Kultum Ramadhan: Kokohnya Iman dan Takwa itu Seshaf dengan Ihsan cum Akhlakul Karimah

Kultum Ramadhan: Kokohnya Iman dan Takwa itu Seshaf dengan Ihsan cum Akhlakul Karimah

Ihsan menjadi “penyempurna” bagi integritas individu mukmin yang telah berpegang kokoh pada dua bagian sebelumnya, yakni iman dan takwa.

Kultum Ramadhan: Kokohnya Iman dan Takwa itu Seshaf dengan Ihsan cum Akhlakul Karimah
niat puasa

Rasulullah Saw menggambarkan samudera rahmat Allah Swt di dunia melalui hadis ini: “Allah Swt menjadikan rahmat dalan seratus bagian. Dia Swt menyimpan di sisiNya sembilan puluh sembilan bagian dan diturunkanNya ke bumi ini satu bagian. Satu bagian inilah yang dibagikan kepada seluruh makhluk. Seekor binatang yang mengangkat kakinya karena dorongan kasih sayang khawatir jangan sampai menginjak anaknya (merupakan bagian dari satu bagian rahmat itu).” (HR. Bukhari).

Di antara rahmat Allah Swt kepada kita ialah rahmat dalam rupa iman dan takwa. Keduanya sering dinyatakan sebagai nikmat teragung-Nya. Ini mudah dimafhumi berdasar keyakinan hakiki bahwa kehidupan akhirat merupakan kesejatian hidup yang kita tuju. Iman dan takwa merupakan jalan untuk mendapatkan kenikmatan hidup di sana.

Saya telah membicarakan dengan panjang lebar perihal keimanan dan ketakwaan tersebut di dua bagian sebelumnya (hubungan diri dengan Allah Swt atau keimanan dan hubungan diri dengan syariat atau ketakwaan; kita juga bisa menyebutnya keislaman dalam patron umum khas Ahlus Sunnah wal Jamaah).

Pada bagian ketiga ini, ihsan, dialah yang menjadi “penyempurna” bagi integritas individu mukmin yang telah berpegang kokoh pada dua bagian sebelumnya (iman dan takwa). Karenanya, ihsan juga mengandung arti “kesempurnaan”, selain juga “kebaikan yang sangat baik”. Dalam pengertian lazim, ihsan dikatakan sebagai kebaikan dan kebajikan. Atau, kebijaksanaan. Tentulah, ia merupakan derajat yang paripurna.

Pengertian ihsan sebagai “kebaikan dalam derajat paripurna” bisa dinalar dari kata dasarnya yang sekaar dengan kata hasana, dengan arti baik. Namun ihsan diambil dari derivasi ahsana, artinya lebih baik. Dalam bentuknya sebagai masdar, ia berarti “kebaikan yang lebih baik lagi” –bahkan lagi, lagi, dan seterusnya lagi. Sebuah keparipurnaan.

Di dalam al-Qur’an, khazanah ayat tentang ihsan ini amatlah banyak. Di antaranya:

Surat Al-Ahzab ayat 29: “Dan jika kamu sekalian menghendaki (keridahaan) Allah Swt dan Rasul-Nya serta (kebahagiaan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah Swt menyediakan bagi siapa pun yang berbuat ihsan (kebaikan) di antaramu pahala yang agung.

Surat Al-Qashash 77: “Berbuatlah yang terbaik karena Allah Swt telah berbuat yang terbaik kepadamu.

Surat an-Nahl 90: “Sesungguhnya Allah Swt memerintahkan kalian untuk berlaku adil dan berbuat ihsan serta memberi bantuan kepada kaum kerabat, dan Dia Swt melarang perbuatan keji, kemungkaran, dan penganiayaan. Dia Swt memberikan pegajaran tersebut kepada kalian agar kalian selalu mengingatnya.

Surat An-Nahl ayat 128: “Sesungguhnya Allah Swt bersama orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang (dari golongan bertakwa itu) berbuat ihsan (kebaikan).

Dalam sebuah hadis sahih yang amat terkenal, yang dijadikan landasan kalam bagi Ahlus Sunnah Wal Jamaah, Rasulullah Saw ditanya tentang ihsan, beliau bersabda, “Hendaklah Engkau beribadah kepada Alah Swt seakan-akan Engkau melihatNya; maka jika Engkau tak melihatNya, hendaklah Engkau yakin sungguh Dia Swt melihatmu.” (HR. Bukhari Muslim).

Dalam hubungan diri dengan Allah Swt, posisi ihsan dapat diwakilkan kepada ayat ini: Surat Al-Qashash 77: “Berbuatlah yang terbaik karena Allah Swt telah berbuat yang terbaik kepadamu.” Itulah sebabnya seorang mukmin dan muttaqin niscaya akan terus berusaha untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaannya, termasuk misal makin memperbanyak perbuatan-perbuatan sunnah dan sebaliknya makin menjauhkan dari hal-hal yang syubhat. Kita bisa menyebutnya sebagai kewara’an atau wira’i.

Di kalangan sufi dan salik, kita sering mendengar riwayat mereka membatasi diri seperlunya saja dalam mengkonsumsi apa pun untuk kebutuhan hidupnya, sekalipun itu secara hukum fiqh halalan belaka. Mereka, misal, mengatakan bahwa terlalu banyak makan –walau jelas halal—akan menyebabkan diri lalai dari ingat kepada Allah Swt dan kemudian ngantuk dari beribadah sunnah kepada-Nya. Maka makanan, misal, bukan hanya perihal kehalalannya, tapi sekaligus pula thayyiban-nya. Inilah sikap rohani “lebih lagi” dalam tujuan lebih mendekatkan diri kepada Allah Swt.

Sifat rohani demikian dibangun atas dasar keyakinan mendalam terhadap kesadaran untuk beribadah kepada Allah Swt–di bagian ini kita tak perlu dibahas perihal menjauhi larangan-larangan lagi karena sudah niscaya otomatis—dengan spirit “bisa melihat Allah Swt”. Tentu kita mengerti bahwa tidak mungkin kita yang wadag ini bisa melihat Zat Allah Swt. Karena itu, opsi keduaya adalah meyakini bahwa Alah Swt benar-benar senantiasa melihat dan mengawasi kita dalam segala keadaan. Fa-ainama tuwallu fatsamma wahjullah, ke manapun Engkau menghadapkan dirimu maka Engkau akan menemukan Wajah Allah Swt.

Niscaya sifat rohani tersebut lalu akan semata menghadirkan rasa ketersambungan batiniah kepada-Nya, atau keterawasan dari-Nya, yang diwujudkan melalui kepatuhan yang mendalam dalam lelaku ibadahnya yang wajib dan sunnah maupun melalui jalan-jalan riyadhah (olah rohani) yang amat luas ekspresinya, seperti berusaha memahami sifat-sifat Allah Swt dan menyelaminya, kemudian menghadirkan secara kontinu pada seluruh gerak-gerik diri.

Ketersambungan rohani yang simultan inilah yang digambarkan melalui “yadzkurunaLlaha qiyaman wa qu’udan wa ‘ala junubihim wa yatafakkaruna fi khalqis samawati wal ardhi, senantiasa mengingat Allah Swt dalam keadaan berdiri dan duduk dan berbaring dan memikirkan tentang penciptaan-penciptaan Allah Swt di langit dan bumi.

Dikarenakan sifat rohani demikianlah yang telah terbangun dan terpelihara di dalam hati, masuk akal benar bila kemudian ejawantahnya dalam lelaku sosialnya niscaya selaras dengan nilai-nilai keihsanan pula. Kita telah mengkajinya pada bagian ‘ibadur Rahman.

Prof. Quraish Shihab dengan menukil Abu Al-Hasan Al-Harali mengatakan bahwa ihsan dalam hubungan diri dengan Allah Swt adalah leburnya diri sehingga dia hanya “melihat” Allah Swt, atau paling tidak, merasa dilihat oleh-Nya. Atas dasar pemahaman tersebut, pada ejawantah ihsan kepada sesama, ia menjadi terwujud bahwa dia (muhsin) tidak lagi melihat dirinya dan hanya melihat (mengutamakan) orang lain. Maka siapa yang tidak melihat dirinya dalam kebutuhan orang lain dan tidak melihat dirinya saat beribadah kepada Allah Swt dia itulah yang dinamakan muhsin, dan saat itulah dia telah mencapai puncak dari segala amalnya.

Bagi seorang yang telah mencapai derajat muhsin, ia akan selalu menjalankan amal-amal positif (baik secara peribdatan maupun sosial) karena ia selalu merasa melihat Allah Swt (tepatnya sifat-sifat-Nya) atau paling tidak selalu merasa dilihat dan diawasi oleh Allah Swt. Kesadaran ini akan mendorongnya untuk selalu berbuat sebaik mungkin, dan lebih baik lagi, dengan termasuk memperlakukan orang lain dengan lebih baik dari perlakuan orang lain kepada dirinya–bukan lagi sekedar berbuat baik sebagaimana orang lain berbuat baik kepada dirinya dan pula sebaliknya.

Uraian di atas selaras dengan tuturan Sayyidina Ali bin Abi Thalib perihal “menjadikan orang lain sebagai timbangan perbuatan kita”, yakni: “Jadikanlah dirimu bagai timbangan antara dirimu dan orang lain. Sukailah untuknya apa yang engkau sukai untuk dirimu dan bencilah apa yang engkau benci untuk dirimu. Berbuat baiklah sebagaimana engkau ingin diperlakukan baik dan jangan berbuat buruk kepada orang lain sebagaimana engkau tak ingin diperlakukan buruk.”

Spirit ihsan yang mendorong diri untuk cenderung terus melakukan hal yang terbaik dan bahkan lebih baik lagi kepada orang lain dalam skema filosofi cinta menempati posisi paling atas. Ia pun melampaui derajat adil sebagai memberikan hak kepada orang lain sesuai haknya atau pada tempatnya. Ia telah melampaui segala bentuk takaran yang paling mungkin dikalkulasi oleh akal manusia pada umumnya. Seringkali, kondisi tersedut disebut jadzab dalam tradisi sufistik.

Filosofi cinta yang paling tinggi ialah mendahulukan orang lain di depan diri kita sendiri. Ia tak lagi dapat tertakar oleh parameter lahiriah apa pun.

Misal, di masa pagebluk Corona ini, Anda memiliki sejumlah karyawan yang secara normalnya sesuai regulasi pemerintah dan etika sosial kerjasama Anda mesti tetap memberikan gaji kepada mereka. Saat omset Anda anjlok tak keruan akibat mampatnya pasar, pastilah sirkulasi keuangan memburuk.

Jika Anda mengikhtiarkan sikap terbaik atas dasar kemampuan keuangan Anda, misal dengan menggaji mereka penuh sesuai tanggal kewajibannya, bahkan jika untuk mewujudkan hal itu Anda mesti menguras tabungan ataupun aset, Anda tergolong muhsin. Tetapi jika Anda sekadar berniat menggugurkan kewajiban sebagai pimpinan kepada karyawan Anda sesuai kondisi omset riil kini, Anda hanyalah orang baik atau adil yang menjalankan kewajiban tersebut.

Pasangan suami-istri dalam rumah tangga yang telah dibina berpuluh-puluh tahun juga bisa menggapai derajat ihsan ini seiring dengan sifat mawaddah yang telah meruah seluasnya antar-mereka. Cinta antar-mereka tak lagi tersekat oleh syarat kondisi memikat lahiriahnya ataupun kepuasan batiniahnya seperti hubungan seksual suami-istri. Semuanya semata terpandang sebagai kesatuan kebersamaan yang telah padu-baku.

Derajat filosofi cinta di bawahnya ialah bersikap adil, dengan bersikap baik kepada orang lain sebagaimana orang lain bersikap baik pada dirinya. Sikap ini bukannya tercela dalam ajaran Islam. Buktinya, ada ayat yang memperbolehkan kita untuk membalas suatu kezaliman dengan balasan yang setimpal–tidak boleh melebihi. Dalam konteks hidup kita kini, jika seseorang menipu Anda dalam pinjaman uang, boleh bagi Anda untuk menuntutnya melalui jalur hukum sebagai sikap balasan Anda atas kezalimannya.

Derajat filosofi cinta ketiga ialah mendahulukan diri, baru kemudian orang lain. Ini pun bukan tercela, sepanjang tidak menciderai hak-hak orang lain. Tetapi derajat ini memang paling bawah, rendah, atau dalam “cinta bersyarat”.

Anda punya hak untuk memberhentikan karyawan Anda yang tidak bisa memenuhi kewajibannya untuk masuk kantor sesuai kesepakatan dan aturan. Mungkin karena karyawan tersebut terkendala oleh istrinya yang sakit-sakitan. Anda benar jika melakukan hal tersebut, tetapi–kata orang Jawa—tidak pener. Pener–jika tak disebut ihsan—adalah menjadikan pertimbangan-pertimbangan di luar kepentingan rasional diri, misal, sebagai ruang kemungkinan bagi adanya toleransi bagi karyawan tersebut.

Pencaran ihsan sebagai tangga tertinggi cinta walaupun mungkin saja secara lahiriah bisa pula diperagakan oleh orang-orang yang kurang taat berislam atau bahkan tak beriman niscaya takkan sama secara ontologis (hakiki).

Ihsan yang dialirkan oleh sungai iman dan takwa di dalam hati berhulu kepada mata air sakralitas cinta kepada Allah Swt dan Rasul-Nya Saw. Ia memiliki landasan naqli yang nyata dan terang sebagaimana terkandung dalam syariat Islam (al-Qur;an dan sunnah) dan kemudian dikukuhkan secara aqli melalui jalan tawajjuh dan taqarrub yang diikuti dan diamalkannya. Apa pun paham, mazhab, dan amaliahnya–tentu, sepanjang tak menyelisihi sumber awal tadi, syariat Islam.

Dengan kata lain, produksi kebaikan-kebaikan ihsan kendati secara lahiriah bisa serupa benar dengan segala bentuk keberpihakan kepada etika kemanusiaan universal, ia bersumber kepada Kerububiyahan dan Keilahian; bahwa Allah Swt lah Tuhan Yang Maha Menciptakan segala apa pun yang terlihat maupun tak terlihat dan Allah Swt pulalah satu-satunya Tuhan Yang Wajib Disembah (Ma’bud). Dia lah Sang Maha Segalanya yang menjadi jujukan, rujukan, dan tujuan seluruh entitas yang melekat pada diri kita, rohaniah maupun lahiriah.

Sementara mereka yang berbuat kebaikan-kebaikan dengan sebaik apa pun tetapi semata bersumber kepada keberpihakan etika kemanusiaan universal duniawiah, ia pun berhenti pada halimun duniawi yang fana ini. Bukan keabadian, kehakikian yang Haq.

Memang, dua-duanya (ihsan dan kebaikan-humanistik, sebutlah begitu) adalah tetap kebaikan. Tetap kemuliaan. Tetap bernilai tinggi secara kemanusiaan.

Hanya saja, di dalam keyakinan Islam, keimanan kepada Allah Swt, tauhid yang Haq, merupakan pintu pertama bagi penyapihan golongan yang dijanjikan-Nya surga dengan yang tidak. Pintu keduanya adalah ketakwaan.

Kita telah mendapatkan keterangan sahih yang menggetarkan hati dari sabda Rasulullah Saw dalam hadis riwayat Jabir bin Abdillah Ra ini: “Tidak ada amalan seorang pun yang bisa memasukkannya ke dalam surga dan menyelamatkannya dari neraka. Tidak juga denganku, kecuali dengan Rahmat Allah Swt.” (HR. Muslim).

Hadis ini bagaikan “negasi” bagi segala bentuk amal takwa dan ihsan kita sebagai hamba Allah Swt di dunia ini. Dapat ditarik pemahaman dengan ekstrem umpama kita sebaik apa pun dalam beribadah dan beramal sosial dan kemanusiaan, itu semua sama sekali bukanlah jaminan pasti bagi digolongkan-Nya kita untuk mendapat karunia surga-Nya.

Logika berikutnya, ketika Allah Swt dan Rasul-Nya memerintahkan kita untuk pertama kali beriman kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, kemudian diperintahkan lagi untuk berpegang teguh kepada syariat-Nya, serta diperintahkan lagi untuk berakhlak karimah kepada sesama, maka umpama kita menjalankan perintah ketiga tetapi enggan kepada perintah peratam dan kedua, masuk akallah untuk dinyatakan terdepak begitu saja; umapama kita mengambil perintah ketiga dan kedua, masuk akal pulalah untuk pula terdepak saja; bahkan umpama kita mengambil penuh ketiga perintah itu, itu semua “dinegasi” oleh hadis tersebut.

Apa maksud semua ini yang terkesan absurd?

Keimanan kepada Kemahakuasaan Allah Swt lah kehakikian yang paling hakiki, kesejatian yang paling sejati, dan keparipurnaan yang paling paripurna. Inilah esensinya.

Iman cum tauhid–sebagaimana telah luas dibabarkan di bagian pertama—adalah semata negasi segala apa pun, termasuk diri (dan tentu pula seluruh amal kesalehan dan keihsanan diri), dengan semata merayakan Allah Swt Yang Jumeneng, Yang Tegak. Ini ontologi teragungnya.

Karenanya, hadis tersebut dapat didudukkan di titik ini, sebagai proklamasi Kemahaan Allah Swt untuk menterjadikan dan memutuskan segala apa pun, yang bahkan dapat melampaui jangkauan nalar dan pemahaman kita, seperti beribadah akan dibalas dengan pahala, dan pahala akan berbuah surga. Ini pemahaman pertama.

Sebagai contoh, kita sungguh akan kesulitan untuk menalar penjelasan tentang riwayat seorang pelacur yang dimasukkan surga oleh Allah Swt gara-gara memberikan minum kepada seekor anjing yang kehausan. Bayangkanlah….

Pemahaman kedua, sesempurna apapun kita merasa beriman dan beribadah kepada Allah Swt, selalu saja ada cacat-cacat di dalamnya. Sebutlah geliat rasa ujub dan riya’ yang merupakan bagian dari penyakit hati saat melakukan amal saleh dan baik. Kecacatan-kecacatan amal ibadah kita–yang melekat seiring bajakan hawa nafsu dan tipu daya setan—jelaslah tak setimbang dengan kesempurnaan surga Allah Swt. Atas dasar pemahaman begini, logislah sesungguhnya untuk dicerna betapa amal-amal ibadah kita sama sekali tak sekelas untuk dijadikan sebab bagi kemestian Allah Swt memberikan surga-Nya. Bagaimana mungkin sesuatu yang cacat sesandingan dengan sesuatu yang sempurna?

Pemahaman ketiga, bukankah kita–termasuk saya tentu saja—teramat sering dihimpit oleh perasaan jemawa karena telah beriman dan betakwa serta berihsan sedemikian rupa sampai acap melalaikan semua itu sebagai kehendak-Nya? Bahwa segala amal kesalehan dan kebaikan sosial itu hanyalah mungkin terlaksana atas hidayah-Nya, taufik-Nya, dan rahmat-Nya, bukan benar-benar karena kekuatan dan ketekunan diri sendiri? Logislah kiranya bila segala kelalaian ini menjadikan kita pada dasarnya sangat sering melenceng dari kehakikian tauhid.

Pemahaman keempat, rahmat Allah Swt di dunia melalui Rahman-Nya  dan di akhirat melalui Rahim-Nya sejatinya merupakan satu kesatuan padu yang menjadi sebab bagi kita dalam beriman dan bertakwa kepada-Nya. Faktanya adalah semua itu bersumber dari rahmat-Nya, lantas di mana letak logisnya bagi kita sebagai penerima rahmat itu di dunia untuk menakar-nakar pula rahmat-Nya di akhirat? Tak masuk akal bukan–untuk tidak dikatakan serakah.

Pemahaman kelima, sebab itulah sekalipun keimanan dan ketakwaan serta keihsanan kita di dunia begitu cemerlang, itu semua hanya pantas untuk kita pandang sebagai pengabdian nan patuh kepada titah-titah-Nya. Selebihnya, mari berdoa selalu, semoga Allah Swt senantiasa menetapkan semua kita dalam agama-Nya ini, kemudian meridhai seluruh iman dan amal kita. Amin.

Wedaran tersebut kiranya telah benderang pula terang amat terkait perbedaan yang sangat mendasar secara ontologis antara kebaikan yang berbasis keimanan dan ketakwaan (ukhrawi) dengan kebaikan yang semata berbasis etika kemanusiaan universal (duniawi).

Saya ingin menambahkan satu renungan di sini, yang akan bisa lebih mendetailkan dikotomi dimaksud, yakni dari surat Ar-Rahman ayat 60: “Hal jazaul ihsan illal ihsan, apakah balasan kebaikan kecuali kebaikan.

Kita secara sederhana dan umumnya akan memahami ayat tersebut sebagai “berbuat baik akan mendapat balasan kebaikan pula”. Entah dalam rupa orang lalu menghargai, menghormati, maupun membalas dengan kebaikan serupa atau lebih baik lagi. Kita paham benar hal ini. Begitupun dalam perbuatan buruk. Wajar lalu ada slogan: “Siapa menanam akan memanen, siapa menabur angin akan menuai badai, siapa main api akan terbakar, dan siapa main air akan basah.”

Bagi orang yang paham kaidah bahasa Arab, ayat di atas akan dipahami dengan (misal) kaidah ini: “Pengulangan kata yang sama dalam suatu kalimat dengan jenis ma’rifat (kata definitif, jelas) mengandung makna bahwa kata yang kedua bermakna sama dengan kata yang pertama.” Hasilnya sesuai dengan penerjeman di atas.

Tetapi bagi orang yang juga paham betul ilmu Balaghah, dia akan mendulang pemaknaan yang lebih dalam, yakni bahwa kaidah di atas berlaku secara umum, tetapi boleh jadi dengan adanya ijaz (pemendekan, lawannya ithnab, pemanjangan) dalam kalimat tersebut, timbaan maknanya menjadi sejenis: “Balasan atas kebaikan di dunia (ihsan pertama) lebih kecil dari balasan kebaikan di akhirat (ihsan kedua).”

Atau dengan kata lain, siapa yang berbuat baik dalam bentuk apa pun di dunia niscaya dia akan mendapatkan balasan kebaikan yang lebih agung dalam kehidupan akhirat (mungkin juga selama masih dunia dari sisi Allah Swt).

Ini relevan dengan sejumlah ayat sedekah dalam al-Qur’an, misal al-Baqarah ayat 261, yang menjanjikan balasan hingga 700 kali lipat dan bahkan tak terbatas dari sisi Allah Swt. Ini pun seleras dengan ayat yang menyatakan perbuatan baik akan dibalas sepuluh kali lipat. Dan sebagainya.

Jika pemaknaan Balaghah terhadap ayat di atas dijalankan pada diri kita, tentu karena adanya keimanan dan ketakwaan –yang tak dimiliki kaum ateis, misal—walhasil teranglah betapa dalam dan luasnya makna ontologis kebaikan bagi seorang mukmin. Bisa saja di dunia, apalagi di akhirat.