jika kita bersedia mendalami makna kandungan dari setiap ayat yang kita baca. [NH]