Atas kontroversi yang terjadi pada seorang ustadzah muballighah, saya jadi ingin merepost catatan-catatan yang dulu pernah saya buat setiap weekend ketika masih tinggal di Berlin. Salah satu catatan itu saya beri judul “Krisis Pengetahuan Islam di Ruang Publik: Refleksi Historis atas Ilmu Nahwu.”
Ilmu Nahwu, biasa dipahami sebagai ilmu tata bahasa Arab (Arabic grammar), adalah hal paling fundamental jika kita ingin mempelajari Islam dari literatur-litarur berbahasa Arab baik modern maupun klasik klasik. Banyak dari kalangan kita yang tidak punya waktu, malas, atau bahkan tidak tahu sama sekali akan ilmu ini. Bahkan sebagian kalangan ada yang menganggap bahwa ilmu alat ini tidak perlu-perlu amat. Untuk berdakwah tidak harus bisa membaca kitab-kitab berbahasa Arab, yang penting dari dakwah adalah kemauan. Mungkin ini benar apabila yang didakwahkan hal-hal yang sederhana seperti perilaku baik sehari-hari seperti jangan mencuri, jangan korupsi dlsb. Namun jika materi dakwah sudah menyangkut hal-hal yang rumit dan memerlukan pemahaman yang seksama soal sumber ajaran agama yang berbahasa Arab, maka mau tidak mau ilmu Nahwu ini perlu dikuasai. Jika tidak mampu menguasai semua, kuasailah yang sesuai dengan yang disampaikan. Jika tidak mampu, tanyakan pada yang mampu daripada nanti mengalami kesalahan ketika sudah menjalankan dakwah.
*****
Kalangan pesantren di Jawa, Sumatera, Kalimantan, pasti mengenal ilmu ini dari kitab-kitab seperti Matan Jurumiyah, Imrithi, dan Alfiyah karya Ibn Malik. Ilmu ini memang merupakan cabang yang susah selain ilmu Sharaf, Balaghah, Mantiq tentunya karena butuh kejelian, hafalan yang kuat, dan analisa yang mendalam. Teman-teman saya di madrasah dulu sering menghindari dan berkeluh kesah tentang betapa sulitnya memahami apalagi menerapkan ilmu Nahwu untuk membaca naskah-naskah bahasa Arab yang gundul, tanpa tanda baca. Namun kesulitan ini sangat sepadan dengan fungsi Nahwu ini sendiri dimana tanpa ilmu ini hampir mustahil seseorang bisa memahami al-Qur’an, Sunnah dan Islam secara keseluruhan dan secara mendalam. Di Pesantren dulu, jangan ketahuan membaca terjemahan kitab-kitab yang diajarkan, karena ini adalah hal yang memalukan, seorang santri atau kyai bisa runtuh kredibilitasnya gara-gara hanya salah membaca harakat (tanda baca) di akhir kata misalnya bagaimana misalnya membaca isim alam (nama-nama benda/alam) seperti kata Ibrahim dan isim tafdiil (bentuk lebih atau paling) setelah huruf jer ilaa (huruf yang bisa menyebabkan bacaan kasrah pada isim) dan kasus-kasus lain. Hal seperti ini cukup bisa dipahami karena memang memahami al-Qur’an dan Sunnah Nabi harus dilakukan bukan dengan cara main-main (hawa nafsu), tanpa ilmu, tapi harus secara ilmiah. Salah satu cara yang ilmiah itu adalah jika pemahaman tersebut didasarkan pada tradisi keilmuan (turaath) yang mapan yang sudah dibangun oleh kalangan ulama masa lalu.
Kedudukan ilmu lain juga penting untuk mengkaji Islam, namun kalau seseorang ingin menjadikan atau mengaku dirinya sebagai ahli atau ‘aalim dalam Islam, mau tidak mau harus mau belajar dan mengenal ilmu ini supaya pemahamannya tidak separuh-separuh dan juga sesat menyesatkan. Pemahaman tanpa ilmu-ilmu yang memadai bisa menjerumuskan orang dirinya dan orang lain. Bahkan menafsirkan hal-hal penting dalam Islam seperti syariah, fiqih, akidah, dengan modal bahasa Arab yang pas-pasan atau apalagi modal terjemahan dan ilmu rungon (mendengarkan) bisa menyebabkan seseorang tersebut, meskipun itu ustadz atau pun pendakwah, jatuh pada sikap liberalisme (asal-asalan). Hal yang menyedihkan, dalam konteks ilmu Nahwu ini, adalah kenyataan dimana banyak para aktivis Islam masa kini yang sama sekali tidak tahu apalagi memahami ilmu ini. Pengetahuan mereka banyak tergantung pada buku-buku terjemahan yang sering kualitasnya pengalihbahasaannya sangat minimal. Intinya, jika ingin mendalam, maka alatnya harus cukup. Yang paling penting, jika ada orang yang berusaha menjelaskan Qur’an lewat Nahwu atau keilmuan lain yang memang sangat memungkinkan terciptanya tafsir-tafsir yang berbeda-beda, mereka yang masih awam dalam bidang Islam terutama ilmu Nahwu menganggap penjelasan yang njelimet dan rumit ini sebagai bentuk pemahamanan liberalisme Islam. Apa yang bisa kita lakukan pada orang seperti ini, tidak ada kata lain selain memaklumi. Mungkin ini yang beranggapan seperti ini perlu berhijrah ke dalam Islam yang sesungguhnya, yakni Islam sebagai keyakinan, perilaku dan juga pengetahuan.
1. Sejarah Pembentukan
Jika kita bicara ilmu Nahwu, maka sama halnya dengan bicara madzhab Basrah dan bicara madzhab Basrah sama dengan bicara tentang upaya pengharakatan al-Qur’an untuk yang pertama kali. Ilmu Nahwu yang sekarang ini banyak dipelajari dan dibaca di seluruh dunia termasuk pesantren-pesantren di Indonesia adalah ilmu yang lahir dan berkembang di Basrah. Para ahli sepakat bahwa kemunculan cabang ilmu ini adalah untuk melindungi al-Qur’an dari cara pembacaan yang salah atas al-Qur’an. Ingat bahwa al-Qur’an pada awal-awal bukan seperti al-Qur’an yang kita nikmati sekarang, ada harakatnya lengkap. Al-Qur’an pada masa itu adalah gundul, tak bertanda baca. Bagi para tabi’in dan tabi’it tabiin yang sudah haamil al-qur’aan (hafal al-Qur’an) tiadanya tanda baca dalam al-Qur’an tidak masalah, namun bagi mereka yang tidak hafal, maka tanda baca sanga diperlukan di sini. Abu As’ad al-Duali adalah pembangun awal ilmu yang disebut Nahwu ini. Al-Duali mengambil inspirasi dari Sayyida Ali (r.a). Al-Duali berkata, “jika engkau benar-benar telah melihat mulutku membaca fathah, maka kasihlah tanda baca fathah di atasnya, jika mulutku membaca dhammah, maka kasihlah tanda baca dlammah di atasnya, jika mulutku membaca kasrah, maka kasihlah tanda baca kasrah di bawahnya (Dikutip dari Ibn al-Nadiim, al-Fahrasat, h. 59).
Dalam perkembangannya, menurut Prof. Abduh al-Rajihi dalam kitabnya, Durus fi al-Madzaahib al-Nahwiyah, menyatakan bahwa ternyata apa yang dilakukan oleh al-Duali tidak hanya berguna untuk menjaga al-Qur’an dari “kecadelan” dari pembacanya, namun memiliki implikasi yang lebih bjauh, yakni untuk mencapai prinsip-prinsip Islam yang paling mendalam (h. 10). Jika halnya yang demikian, mari kita mengingat kembali ilmu ini dan menggunakannya untuk membaca Islam –al-Qur’an, Sunnah dan turast. Sebagaimana yang disebutkan tentang peran Abu al-Awad al-Duali; dimana ilmu Nahwu sudah berkembang tidak hanya menjaga kebenaran cara membaca al-Qur’an, kemudian ilmu ini tumbuh untuk memahami al-Qur’an.
Aliran Basrah
Madhab (aliran) Basrah berjasa besar dalam meletakkan dasar-dasar ilmu Nahwu semenjak abad 1 H dan terus berkembang melalui sarjana-sarjana aliran ini seperti Ibn Ali Ishaq al-Hadramy, Isa ibn Umar al-Thasaqafi, Abu Amr ibn al-Alla’, Yunus ibn Habib, dan kemudian sampai kedua tokoh terpenting dalam perkembangan ilmu ini yakni: Imam Khalil ibn Ahmad dan Imam Sibawaihi. Menurut Prof. Abduh al-Rajihi, kedua imam ini sesungguhnya merupakan peletak dasar yang sebenarnya dari Nahwu (h. 11).
Karena sampai tulisan ini dilaporkan saya belum menemukan literatur yang cukup tentang peran tokoh-tokoh aliran Basrah di atas terutama Imam Khalil yang konon merupakan guru Imam Sibawaihi, maka saya akan menjelaskan posisi Imam Sibawaihi terlebih dahulu. Sibawaihi bernama asli Amru ibn Uthman ibn Qanbar dari arah Ibn Harith ibn Ka’ab. Menurut beberapa kalangan, Imam Sibawaihi lahir di Persia dan tumbuh di Basrah. Kalangan sejarahwan tidak menyebutkan tanggal kelahiran Imam Sibawaihi, namun beliau diperkirakan meninggal pada 180 H. Ada apa dengan Imam Sibawaihi sehingga aktor ini begitu penting dalam pembentukan ilmu Nahwu ini.
Beliau adalah penulis sebuah kitab yang disepakati di kalangan ahli Nahwu diberi judul “al-Kitab”. Apa maknanya? Judul ini merupakan pengibaratan atas betapa pentingnya kitab ini sehingga para ahli Nahwu ada yang menyebutnya sebagai “Qur’an al-Nahwy” artinya Bacaan (Qur’annya) Nahwu, sumber Nahwu. Namun beberapa kalangan menyatakan bahwa apa yang sesungguhnya diutarakan dalam al-Kitab banyak dinukilkan dari Imam Khalil ibn Ahmad, guru Sibawaihi. Hal ini terlihat dari narasi-narasi yang dipaparkann oleh Imam Sibawaihi misalnya, sa’altuhu (saya telah bertanya) atau qala (berkata, kata kerja bentuk lampau (madhi) yang menyimpan dhamir laki-laki). Baik pada sa’altuhu maupun qala, sesungguhnya isim dari dhamir itu tidak lain adalah Imam Khalil ibn Ahmad. Meskipun demikian, kita tidak bisa memungkiri bahwa Imam Sibawaihi memang yang secara sistematis merangkum dan meformulasikan pendapat-pendapat dahulu dalam bentuk karangan ini (al-Kitab).
Pengakuan pentingnya al-Kitab misalnya dinyatakan oleh al-Jahidz dimana suatu saat dia berencana berkunjung ke Muhammad bin Abdul Muluk, seorang menteri zaman al-Mu’tasim, dan berpikir hadiah apa yang pantas diberikan kepada sang menteri. Lalu al-Jahidz memutuskan sebagai hadiahnya tidak lain adalah al-Kitab ini (“lam ajid shai’an ahdiihi laka mithla hada al-kitab,” tidak aku temukan sesuatu untuk ku hadiahkan padamu yang sepadan (seharga) al-Kitab). Bahkan menurut sejarah, al-Jahidz harus membelinya al-Kitab dari al-Farra’ yang merupakan harta warisannya. Abdul Muluk menjawab pemberian al-Jahidz, “demi Allah apa yang kamu telah berikan padaku adalah sesuatu yang paling aku sukai.” Sebenarnya, banyak kisah-kisah lain yang menyanjung al-Kitab ini, namun tidak perlu saya utarakan di sini.
*****
Selanjutnya, banyak karya-karya sarjana terkemuka masa lalu yang ditujukan secara khusus untuk mensyarahi (menjelaskan) dan mengajarkan al-Kitab kepada murid-murid mereka. Mereka itu misalnya Abu Said al-Sirafi, Mubarrad, Ali ibn Sulaiman al-Akhfash, al-Ramani, Ibn Siraj, al-Zamakshari dan masih banyak lainnya.
Di dunia akademia Barat, al-Kitab diterjemahkan oleh Derenbourg, seorang sarjana berkebangsaan Prancis pada menjadi dua volume pada tahun 1881-1889 M. Beberapa tahun kemudian, sarjana berkebangsaan Jerman asal Berlin, G. Jahn, menterjemahkannya ke dalam bahasa Arab, didasarkan pada terjemahan versi Prancis Derenbourg, namun dilengkapi dengan komentar-komentar (ta’liqat) dari al-Sirafi. Edisi Jerman ini diberi judul Sibawaihi’s Buch ūber die Grammatik pada 1995-1900. Beberapa tahun kemudian, penerbit Bulaq, Cairo, Mesir, menerbitkan al-Kitab dalam dua volume (1316-1318 H). Edisi Bulaq ini dianggap sebagai terbitan yang terbaik. Di dalam edisi Bulaq ini, dipinggir kitab (hamish), bagi yang terbiasa membaca kitab lama, pasti mengerti ini, dicantumkan penjelasan Abu Said al-Sirafi.
*) Syafiq Hasyim PhD