Rasanya tidak ada hari raya seramai Idulfitri di Indonesia. Di Indonesia, Idulfitri bukan hanya dirayakan sebagai momen spiritual tetapi juga kultural. Hal ini dibuktikan dari jajak pendapat yang dilakukan oleh Kompas bahwa 78,5 persen responden mengungkapkan, perayaan Lebaran adalah tradisi untuk semua masyarakat tanpa memandang latar belakang status agamanya.
Inklusivitas ragam ekspresi Idulfitri tampaknya memiliki andil penting di balik hal itu. Ini terlihat ketika 71,4 persen responden mengasosiasikan Lebaran dengan tradisi yang inklusif dan menembus sekat-sekat agama. Setidaknya 27,7 persen responden mengaku, kumpul keluarga besar adalah hal pertama yang tebersit di benak ketika mendengar kata ”Lebaran”. Lantas, tidak kurang dari 26 persen responden melekatkan Lebaran dengan mudik atau pulang ke kampung halaman.
Setali dengan itu, 17,6 persen responden lainnya menganggap silaturahmi sebagai ihwal yang paling lekat dengan perayaan Lebaran. Hasil ini menunjukkan, Lebaran sangat melekat dengan konsep pulang ke kampung halaman untuk berkumpul bersama keluarga di daerah asal. Pandangan seperti itu tak bisa dilepaskan dari budaya bangsa Indonesia yang sangat menghargai sistem kekerabatan.
Terutama di daerah kota besar seperti Jakarta dan Surabaya, para pegawai non-Muslim turut mengamini bahwa momen Idulfitri adalah kesempatan emas bagi mereka untuk kembali bertemu keluarga di kampung halaman. Peleburan praktik kebudayaan seperti inilah yang membuat Idulfitri banyak dipersepsikan sebagai milik semua warga Indonesia.
Konsep “ngumpul” ini yang membedakan Indonesia dengan negara-negara Islam lainnya dalam memaknai Idulfitri. Dalam arti lain, Idulfitri menjadi semacam alat perekat bangsa melalui simbol-simbol keislaman. Gejala seperti ini sangat positif untuk mengantisipasi lahirnya eksklusifitas dan menghindari segregasi dalam praktik beragama.
Lekatnya mudik dan keluarga juga berkaitan dengan gagasan mengenai ”asal” dalam khazanah kebudayaan Indonesia. Sebagaimana pernah disampaikan Guru Besar Antropologi Universitas Gadjah Mada Heddy Shri Ahimsa-Putra, tradisi Lebaran, seperti mudik, kumpul keluarga besar, dan bersilaturahmi, adalah pengejawantahan itikad manusia untuk kembali pada akar tradisi tempatnya berasal.
Dalam khazanah Islam, gagasan “asal” ini ditafsirkan sebagai kembali ke asal muasal jati diri manusia yang suci (fitri) setelah dibersihkan secara penuh selama 30 hari di bulan puasa. Fitrah atau fitri ini bisa dimaknai sebagai sifat asal yang suci, murni, dan bersih.
Dalam perspektif spiritual, kembali ke fitri mengandaikan umat Muslim untuk mengevaluasi diri ihwal relasinya dengan Tuhan dan manusia. Jika sebelumnya seseorang bisa bertindak arogan dan egois, maka Idulfitri seharusnya merubah perilakunya menjadi lebih santun dan toleran. Belum lagi jika dikaitkan dengan kredo “Islam rahmatan lil alamin” yang mengindikasikan bahwa Idulfitri adalah manifestasi dari rahmat itu sendiri. Karakter-karakter ini yang pada akhirnya melegitimasi sifat inklusif pada perayaan Idulfitri.
Dalam diskursus sosial-budaya, fitrah kerap disimbolkan dalam rupa keluarga di daerah asal. Mengutip dari Kompas, sebanyak 77,4 persen responden mengaku memfavoritkan momen berkumpul bersama keluarga saat Lebaran. Semangat mencapai kembali fitrah saat Idulfitri semakin muncul ketika tak kurang dari 46,4 persen responden menyukai kegiatan silaturahmi dengan keluarga atau kerabat.
Momen bermaaf-maafan pun akan semakin lebur dan akrab ketika menyantap hidangan spesial Lebaran, seperti ketupat, opor ayam, sambal goreng, dan semur daging. Tak heran, 23,6 persen responden menyatakan menantikan sajian khas seperti itu ketika merayakan Idulfitri.
Fenomena ini sebetulnya sudah dibaca oleh Clifford Geertz dalam tulisannya The Interpretation of Culture. Geertz menggarisbawahi pentingnya memahami praktik budaya dalam konteks lokal. Dalam kaca mata Geertz, tradisi mudik tidak hanya dilihat sebagai aksi fisik kembali ke “asal”, namun juga muatan simbolik di baliknya seperti bersilaturahmi, bermaaf-maafan, dan kebersamaan di kampung halaman.
Lebih dalam lagi, Geertz juga menekankan konteks lokal dalam memahami praktik budaya. Dalam konteks mudik Lebaran, ini berarti memahami bagaimana tradisi ini dijalankan secara spesifik di berbagai daerah di Indonesia. Misalnya, bagaimana perayaan Lebaran di Jawa berbeda dengan perayaan Lebaran di Sumatera dan Sulawesi atau daerah lainnya.
Dengan demikian, Idulfitri dapat memicu seseorang, terlepas apapun agamanya, untuk merefleksikan kembali makna-makna esensial di balik kebersamaan dan keluarga. Hal itu karena pada dasarnya, menurut Geertz, setiap fenomena budaya pasti memuat makna simbolik yang mendasari seseorang untuk melakukan sesuatu.
Penulis mempunyai pengalaman tersendiri terkait pemaknaan Idulfitri semacam ini. Beberapa kesempatan, rekan-rekan yang beragama Katolik juga ikut terlibat dalam momen halal bihalal seusai Lebaran. Mereka tidak melihat momen ini sebagai peristiwa teologis, namun peristiwa sosial sebagai tetangga yang baik dan kesadaran akan perlunya menyambung tali silaturahmi.
Hampers lebaran pun tidak hanya bersirkulasi di kalangan Muslim saja, namun berbagai agama turut merasakan berkah berbagi parcel ini. Seperti yang sudah dibincang, agenda lintas agama tersebut berfungsi untuk meruntuhkan sekat-sekat sektarian dalam beragama sekaligus sebagai upaya untuk memberangus potensi diskriminasi berbasis kepercayaan yang masih sering terjadi di Indonesia.
Ini yang membedakan Indonesia dengan negara lain dalam memaknai Idulfitri. Pemaknaan publik terhadap Lebaran dengan demikian berkelindan secara dialektis di antara dua dimensi yang tak bisa dipisahkan. Di satu sisi, publik (umat Islam) memaknai Idulfitri sebagai proses perjalanan spiritual untuk kembali ke fitrah, ke sifat asal yang suci.
Dalam konteks kebudayaan bangsa yang meluhurkan nilai kekerabatan, fitrah juga mewujud dalam rupa perjumpaan dengan asalnya, yaitu bertemu sanak keluarga di kampung halaman. Peleburan dua dimensi itu adalah kabar baik bagi bangsa Indonesia untuk melangsung kehidupan antar umat beragama yang harmonis.