Dalam tulisan berjudul Mewujudkan (Kembali) Islam Nusantara sebagai Identitas Terbuka, Mohammad Shohibuddin, yang juga Katib Am PCI NU Belanda, sebagaimana dimuat Sindo, 24 Januari 2017, menjelaskan kegelisahannya bahwa Islam Nusantara haruslah dilihat (kembali) “sebagai sebuah identitas regional yang lebih luas ketimbang identitas kelompok tertentu saja”.
Setelah mengkritik cacat epistemologis pembabakan genalogi Islam Nusantara yang dikemukakan Ahmad Najib Burhani ke dalam 3 babakan (periode 1950-1960, pembentukan identitas 1980-1990, dan setelah Muktamar Jombang), tetapi belum sempat mengungkapkan argumentasi soal cacat epiostemologis itu, dia ngungkapkan Nusantara seharusnya mencakup, Patani, Singapura, Moro, Campucia, dan secara geopolitik direduksinya sebagai Asia Tenggara.
Dia kemudian memuji peneliti senior LIPI, Ahmad Najib Burhani, mengenai kecenderungan exceptional Islam pada kalangan NU dalam mengusung Islam Nusantara sebagai kritik yang valid, meskipun Najib dipandang terjebak ke dalam cara pandangan yang demikian juga. Sohib, kemudian mengungkapkan bahwa dia sering mengkritik gejala eksepsionalisme Islam Nusantara dengan menyatakan mahjubun bin Nahdliyin, yakni di tutup oleh NU sendiri.
Argumentasi yang dikemukakan, dengan menyebut Isnus mahjubun bin Nahdliyin, demikian:
Pertama, karena pada dasarnya Isnus adalah identitas sosio-regional yang mencakup Asia tenggara secara keseluruhan, dan masyarakat muslim di situ memiliki peranan, utamanaya NU, tetapi juga tidak terlepas dari kontribusi Muhammadiyah dan ormas-ormas Islam lainnya.
Kedua, dari sudut sejarah intelektual Isnus memiliki akar khazanah intelektual keagamaan yang kaya dan terus berkembang, terutama naskah Arab pegon, dan latin.
Ketiga, kontribusi Isnus bagi pembentukan identitas sosio-keagamaan nasional juga sangat besar, misalnya dalam hasil-hasil ijtihad hukum Islam Nusantara, sampai pada fiqih Indonesia. Bahkan Ijtihad konstitusi yang dewasa ini dilakukan Muhammadiyah terkait berbagai UU di bidang SDA adalah bagian dari manifestasi Isnus, yaitu pergulatan Islam dengan krisis agraria dan ekologi.
Keempat, di bidang politik, kontribusi Isnus sangat luas dan tidak main-main, dan dalam hal ini Pancasila adalah bagian dari ijtihad genuine dari Islam Nusantara.
Dari berbagai argumen itu, dia berkesimpulan kecenderungan eksepsionalisme dalam melihat Isnus haruslah dilampaui, bukan hanya oleh NU, tetapi juga oleh pemikir Muhammadiyah seperti Ahmad Najib Burhani, sehingga perlu dilakukan pemikiran ulang tentang warisan bersama yang bernama Islam Nusantara itu, bukan hanya wacana saja, tetapi juga persoalan riil yang di hadapi bangsa Indonesia, dan kawasan Asia Tenggara, dan persoalan-persoalan baru yang muncul.
Terakhir, menurutnya memahami Islam Nusantara secara sempit sebagai identitas kelompok atau mendikotomikannya dengan kosmopolitan Islam adalah salah sasaran.
Saya akan fokus pertama hanya soal Mahjubun bin Nahdliyin. Yang lain-lain akan disambung nanti. Shohib beranggapan bahwa Isnus telah menjadi dientitas kelompok, dan itu dihubungkan dengan NU, dan karenanya Isnus dianggap mahjubun bin Nahdliyin. Gejala itu, menurutnya juga menunjukkan ekseposionalisme Isnus di kalangan NU. Hal ini juga dilakukan Ahmad Najib Burhani dalam beberapa tulisannya tentang Islam Nusantara di Sindo, tidak menjelaskan maksud dari eksepsionalisme yang dihubungkan dengan Isnus dan NU, dan nihilnya argumentasi bukti-bukti untuk menunjukkan bahwa NU telah melakukan itu.
Tidak ada nya bukti yang ditunjukkan untuk memperkuat argumentasi bahwa Islam Nusantara di tangan NU telah menjadi eksepsional dan apa yang dikehendaki dengan itu, justru membingungkan. Apa yang dimaksudkan dengan melansir demikian itu: apakah Isnus sebagai bersifat eksepsional, tidak biasa, dan tidak perlu mematuhi prinsip-prinip umum; atau cukup dimaknai sebagai keadaan yang khusus, unik, atau sebagai gejala khusus; atau sekedar perkecualian; atau berdasarkan lima asumsi dimana Islam Nusantara dipandang sebagai: otonom yang membentuk tradisi peradaban, tertutup, intrinsik, dan kedap terhadap perubahan.
Saya melihat, tidak ada kejelasan sama sekali apa yang dicondro dari eksepsionalisme Islam di situ, dan ketika disematkan kepada NU menjadi ambigu. Salahlah kiranya mengatakan semua orang ketika disebut bahwa Isnus di tangan NU sebagai ekspesional telah difahami dan jelas, karena ini akan menyangkut argumentasi-argu mentasi yang dibangun dan pembuktian yang ingin dikemukakan soal Isnus di tangan NU sebagai ekspesional. Karena setiap orang akan memi liki makna yang berbeda terhadap setiap tulisan tanpa kejelasan apa yang dimaksudkan dari istilah atau konsep yang disematkannya.
Dengan ketidakjelasan ini, kemudian menyebut Isnus di tangan NU sebagai ekspesional dan mahjubun bin Nahdliyin, bukan hanya membingungkan, tetapi juga menunjukkan kebingungan dari penulisnya terhadap diskursus Islam Nusantara yang dikampanyekan kalangan NU. Ini bukan hanya dilakukan Shohib yang seorang Katib Am PCI NU, tetapi juga dilakukan Najib Burhani dalam beberapa tulisannya di Sindo soal Islam Nusantara.
Yang berikutnya, kata mahjubun bin Nahdliyin, adalah mengandaikan, inheren di dalamnya, bahwa NU telah menyegel dan menutup perdebatan, dan Isnus sebagai wacana tertutup. Saya akan memperjelas ini, dengan contoh: kita memiliki identitas Pancasila sebagai dasar Negara, apakah berarti perumusan Pancasila sebagai menutup perdebatan persoalan kemanusian di dunia. Kita memiliki Ahlussunnah Waljamaah an-Nahldiyah, apakah itu berarti menutup perdebatan Ahlussunnah Waljamaah di dunia Islam. Jelasnya, sama sekali tidak. Akan tetapi bahwa NU memiliki pandangan soal itu, justru menunjukkan sebagai upaya dinamis untuk menjawab kegelisahan dan keresahan tentang ekspresi Islam yang berkembang, yang dibalut dengan tampilan kemarahan, kekerasan, dan lain-lain.
Di sini, yang perlu dibaca:
Satu , setiap kelompok sosial dan masyarakat, punya hak merumuskan kegelisahan yang di hadapinya dan kemudian membingkainya dalam kerangka tertentu, dan membatasi dirinya sendiri, sama seperti kita merumuskan Pancasila, itupun membatasi. Sama seperti orang merumuskan Aswaja an-Nahdliyah, itupun membatasi. Apakah kemudian kalau sudah begitu, akan dikatakan kemanusian mahjubun bil Pancasila; Aswaja mahjubun bil Aswaja an-Nahdliyyah. Tentu saja tidak. Di sinilah terjadinya kebingungan pikir yang terjadi.
Kalau bagi akademisi yang tidak terikat oleh kekuatan organik kelompok, dia akan dengan gampang, menghubungkan pikiran tentang kemanusiaan harus dibuka, karena telah dimahjubkan oleh Pancasila, dan lain-lain. Karena ia hanya berhenti dalam kajian-kajian dan tumpukan jilidan buku atau copian. Akan tetapi bagi kelompok, intelektual, aktivis dan penggerak yang berhubungan dengan organik masyarakat, dia memerlukan falsifikasi ide, ide yang harus diperjuangakan, dan kesanggupan untuk beraduargumentas, termasuk di dalam persoalan membingkai Isnus. Itupun, sayangnya mereka yang mengatakan mahjubun bin Nahdliyin tidak bisa membuktikan dengan argumentasi-argumentasi di dalam tulissnnya, bahwa NU telah menyegel dan menutup perdebatan soal Isnus yang telah diianggapnya sebagai eksepsional, dan kemudian, dibarengi dengan kesembronoan seorang Katib Am PCI NU dan peneliti senior LIPI mengatakan mahjubun bin Nahdliyin, seakan-akan telah menjadi gagah tulisannya.
Dua, apa salahnya kalau, katakanlah Isnus menjadi identitas kelompok; apa salahnya kalau sebuah bangsa membatasi dirinya dengan dasar Pancasila; apa salahnya kalau setiap bangsa memiliki konstitusi untuk membatasi dirinya. Kalau persoalan bahwa Isnus itu harus diperluas dan sampai dalam konteks Asia Tenggara, juga tidak ada pembuktian yang dikemukakan bahwa NU menutup diskusi Isnus di dalam kerangka mencari koherensi, persesuaian, dan atribusi dengan penanda-penanda yang sama di dalam konteks Asia Tenggara.
Kalau hal ini tidak ditunjukkan buktikanya sebagaimana dalam tulisan Shohib dan Najib, maka persoalannya menjadi membingungkan lagi, karena kebingunan dari mereka sendiri yang mengatakan Isnus mahjubun bin Nahdliyin. Ini men jadi semakin jelas ketika kita membedakan persoalannya: Isnus di tangan NU yang dianggap eksepsional itu oleh mereka, sebagai kata selesai bagi Isnus; ataukah sebenarnya Isnus sebagai jembatan untuk membangun peradaban dunia. Padahal bagi kalangan NU, masalah terakhir itu yang sudah jelas dikembangkan dan dikampanyekan. Bahwa kemudian NU dan aktivis-aktivisnya memiliki kerangka tertentu, tidak perlu dibuat bingung dan repot, sebagaimana setiap ide juga dikerangkakan.
Kalau ingin menunjukkan Isnus sebagai yang terus menerus dan belum selesai, jangan tergantung pada NU, lakukan saja kajian dan tunjukkan pada dunia bahwa ekspresi Isnus yang dikajinya, tanpa harus mengumbar hal kekanak-kanakan dengan mengatakan Isnus mahjubun bin Nahdliyin.
Saya sangat senang kalau mereka yang mengatakan Isnus mahjubun bin Nahdliyin melakukan pembuktian-pembuktian argumentasi , bukan kering kerontang, supaya kami juga bisa memohon pertolongan Alloh untuk membenahinya. Saya tunggu. Suer. Saya juga sangat sangat senang, sahabat-sahabat kami juga senang kalau diskursus Isnus ini kemudian berkembang lebih luas, termasuk dengan cara masing-masing orang dan kelompok mempresepsikan. Karena dengan begitulah, akan ada argumentasi dan saling melengkapi untuk membangun peradaban yang lebih baik bukan hanya di Asia Tenggara.[]
*) Nur Kholik Ridwan (Anggota PP RMI NU)