Siti Manggopoh, Perempuan Pejuang Kemerdekaan dari Tanah Minang

Siti Manggopoh, Perempuan Pejuang Kemerdekaan dari Tanah Minang

Siti Manggopoh adalah tokoh perjuangan Indonesia yang lahir dari keluarga petani biasa asal Minang.

Siti Manggopoh, Perempuan Pejuang Kemerdekaan dari Tanah Minang

Dalam sejarah perjuangan Indonesia, para pejuang yang melawan penjajah tidak hanya dari kalangan laki-laki saja. Tetapi juga banyak dari kalangan perempuan, salah satunya adalah Siti Manggopoh. Beliau adalah tokoh perjuangan Indonesia yang lahir dari keluarga petani biasa, yang tidak pernah menyenyam pendidikan sekolah umum karena pada saat itu di daerahnya belum ada sekolah. Sehingga satu-satunya pendidikan yang pernah beliau lakukan adalah belajar di Surau, dan belajar tentang berbagai adat istiadat di Minangkabau.

Siti Manggopoh lahir pada 15 Juni 1881 M di sebuah desa kecil dan terpencil yang ada di wilayah Lubuk Basung, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Desa tersebut bernama Manggopoh, yang kemudian menjadi nama yang disematkan pada Siti Manggopoh, karena pada awalnya beliau hanya bernama Siti.

Siti Manggopoh sendiri adalah anak bungsu dan anak perempuan pertama sekaligus terakhir dari enam bersaudara, yang kelima kakaknya adalah laki-laki. Kelahiran Siti Manggopoh dalam keluarganya disambut gembira oleh kakak-kakaknya, karena ia merupakan satu-satunya saudara perempuan yang ada dalam keluarga.

Para kakaknya pun sering mengajak Siti mengaji ke Surau, kemudian ke gelanggang persilatan, yang secara tidak langsung telah ikut membentuk pribadi sosok Siti Manggopoh. Ketika baru berusia 15 tahun, Siti dinikahkan orang tuanya dengan Rasyid atau Bagindo Magek. Dari pernikahan tersebut, Siti kemudian dikaruniai seorang anak perempuan.

Siti Manggopoh mempunyai peran penting dalam perlawanan melawan penjajah di tanah kelahirannya. Beliau merupakan sosok yang sangat benci dengan perlakuan Belanda terhadap rakyat Indonesia, khususnya perlakuan Belanda terhadap penduduk Minang. Puncak kebenciannya terhadap Belanda terjadi ketika Belanda menerapkan peraturan pajak di tanah Minangkabau pada awal Maret 1908 M, sebagai pengganti peraturan tanam paksa terhadap rakyat.

Peraturan pajak yang dikenal dengan sebutan Belasting Op De Bedrifsen Ander Inkomsten (pajak atas penghasilan perusahaan atau penghasilan lainnya), yang dikenakan tidak hanya terhadap mata pencaharian rakyat tetapi juga berbagai harta pusaka yang dimiliki oleh rakyat. Padahal dalam pandangan masyarakat Minangkabau, harta adalah kepunyaan komunal atau kaum yang dimiliki secara turun-temurun, sehingga kebijakan yang dikeluarkan oleh Belanda sangat bertentangan dengan adat masyarakat setempat. Dengan peraturan tersebut, masyarakat Minangkabau telah direndahkan dan diinjak-injak harga dirinya karena harus membayar pajak tanah yang telah dimiliki secara turun-temurun.

Kewajiban belasting yang diterapkan oleh Belanda telah menindas dan sangat menyakitkan hati rakyat. Sehingga masyarakat Minangkabau, termasuk yang ada di Manggopoh tidak bisa menerima hal tersebut yang kemudian memunculkan perlawananan terhadap Belanda. Awal perlawanan terhadap Belanda pertama kali terjadi di Kamang, yang kemudian dikenal dengan perang Kamang dan perlawanan kemudian meluas sampai ke berbagai daerah.

Mulyono Atmosiswartoputra dalam bukunya Perempuan-Perempuan Pengukir Sejarah, menjelaskan bahwasanya Siti yang melihat dan merasakan betapa peraturan pajak sangat memberatkan rakyat, ditambah dengan tindakan Belanda yang semena-mena terhadap rakyat seperti disiksa, kerja paksa, diperkosa dan berbagai tindakan biadab lainnya yang membuat hati rakyat termasuk Siti tidak tinggal diam.

Mereka bersama pemuda militan Manggopoh kemudian membentuk badan perjuangan yang terdiri dari 14 orang, yaitu Rasyid, Siti, Majo Ali, St. Marajo Dullah, Tabat, Dukap Marah Sulaiman, Sidi Marah Kalik, Dullah Pakih Sulai, Muhammad, Unik, Tabuh St. Mangkuto, Sain St. Malik, Rahman Sidi Rajo, dan Kana.

Orang-orang tersebut kemudian berkumpul di sebuah masjid pada tengah malam tanpa penerangan apapun untuk melakukan musyawarah. Dalam musyawarah tersebut, terucap ikrar untuk melawan kebatilan Belanda sampai darah penghabisan, dengan taruhan nyawa. Sumpah untuk siap mati melawan penjajah yang telah memeras dan menindas rakyat pun diucapkan. Sumpah tersebut dipimpin oleh sosok perempuan yang bernama Siti Manggopoh.

Setelah itu, mereka kemudian menyusun rencana untuk menyerang pasukan Belanda. Berbagai skenario pun disusun, mulai dari menyiapkan peralatan sampai dengan menyusun strategi peperangan. Sehingga datanglah waktu malam yang ditentukan untuk melakukan penyerangan, yaitu pada Kamis malam 15 Juni 1908 M. Siti Manggopoh dan kawan-kawannya menuju ke markas Belanda.

Dalam penyerangan ini, Siti Manggopoh menjadi sosok penting. Karena beliau mampu menyusup ke dalam markas dan rombongan lainnya menunggu di semak-semak yang ada di sekeliling markas. Kedatangan Siti ke markas Belanda, sama sekali tidak dicurigai oleh pihak Belanda dan mereka tetap melakukan pesta, dengan berbagai makanan dan minuman yang begitu mewah, dengan ditemani para wanita cantik, yang didatangkan dari pasukan Belanda untuk memeriahkan pesta tersebut.

Setelah berhasil menyelinap ke markas Belanda, Siti kemudian memadamkan lampu dan memberi komando kepada para pejuang untuk menyerang ke dalam. Penyerangan pun terjadi, dan Siti berhasil menghabisi puluhan tentara Belanda dan para pejuang lainnya juga melampiaskan amarah rakyat kepada Belanda, yang menewaskan 53 pasukan Belanda. Namun dalam penyerangan tersebut, ada dua pasukan Belanda yang lolos kemudian kabur ke Lubuk Basung.

Akibat insiden tersebut, pihak Belanda sangat marah dan melakukan aksi balasan dengan mendatangkan pasukan dari Bukit Tinggi dan Padang Pariaman. Belanda kemudian memporak-porandakan Manggopoh dan selalu melakukan patroli ke perkampungan penduduk, untuk mencari orang-orang yang telah menyerang markas mereka.

Siti dan keluarganya pun tidak luput dari pengejaran Belanda, hingga pada akhirnya Siti dan suaminya ditangkap Belanda. Suaminya dibuang ke Manado, sedangkan Siti dibuang ke Padang Pariaman, lalu dibuang lagi ke Padang.

Siti Manggopoh adalah sosok pejuang perempuan yang tidak meninggalkan tugasnya sebagai seorang ibu. Bahkan beliau pernah mengalami konflik batin antara mengurus anaknya yang masih kecil atau melawan penjajahan Belanda. Ketika dalam kejaran Belanda, Siti juga tetap membawa anaknya bersamanya selama 17 hari. Termasuk ketika dipenjara selama 14 bulan di Lubuk Basung dan 16 bulan di Padang.

Siti Manggopoh meninggal pada 20 Agustus 1965 M, di Gasan Gadang, Padang Pariaman dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara, Lolong, Padang. Siti Manggopoh adalah sosok perempuan pejuang kemerdakaan yang mempunyai peran besar dalam melawan penjajah, tanpa meninggalkan tugasnya sebagai seorang ibu.(AN)