Salah satu bentuk keuniversalan ajaran Islam, sebagaimana yang disebutkan oleh Syekh Abdul Wahhab Khalaf dalam mukadimah Ushul Fikih-nya adalah bahwa tidak satupun sisi kehidupan manusia di dunia ini, kecuali terdapat aturan, tuntunan, serta arahan syariat berdasarkan petunjuk dari al-Qur’an dan Sunah di dalamnya. Hal ini seakan menutup pintu bagi seorang muslim untuk mengambil referensi kehidupan dari yang lain selain Islam, karena semuanya sudah ada dan paripurna dalam ajaran Islam.
Ungkapan ini seakan kontras dengan apa yang pernah disinggung oleh Imam Ibn Rusyd dalam mukadimah Bidayah al-Mujtahidnya yang menyebutkan bahwa ajaran Islam sebenarnya belum bisa dikatakan “sempurna” dalam artian yang sederhana, karena pada kenyataannya teks al-Qur’an dan Hadis sudah terhenti sejak wafatnya Rasulullah Saw, sementara realitas kehidupan senantiasa berubah seiring berjalannya waktu dan berubahnya situasi, kondisi, serta teknologi yang ada.
Pertanyaannya sekarang adalah, bagaimana mungkin teks yang terbatas itu (al-Qur’an dan Hadis) bisa menjawab realitas yang maha luas serta selalu berubah? Apa makna universalitas Islam sebagaimana yang diungkapkan oleh Syekh Abdul Wahhab Khalaf di atas? Mungkinkah kedua premis tersebut disatukan sehingga menghasilkan sebuah natijah (kesimpulan) yang logis dan rasional? Ataukah memang salah satunya harus dibantah untuk mengunggulkan yang lain?
Menurut hemat kami, kedua ungkapan tersebut tidak perlu dikontradiksikan karena pada dasarnya, keduanya mempunyai orientasi yang sama. Keuniversalan Islam yang dimaksud oleh statement pertama terletak pada tujuan umum diturunkannya syariat, yaitu untuk menata sistem kehidupan manusia sehingga semuanya berorientasikan Islam. Dengan demikian, apapun yang dilakukan oleh seseorang haruslah membawa spirit/prinsip keberislaman itu, tanpa harus menformalisasikannya.
Hal inilah yang disebut dengan maqashid ‘ammah/kulliyyah (tujuan universal) dari ajaran Islam sebagaimana yang dirumuskan oleh al-Raisuni dalam karyanya Muhadarat Fi Maqashid al-Syari’ah. Ia menegaskan bahwa tujuan umum syariat pada dasarnya adalah untuk mewujudkan perdamaian, keadilan, serta perlindungan terhadap agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan manusia. Hal ini disebabkan karena apapun bentuk syariat pasti mengandung salah satu dari tujuan-tujuan umum tersebut.
Sedangkan yang dimaksud dengan statement kedua adalah bahwa untuk menunjang keuniversalan ajaran Islam, maka dibutuhkan semacam usaha untuk memanifestasikannya.
Ungkapan di atas sengaja disebutkan oleh Ibn Rusyd dalam rangka mengkritisi sikap sebagian ahli zahir (aliran tekstual) yang ada pada zaman beliau atau sebelumnya yang tidak mau/enggan untuk menggunakan metode takwil atau qiyas dalam memahami ajaran agama, khususnya untuk persoalan-persoalan yang tidak dijelaskan secara spesifik oleh teks al-Qur’an dan Hadis.
Bagi mereka (ahli zahir), jika Allah dalam al-Qur’an-Nya ataupun Nabi Muhammad Saw dalam hadisnya tidak menyinggung hukum sebuah persoalan tertentu misalnya, maka persoalan tersebut tidak ada hukumnya sama sekali, sehingga seseorang muslim tidak diperkenankan untuk membuat-buat hukum terhadap perkara tersebut.
Sekalipun menurut penelitian al-Jabiri, tidak semua ahli zahir yang mempunyai pandangan seperti itu sebagaimana yang insyaAllah akan kami jelaskan di lain kesempatan.
Bisa dibayangkan, jika kita menggunakan perspektif ini, betapa sulitnya agama Islam diterapkan di daerah-daerah tertentu di mana di sana terdapat fenomena-fenomena baru yang belum pernah disebutkan dalam teks-teks syariat.
Demikian juga, betapa repotnya umat Islam yang berada di daerah-daerah minoritas Islam seperti Eropa dan Amerika misalnya, manakala ajaran Islam hanya dipahami dari apa yang tersurat dalam teks al-Qur’an dan Hadis saja, tanpa arif dengan hal yang tersirat.
Sehingga dengan demikian, untuk mewujudkan keuniversalan ajaran Islam sebenarnya tidak cukup hanya dengan menyesuaikan setiap amalan yang dilakukan dengan format lahiriah teks semata, namun juga di samping itu perlu disandingkan dengan hal-hal lain yang berada di luar horizon dari teks itu sendiri seperti kondisi sosial daerah dan masyarakat tertentu, perubahan teknologi dan informasi, tujuan dan maksud dari sebuah perintah atau larangan, dan lain sebagainya. Allahu A’lam