Bagaimana hidup di tengah kebencian, intoleransi dan sengketa? Bagaimana menciptakan dunia yang nyaman, berbelas kasih, di tengah meluapnya prasangka dan fitnah? Inilah renungan penting dari Karen Amstrong, penulis Masa Depan Tuhan, The Great Transformation, Sejarah Tuhan (Mizan, 2011) dan beberapa buku penting lain.
Dalam buku ini, secara khas, Karen Amstrong menggunakan kisah-kisah kebajikan sebagai instrumen utama untuk membangun gagasan. Kisah-kisah dari pelbagai belahan dunia, dari beragam agama, menjadi inspirasi untuk menimbang kembali kekerasan yang menjadi “wajah gelap” manusia. Bagaimana, dunia ini yang terpanggang bara dendam atas nama agama, kembali tentang dengan aura cinta.
“Kita manusia, dibandingkan dengan spesies-spesies lainnya, bergantung secara lebih radikal pada cinta. Otak kita telah berevolusi untuk peduli dan membutuhkan kepedulian—sedemikian rupa sehingga mereka menjadi lemah jika kepedulian ini tak ada,” ungkap Amstrong. Dalam bahasa-bahasa Semit, kata untuk ‘belas kasih’ (rahamanut, bahasa Ibrani), secara etimologis terkait dengan rehem/RHM (Rahim).
Dalam penjelasan Karen Amstrong, ikon ibu dan anak merupakan ekspresi arketipal cinta manusia. Dengan artian, ikon ini memberi penjelasan bahwa gambaran tentang kasih sayang ibu yang cenderung mendorong tumbuhnya kapasitas kita untuk altruisme tanpa syarat. Ia juga mengungkapkan bahwa, cinta ibu melibatkan cinta afektif, memiliki basis hormonal yang sangat kuat. Juga, membutuhkan tindakan berdedikasi yang tidak egois sepanjang hari dan setiap hari.
Langkah Cinta
Dalam buku ini, Karen Asmtrong mengungkap tentang 12 langkah penting untuk menumbuhkan belas kasih dalam kehidupan. Kedua belas langkah ini, yakni (1) Belajar tentang kasih sayang, (2) Lihatlah dunia anda sendiri, (3) Belas kasih pada diri sendiri, (4) Empati, (5) Perhatian penuh, (6), Tindakan, (7) Betapa sedikitnya yang kita ketahui, (8) Bagaimana seharusnya kita berbicara kepada semua? (9) Kepedulian untuk semua, (10) Pengetahuan, (11) Pengakuan, dan (12) Cintailah musuhmu. Inilah langkah-langkah yang diperlukan untuk menghadirkan cinta dalam keseharian, sebagai prinsip sekaligus sikap.
Karen Amstrong mengisahkan, filsuf Konfusius, Mencius (kl. 371-289 SM) yakin bahwa tidak ada seorang pun yang sepenuhnya kosong dari simpati terhadap orang lain. Pendapat Mencius ini, berdasar pada penghayatan tentang bencana, resiko dan kejutan-kejutan dalam hidup manusia. Jika kita melihat orang yang terperosok, sedang bergelantungan pada sebuah ranting pohon di tepi jurang, tentu naluri dasar manusia berusaha untuk menyelamatkan. Tidak peduli siapa dia, darimana asalnya, agamanya, ideologinya hingga status etnisnya. Ada dorongan kuat dari dalam manusia, untuk selalu bersimpati pada orang lain (hal. 26-27).
Dalam buku ini, Amstrong mengisahkan tentang awal mula Islam yang dihadang angkuhnya tradisi jahiliyyah. “Untuk melawan keangkuhan Jahiliyah, Muhammad meminta pengikutnya untuk melakukan ‘penyerahan’ (Islam) seluruh diri kepada Allah, Yang Maha Pengasih (al-Rahman) dan Maha Penyayang (al-Rahim), yang telah memberikan tanda (ayat) tentang kasih sayangNya bagi umat manusia dalam seluruh keajaiban dunia ciptaan (hal. 68).
Dalam ilustrasi yang disampaikan Karen Amstrong di buku ini, betapa orang Arab merasa terhina dengan dakwah cinta yang disampaikan Nabi Muhammad. Ketika orang-orang Arab masih terjaga dengan kesombongannya, agama Islam menganjurkan untuk bersujud dan menyebut nama Allah. Ketika orang Arab sibuk dengan keangkuhan dan pamer kekayaan serta kekuasaan, agama Islam menganjurkan untuk memberi sedekah dan zakat. Inilah luar biasa pesan Islam di tengah padang tandus kehidupan dan moralitas orang Arab sebelum Nabi Muhammad membawa risalah agama cinta.
Karen Amstrong mengajak pembaca untuk merenungi diri yang terdalam. Di dalam dunia modern, di ‘desa global’ ini, semua orang menjadi tetangga satu sama lain. Hal ini, karena perkembangan teknologi yang memudahkan komunikasi. “Kita perlu menciptakan suatu dunia demokrasi yang di dalamnya semua orang yang didengarkan dan aspirasi semua orang ditanggapi serius. Pada akhirnya, ‘cinta’ dan ‘kepedulian untuk semua orang’ semacam ini, akan melayani kepentingan terbaik kita dengan lebih baik, daripada kebijakan picik dan mementingkan diri sendiri (hal. 198).
Ajakan Karen Amstrong dalam buku ini, untuk menguatkan cinta dan menerjemahkan belas kasih dalam kehidupan kita, menjadi penting di tengah era kebencian ini. Mencintai musuh, dalam ajakan pamungkas Karen Amstrong, bermaksud untuk untuk meredam amarah dengan cinta, memadamkan api dendam dengan kasih sayang. Sanggupkah kita?
Info Buku:
Karen Amstrong | 12 Langkah Menuju Hidup Berbelas Kasih
Mizan, 247 hal.
ISBN: 978-979-433-771-4
*Munawir Aziz, kolumnis dan peneliti, bergiat di Gerakan Islam Cinta (@munawiraziz)