Pelaku ledakan bom di Gereja Jolo, Sulu, Filipina pada 27 Januari 2010 diduga berasal dari Indonesia. Hal tersebut seperti yang di utarakan oleh Menteri Dalam Negeri Filipina, Duardo Ano, pada 1 Februari lalu. Sebelumnya, aparat Filipina menyatakan bahwa ledakan tersebut bersumber dari bom yang dikontrol menggunakan remote dari jarak jauh. Adalah Kamah, saudara dari pemimpin Abu Sayyaf Group (ASG) yang sudah meninggal beranama Surakah Ingog, yang terekam oleh CCTV memegang mobile phone sebagai alat control untuk meledakan bom.
Menurut keterangan saksi yang hadir di katedral Jolo, seorang wanita membawa tas dan meletakannya di salah satu bangku gereja. Tas tersebutlah yang dicurigai berisi bahan peledak. Setelah wanita itu pergi, kemudian terjadilah ledakan. Selang beberapa hari, Presiden Duterte menyatakan bahwa ledakan tersebut merupakan hasil dari bom bunuh diri. Pernyataan Presiden Duterte kemudian dikuatkan oleh Duardo Ano dan Menteri Pertahanan Filipina, Delfin Lorenzana, yang menyatakan bahwa ledakan tersebut merupakan bom bunuh diri karena ditemukannya serpihan-serpihan tubuh yang tidak diklaim di gereja katedral.
Pasangan Suami-Istri sebagai Pelaku
Masih menurut Ano, pelaku dari ledakan Jolo adalah pasangan suami istri asal Indonesia yakni Abu Huda, orang Indonesia yang sudah lama tinggal di Sulu dan istrinya. Mereka di arahkan oleh kelompok Abu Sayyaf Grup untuk akhirnya berhasil meledakan diri di katedral Jolo. Namun, pernyataan Ano mendapat kritikan dari Sidney Jones, salah satu ahli bidang kajian terorisme, yang menyatakan bahwa bukti belum cukup kuat untuk menyatakan bahwa pelaku berasal dari Indonesia. Selain itu, aparat juga hanya mengandalkan ‘teori’ serpihan tubuh yang tidak diklaim sebagai basis bahwa ledakan tersebut merupakan ledakan bom bunuh diri. Hasil tes DNA dari serpihan tubuh yang ditemukan juga belum keluar untuk bisa mengkonfirmasi kebangsaan dan apakah ledakan tersebut merupakan aksi bom bunuh diri atau bukan.
Salah satu alasan yang diungkapkan oleh Ano bahwa dirinya yakin pelaku berasal dari Indonesia adalah karena aksi bom bunuh diri bukanlah bagian dari kebudayaan dan kultur bangsa Filipina. Pernyataan seperti ini bisa dilihat kurang bijaksana karena bisa menyiratkan bahwa bangsa Indonesia lebih ‘brutal’ dibandingkan bangsa lainnya di Asia Tenggara. Terlebih, bukti yang ada belum cukup kuat untuk memverifikasi identitas dari pelaku – jika memang ledakan tersebut adalah aksi bom bunuh diri.
ISIS mengklaim serangan
SITE intelligence group menuliskan dalam laman website resmi mereka bahwa Islamic State “East Asia Province” telah merilis pernyataan resmi melalu Amaq News Agency bahwa mereka bertanggungjawab terhadap serangan katedral Jolo di Filipina. Pemerintah Filipina pun menyatakan keterlibatan ASG dalam serangan ini mengingat kelompok ASG sudah beroperasi cukup lama di wilayah Sulu dan dua fraksi dari ASG telah berbaiat kepada ISIS. Klaim ISIS ini menunjukan bahwa supporter dan kelompok radikal masih terus beroperasi di Filipina walaupun Martial Law telah diberlakukan di pulau Mindanao.
Sidney Jones dalam tulisan terbarunya Radicalisation in the Philippines: The Cotabato Cell of the East Asia Wilayah memaparkan bahwa keberhasilan ISIS merekrut para pemuda di pulau Mindanao disebabkan oleh pengaruh propaganda online, hubungan kekerabatan dan konteks sosial dimana proses perdamaian antara pemerintah dan masyarakat di Mindanao tidak kunjung selesai. Pemerintah Filipina pun terlihat lebih mengedepankan penyelesaian yang berbasis militer dalam menghadapi para militant. Terlihat pada kasus Marawi 2017, pemerintah Filipina bekerjasama dengan negara lain untuk melakukan serangan udara dalam rangka melumpuhkan kekuatan kelompok ISIS di Filipina.
Setelah ledakan bom Katedral Jolo pun Presiden Duterte memerintahkan aparat untuk memusnahkan kelompok Abu Sayyaf. Pendekatan hard power mungkin bisa membunuh para militant tapi tidak bisa menyelesaikan masalah radikalisasi di Filipina jika pemerintah tidak membangun upaya untuk memperbaik kondisi sosial di pulau Mindanao dan membangun kepercayaan dengan warga sekitar. Seperti yang ditulis oleh Frances Antoinette dan Kebart Licayan bahwa kekuatan militer tidak bisa menyelesaikan masalah structural dan hubungan masyarakat di Mindanao.
Untuk itu, pemerintah dan NGO perlu membangun program CVE yang berbasis komunitas dengan mengikutsertakan pendapat dari komunitas lokal. Sehingga program yang dibangun tepat sasaran dengan apa yang mereka butuhkan. Kebanyakan dari program CVE selalu bersifat top-down dan jarang melibatkan aktor lokal. Akibatnya, program yang disediakan lebih memuat perspektif pemerintah daripada komunitas yang memerlukan program CVE itu sendiri.