Para pemikir Muslim modernis sangat mengkhawatirkan masa depan Islam di generasi yang akan datang. Bukan karena umat Muslim menurun secara kuantitas. Justru menurut beberapa riset, Islam adalah agama dengan penambahan pengikut paling signifikan di dunia saat ini. Namun, lebih kepada kecenderungan beberapa kelompok Muslim yang masih belum beranjak dari pola pikir teologis-dogmatis yang kaku dan terlihat berbenturan dengan tren masyarakat modern.
Adalah Mohammed Arkoun, seorang filsuf Islam modern yang juga resah akan gelombang konservatisme ini. Karena itu, ia berpikir ekstra untuk mengkompromikan bagaimana kemuliaan dalam Islam tidak menjadi anti-thesis dari kehidupan modern. Pemikir Islam Perancis kelahiran Aljazair itu memiliki tujuan untuk memadukan unsur paling mulia dalam pemikiran Islam, yang ia sebut sebagai “nalar Islami”, dan unsur yang paling berharga dalam pemikiran Barat modern, atau “nalar modern”. Berbekal dua aspek itu, ia melakukan sebuah dekonstruksi besar.
Nalar adalah cara seseorang atau sebuah kerangka kerja berpikir. Nalar berbeda dengan akal. Ia memiliki cakupan lebih luas. Akal hanyalah salah satu aspek dari nalar. Dalam pemikiran Islam, hal yang dihargai dan dipertahankannya adalah semangat keagamaan. Sedangkan aspek negatif dari pemikiran Islam yang hendak dilampaui adalah kejumudan yang menyebabkan pelbagai penyelewengan dalam bidang sosial dan politik. Maka dari itu, Arkoun menyarankan agar umat Islam bersedia melakukan pembahasan secara ilmiah dan terbuka dalam mempelajari dan mengungkapkan etika ajaran al-Qur’an dengan tidak melepaskannya dari konteks sejarah.
Dari pemikiran Barat (nalar modern), Arkoun ingin meng-ekstrak rasionalitas dan sikap kritis yang memungkinkan untuk memahami agama dengan cara yang lebih mendalam dan membongkar ketertutupan dan penyelewengan yang disebut di atas. Akan tetapi, Arkoun tetap menginginkan rasionalitas nalar modern itu harus tetap dikompromikan dengan semangat religiusitas dan karakter-karakter yang mencirikan nilai-nilai Islam. Oleh karena itu, Arkoun melakukan apa yang disebutnya “kritik nalar Islam”. Menurutnya, pendekatan empiris, seperti pendekakatan sosiologis, antropologis, dan psikologis terhadap teks-teks keagamaan pada masa lampau perlu dikembangkan.
Titik sentral dari pemikiran Arkoun terletak pada kata kunci “kritik epistemologis”. Epistemologi merupakan salah satu cabang filsafat yang membahas asal-usul, struktur, metode dan keabsahan ilmu. Epistemologi juga dapat diartikan sebagai bagian yang mengkaji penciptaan pengetahuan yang memiliki fokus pada bagaimana pengetahuan tersebut diperoleh dan bagaimana caranya mampu menyelidiki suatu hal yang valid. Menurutnya, proses kejumudan pemikiran Islam ditandai dengan krisis epistemologis yang sama sekali tidak berdetak sejak periode pertengahan. Semuanya hanyalah pengulangan atau komentar dari pada komentar.
Misalnya, produk tafsir dan fiqh generasi terdahulu yang diwariskan begitu saja oleh generasi masa kini tanpa mempertanyakan lebih lanjut bagaimana sebenarnya situasi historis yang ikut menentukan corak sistematika keilmuan Islam era dulu yang tentu sangat berbeda dengan masa kini. Realitas ini membangun ketidakberanian pemikir-pemikir Islam yang datang belakangan untuk melakukan kritik terhadap produk generasi terdahulu. Sikap mental ini akhirnya akan memproduksi literatur yang hanya bersifat mengulang-ulang tanpa ada kreatifitas dan inovasi.
Konsep inti Arkoun ini tegak lurus dengan pemikiran seorang post-strukturalis Prancis, Michel Foucault. Foucault menyatakan bahwa setiap zaman mempunyai episteme (pengetahuan) tertentu yang merupakan landasan epistemologis bagi zaman itu. Dan justru karena adanya episteme tertentu, suatu zaman berbeda dengan zaman yang lain. Episteme menentukan cara ilmu pengetahuan akan dijalankan.
Di era klasik, misalnya, tafsir-tafsir macam al-Tabari, Ibnu Abbas, atau Muqatil bin Sulaiman menggunakan metode riwayat dengan mengutip para ulama-ulama sebelumnya dalam menafsir al-Qur’an, karena episteme yang mapan di era tersebut adalah sistem oral atau periwayatan. Berbeda dengan kini, di mana pola produksi pengetahuan berubah. Gaya periwayatan yang dilakukan Ibnu Abbas, misalnya, akan dengan mudah dikuliti oleh pola pikir kritis khas dunia modern yang empiris dan membutuhkan validasi.
Sejalan dengan itu, Arkoun menginginkan bahwa segala pemahaman tentang ajaran Islam haruslah melalui mekanisme berpikir yang kritis dan bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Ia sebenarnya sedang mendekonstruksi model pemikiran keagamaan yang taken for granted, tidak boleh disentuh, tidak boleh dipertanyakan, dan harus diakui kebenarannya. Ia melihat bahwa struktur bangunan keilmuan Islam merupakan produk sejarah yang sebenarnya hanya berlaku pada penggal ruang dan waktu tertentu.
Untuk merealisasikan visinya, Arkoun menawarkan beberapa pendekatan; yaitu pendekatan historis, sosiologis, dan antropologis. Tiga pendekatan ini bukan dimaksudkan untuk mengeliminasi pendekatan teologis dan filosofis yang sudah mengakar, namun untuk memperkaya kedua pendekatan yang disebut terakhir dengan memasukkan pertimbangan-pertimbangan sejarah dan sosial dalam memahami Islam.
Pendekatan historis, misalnya. Konsep historisitas ini masuk dalam ranah “tak terpikirkan” dalam nalar Islam klasik. Historisitas ini meliputi historisitas al-Qur’an, hadis, dan syariah. Pendekatan historis ini digunakan Arkoun untuk memandang naskah al-Qur’an sebagai sebuah fakta historis. Oleh sebab sebagai fakta historis, sudah seharusnya al-Qur’an dibaca menggunakan analisis kritik sejarah.
Menurutnya, meskipun berasal dari Barat, pendekatan tersebut bisa diterapkan pada semua sejarah umat manusia dan bahkan tidak ada jalan lain dalam menafsir wahyu Tuhan kecuali menghubungkannya dengan konteks historis sembali melepaskan pengaruh teologis-dogmatis.
Bagi Arkoun, jika strategi itu digunakan, maka umat Islam bukan saja akan memahami secara jelas masa lalu dan keadaan mereka saat ini untuk kesuksesan mereka merespon isu-isu modern, namun juga akan menyumbang kepada ilmu pengetahuan modern.
Pemikiran kalam Arkoun lebih banyak menggugat pemikiran-pemikiran kalam masa klasik dengan menawarkan “islamologi terapan” yang lahir sebagai respon terhadap islamologi klasik. Ide ini bertujuan untuk membangkitkan kembali kreativitas pemikiran Islam dan mengurangi sikap saling curiga antara dunia Islam dan Barat yang selama ini masih menjadi tembok untuk lahirnya dialog-dialog dalam berbagai persoalan.
Bagi kelompok Islam yang berada di seberang, pemikiran Arkoun dianggap “mengusik” wilayah-wilayah sakral dalam nash-nash Islam. Memang, upaya dekonstruksi yang dilakukan Arkoun meniscayakan “pembongkaran” sakralitas yang selama ini dilekatkan kepada wahyu-wahyu Tuhan. Baginya, itu merupakan alasan utama kejumudan dan stagnasi produksi pengetahuan dalam peradaban Islam modern.
Mega “proyek” kritik nalar Islam milik Arkoun memang sangat berat. Maka wajar jika apa yang dilakukannya belum banyak diterima dan diikuti oleh pemikir Islam modern lainnya. Apa yang dikajinya belum selesai. Untuk itu, peran para intelektual Islam lainnya sangat dibutuhkan untuk membuatnya lebih sempurna. Akan tetapi, upaya Arkoun untuk mendekonstruksi pemikiran Islam yang telah lama terpenjara dalam kekolotan merupakan terobosan dalam wilayah pemikiran Islam.