Hari ini Menteri Sosial Juliari Peter Batubara dinyatakan sebagai tersangka kasus korupsi bansos (bantuan sosial) oleh KPK. Ia terlibat korupsi dana bansos penanganan Covid-19. Kejahatan kerah putih itu dibongkar lewat operasi tangkap tangan (OTT) tadi malam. Menurut Ketua KPK Firli Bahuri, dalam transaksi haram najis mugholadhoh tersebut, disepakati fee sebesar Rp 10 ribu per paket sembako dari nilai Rp 300 ribu per paket.
Kita bisa sepakat, dari modus operandi ini Juliari adalah kriminal. Pun dengan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo atau pejabat negara korup lainnya. Perlu diingat, koruptor tak ada bedanya dengan maling burung, copet terminal, atau perampok. Bahkan lebih parah karena mereka bisa merampas miliaran rupiah dari dana yang seharusnya hak milik orang-orang miskin dan terpinggirkan.
Terutama Juliari. Saya tak habis pikir bagaimana bisa seseorang mengambil untung dari keadaan sulit di masa pandemi. Saat banyak orang masih berpikir ‘besok mau makan apa’, pejabat yang gajinya bisa untuk makan orang sekelurahan ini malah mencuri ‘jatah nasi’ dari ratusan ribu orang yang kelaparan. Apalagi yang lebih menyedihkan dari kisah tentang seorang kenyang yang merampas makanan dari orang-orang lapar?
Selama pandemi, saya ketemu banyak sekali orang yang menghabiskan waktu dan tenaganya di kebun, di posko, juga di dapur umum. Mereka adalah para relawan yang bekerja memproduksi makanan, mengolahnya, dan membagikannya; juga menyalurkan paket bantuan untuk sesama warga yang membutuhkan.
Di kebun, mereka rela panas-panasan, berbulan-bulan, mengolah tanah dan menanam sayur organik untuk menyuplai kebutuhan pangan sehat di dapur umum. Di dapur umum sendiri, relawan lain kemudian memasaknya dan membagikan makanan untuk warga terdampak pandemi, nyaris setiap hari. Sedangkan di posko, orang-orang menghabiskan waktu dari pagi sampai malam untuk belanja sembako, mengepak paket bantuan, mendata penerima manfaat, hingga menyalurkannya untuk meringankan beban para pekerja informal yang kehilangan pekerjaan.
Tak ada gaji untuk itu semua. Bukan berarti para relawan ini tak kesulitan ekonomi. Pandemi menyapu rata pilar ekonomi semua orang. Tapi mereka membawa itikad baik dari rumah, bekerja dengan tekun, dan mengandalkan humor di sela-sela kesibukannya, supaya hidup yang sudah sulit ini bisa cepat ditelan tanpa harus dirasakan.
Lalu di saat bersamaan, bisa-bisanya para pejabat negara malah saling bantu mengorupsi dana bantuan sosial? Beliau-beliau ini digaji lho, dari pajak rakyat, dan masih serakah mengambil hak rakyat pula. Saya curiga, saat Tuhan membagi-bagikan urat malu untuk manusia, beliau-beliau ini tidak datang. Gila betul!
Tapi saya menjadi sangat bersyukur berada di lingkungan yang begitu manusiawi, di antara para relawan yang peduli pada sesamanya, meski sama-sama dilanda keterbatasan. Di sana saya benar-benar merasa hidup. Ketimbang, misalnya, harus diposisikan berada di antara para pejabat negara penyembah ego dan jabatan yang serakah dan tak pernah merasa cukup.
Melihat parahnya korupsi bansos di Kementerian Sosial, saya jadi teringat salah satu wawancara terbaik yang pernah saya tonton. Yaitu wawancara antara Andy F. Noya dan Gus Dur di program Kick Andy. Pada wawancara 15 November 2007 itu, Andy memberondong banyak pertanyaan kritis dan tepat sasaran tentang kebijakan Gus Dur selama menjadi presiden, termasuk membubarkan Departemen Sosial (sekarang menjadi Kementerian Sosial). Tanya jawab itu semakin menarik karena Gus Dur menjawabnya dengan blak-blakan dan lucu.
Dimulai dengan pertanyaan Andy, “Salah satu yang masih menjadi perdebatan adalah ketika Gus Dur membubarkan Departemen Sosial dan Departemen Penerangan. Kalau Departemen Sosial dulu, apa alasan persisnya? Sementara banyak orang terlantar yang harus diayomi oleh departemen itu.”
“Persisnya itu, karena departemen itu yang mestinya mengayomi rakyat ternyata korupsinya gede-gedean. Sampai hari ini!” jawab Gus Dur.
“Kalau membunuh tikus kan tidak perlu membakar lumbungnya?”
“Oh memang.”
“Kenapa Anda bakar lumbungnya?”
“Bukan. Karena tikusnya sudah menguasai lumbung.” Pungkas Gus Dur.
Tawa penonton meledak setelah mendengar jawaban terakhir Gus Dur. Dan ya, humor memang akan semakin lucu saat ia semakin mendekati realitas. Apa yang dikatakan Gus Dur masih terbukti hingga hari ini, meski telah 13 tahun berlalu.
Tapi sebenarnya bukan itu yang membuat saya khawatir. Ada sesuatu yang lebih besar lagi mengancam negara kita, yaitu laku korupsi itu sendiri. Ia bisa ada di mana-mana, tak hanya di satu kementerian atau lembaga pemerintahan saja. Korupsi tidak bisa menjadi budaya, karena budaya adalah produk kolektif yang positif; sedangkan korupsi tidak. Ia lebih mewujud menjadi kebiasaan yang dinormalisasi, baik dengan istilah-istilah justifikasi etik (tanda balas jasa, dsb) atau eufemisme (uang lelah, dsb). Kalau begini terus, tikus tak hanya menguasai lumbung. Ia bisa dengan mudah menguasai seluruh desa.
Juliari Batubara dan koruptor lainnya adalah orang-orang yang sangat terdidik, tentu saja. Mereka beragama, sepertinya iya. Mereka punya kompas moral yang kuat. Mereka tahu kalau korupsi bansos bukanlah tindakan terpuji dan melanggar hukum. Tapi sekali lagi, tahu saja tidak cukup. Pengetahuan dan kesadaran memiliki jarak. Artinya, seberapa terdidik dan agamis mereka, tapi selama sistem kekuasaan dan politik di Indonesia masih menormalisasi penyimpangan, maka komitmen antikorupsi di lingkungan pemerintahan bakal jadi isapan jempol belaka.
Hari ini, ketika banyak warga terdampak pandemi tak mendapatkan haknya karena Menteri Sosialnya korup, ketika komunitas nelayan makin terpinggirkan karena Menteri Kelautan dan Perikanannya korup, atau ketika warga kesulitan mengurus KTP karena mantan ketua DPR-nya korup, juga kesengsaraan bertubi-tubi lainnya yang merugikan rakyat kecil, lantas kita bisa apa?
Pertama, saling bantu satu sama lain. Rakyat bantu rakyat. Tidak perlu berharap banyak pada negara kalau tak ingin kecewa. Saling menguatkan di akar rumput adalah upaya terbaik untuk bertahan. Kedua, terus mengawasi peran pemerintah dan ikut mendorong supremasi hukum. Kalau salah ya dibenarkan, kalau benar ya didukung.
Apa parameter benar salahnya? Tegaknya keadilan dan sejahteranya masyarakat. Dua hal itu tak boleh dipisah. Kita punya andil untuk itu. Sebagaimana yang diucapkan Gus Dur dalam kelanjutan wawancaranya bersama Andy, “Masyarakat juga penting peranannya kok, memang cuma pemerintah saja?”