Rabbani berulah, pasca mensejajarkan fragmen kurban dengan anjuran berjilbab. Sebelumnya, jeda libur memasuki ajaran baru kemarin, “rok makin di atas, prestasi makin di bawah,” menjadi iklan yang menambah deret kelam perusahaan appareal muslimah terbesar di Indonesia tersebut.
Berkaitan dengan iklan, strategi yang mereka adopsi bekerja dengan mengakumulasi kesalehan secara material cenderung jatuh pada sikap reduktif terhadap referensi busana muslimah.
Fashion yang pada dasarnya sebagai bagian dari budaya, lantas disalahpahami berjalan berkelindan dan bahkan erat kaitannya dengan agama. Semisal, seorang muslimah yang tidak berjilbab/niqab, dan cadar maka tingkat kesalehannya masih dipertanyakan. Bahkan dalam praktik yang paling ekstrem, mereka direduksi dan tereklusi nilai-nilai kemanusiaannya.
Dalam perkembangannya, dakwah beriringan dengan budaya konsumsi barang dan/atau simbol-simbol agama. Pola kesalehan terkurung dogma dan simbol-simbol keagamaan. Karena itu, fenomena ini mempertegas perdamaian antara Islamisme dengan materialisme.
Sikap seperti itu setidaknya mengandung dua hal: ia menjadi penganjur dalih berbusana, dan juga sekaligus benefit bagi eksistensi perusahaan.
Saya menduga, duduk persoalan yang mereka garis-bawahi hanya berkutat secara simultan pada koreksi berbusana sebagai titik tumpuh kesalehan. Simultan juga pada kegamangan popularitas busana muslim serta ghirah konsumerisme yang berlangsung sejak medio 1990-an. Carla Jones menyebut gejala ini sebagai kesalehan materialistis (pious materialism).
Begitulah repotnya, kalau suatu ritual “mati” dalam kesadaran subkultur. Dalam pembentukan budaya ritual yang simbolik yang tidak mengalirkan transformasi moral dan spiritual baru yang hidup dan menggugah.
Hal itu tentu saja tidak perlu disalahkan, karena ritual dalam tradisi seringkali mengalami rutinitas, tanpa menumbuhkan kesadaran, apalagi kesadaran reflektif.
Yang terjadi, kesadaran berbusana muslim disubstitusi dengan anjuran bulan Dzulhijjah yakni berkurban. “kurban itu gak wajib, yang wajib itu berjilbab”. Padahal, konstruksi historis kurban begitu mengakar dalam nilai-nilai ketauhidan umat Islam. Kehambaan sejatinya berangkat dari keyakinan-keyakinan rohaniah yang terangsang melaui manifestasi perbendaharaan semesta.
Suatu ritual, yakni berkurban yang sungguh-sungguh memang berfungsi sebagai mekanisme secara internal kemanusiaan, sebagai pedagogis untuk mengubah kesadaran.
Kata kurban secara etimologi berasal dari bahasa Arab qariba – yaqrabu – qurban wa qurbanan wa qirbanan, yang berarti dekat (Almunawir:1984:1185). Maksudnya yaitu mendekatkan diri kepada Allah, dengan mengerjakan sebagian perintah-Nya. Meskipun secara syariah kurban berhukum sunah muakkad atau sunah yang dikuatkan, Nabi saw tidak pernah meninggalkan kurban.
Teladan ini mengingatkan saya pada seorang teman yang sejak SMP sampai sekarang tidak pernah tidak menyisakan uang tabungannya untuk berkurban atau sekedar bersedekah kurban. Ketika saya tanya kenapa kamu selalu mempunyai kehendak seperti itu? Kurban kan sunah. Jawabannya sederhana dan menikam, “Bagaimana pun uang yang kita tabung setidaknya bisa kita sisikan untuk berkurban. Tidak hanya untuk keperluan pribadi kita.”
Bahwa ada kegembiraan dan spirit yang lahir kembali (born-again) bagi mereka yang berkurban.
Belakangan, ketika Idul Adha, kita seringkali dipertontonkan dengan gegap-gempita antrian pembagian hewan kurban yang notabene disesaki oleh kaum kelas menengah kebawah, masyarakat pinggiran yang rela berkeseharian mengais rezeki dengan membiarkan kondisi perutnya dalam keadaan lapar dan ketakutan, bahkan tertekan.
Suatu kesadaran keberagamaan yang sungguh-sungguh tidak bisa ditawar, bahwa “kelaparan” sebagai gejala sosial dan politik adalah bentuk kemunkaran paling tinggi yang harus dicegah, dan agama harus memberi harapan terus menerus bahwa keadaan seperti itu bisa berubah, kalau agama ikut memberikan kesadaran kolektif kemanusiaan untuk memeranginya.
Pentingnya agama sebagai kesadaran kemanusiaan harus diubah, bukan manusia mencari ritus agama sebagai tempat melarikan diri dari panggilan sejarahnya. Sebaliknya konstruk sosial yang melawan kemanusiaan—seperti menyengajakan kesalehan personal dalam urusan jilbab—seharusnya menggugah panggilan transendensi agar agama sebagai referensi kultural tidak terpisah dengan proses sosial yang melawan sendi-sendi kemanusiaan.
Terutama agama memegang komitmen profetiknya dalam dua perkara. Pertama, menghadang kemunkaran sosial yang menjadi sumber perendahan martabat kemanusiaan. Kedua, selalu memberikan harapan yang bersifat transformatif bahwa manusia bisa mengubah nasibnya kalau ada moral kepemihakan ke arah itu yang didukung bersama.
Akhirnya, marilah kita mengumandangkan takbir sebagai pernyataan keagungan cita-cita kemanusiaan ini dan bukan sekeder mentradisikannya dengan arakan dan iringan beduk yang meriuhkan suasana, tanpa dibarengi dengan kesadaran religious yang lebih bermakna.