5 Hal Unfaedah dalam RUU Ketahanan Keluarga, Bikin Kita Geleng-geleng Kepala

5 Hal Unfaedah dalam RUU Ketahanan Keluarga, Bikin Kita Geleng-geleng Kepala

RUU Ketahanan keluarga memang membuat kita jengkel, DPR ke laut ajeee….

5 Hal Unfaedah dalam RUU Ketahanan Keluarga, Bikin Kita Geleng-geleng Kepala
Soeharto bersama keluarga, kalau zaman itu ada RUU ini bagaimana ya?

Undang-undang ngawur dari DPR yang mengakibatkan aksi #ReformasiDikorupsi ternyata kembali berulang. Awal tahun 2020 muncul Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketahanan Keluarga yang isinya sangat menarik untuk diperdebatkan. Ada banyak pasal aneh dan berusaha menggeret perempuan dari ruang publik untuk kembali ke ruang domestik. Namun, sebelum saya membahas hal-hal yang tidak saya setujui, ada dua hal yang saya sepakati dalam pasal-pasal RUU Ketahanan keluarga, yaitu pada pasal 18 tentang penjanjian pra nikah dan cuti hamil selama 6 bulan.

Sekilas tentang perjanjian pra nikah, beberapa negara sebenarnya sudah melaksanakan seperti Belgia dan Belanda. Fungsi dari perjanjian pra nikah ini, mempermudah pembagian harta ketika terjadi perceraian.  Surat itu juga memiliki peran penting untuk melindungi aset dan properti selama pernikahan jika terjadi kebangkrutan atau peristiwa yang tidak diinginkan lainnya. Selain itu, bisa dijadikan sebagai penegas mengenai hak serta kewajiban yang harus dilakukan oleh suami dan istri.

Begitu catatan positif saya tentang RUU Ketahanan Keluarga. Namun, saya juga mencatat, hal unfaedah yang dibahas mengenai RUU tersebut.

1). Tentang kewajiban istri dan suami. Di mana suami memberikan kehidupan keluarga dengan kemampuannya. Sedangkan kewajiban istri harus memberlakukan suami dan anak sesuai dengan norma agama.

Jika catatannya seperti ini, harus ada tambahan; suami harus mencari nafkah sesuai dengan UMR dan tunjangannya. Melihat perkara pertama, kita tidak bisa menutup mata ada ada banyak keperluan yang harus dicukupi yang mana istri harus mengambil peran publik juga. Naif.

2). Ketakutan dengan adanya inses. Salah satu anggota DPR RI dari fraksi PKS, Netty Heriawan menegaskan, jika kamar anak perempuan harus dipisahkan karena persoalan inses. Berdasarkan data yang dihimpun pada 2019 terjadi 10 kasus hubungan sedarah. Pada bulan terjadi kasus serupa terjadi di Sumatera Barat.

Dari jumlah kasus tersebut, budaya patriarki menyumbang kasus inses. Di mana terjadi peran dominan sosok ayah sebagai kepala keluarga, sedangkan ibu menjadi sangat penurut karena merasa sangat tergantung secara ekonomi, serta pemahaman keluarga tentang peran gender juga memicu terjadinya inses.

Melihat kasus-kasus tersebut, inses banyak terjadi pada keluarga yang secara ekonomi dan pendikan rendah. Hal terpenting adalah pengetahuan kesehatan reproduksi yang sangat jarang dibahas di dalam keluarga. Misalnya, apa harus dilakukan oleh anak perempuan dan laki-laki. Padahal keluarga merupakan tempat pertama anak belajar. Sangat penting memberikan pelajaran tentang kesehatan reproduksi bagi anak-anak sejak dini.

3). Definisi keluarga rentan tidak dibahas kondisi keluarga yang terpapar ekstremisme dan wilayah konflik. Padahal mengetahun pada beberapa tahun terakhir, perlakukan ekstremisme ini masuk ke ranah keluarga. Begitu juga para Eks WNI ISIS yang pergi membawa serta keluarganya. Lalu, kita juga tidak menutup mata sebagian daerah di Indonesia telah mengalami konflik. Kondisi ini perlu dijawab juga. Tapi ya gitu, DPR ini ngapain sih?

4). Pembahasan hak orangtua dan anak yang enggak banget deh. Setelah membaca rancangan aturan tersebut, ternyata, aturan tersebut merupakan norma-norma yang selama ini telah terjadi di masyatakat. Pertanyaan besar saya, DPR telah melakukan hal yang unfaedah dengan menetapkan sebagai aturan yang baku dalam Undang-undang? Begitu pun berbicara tentang sangsi, Indonesia memiliki sangsi sosial bagi masyarakat yang melanggar hal tersebut

5). Donor sperma dan titip Rahim. Hal ini sebenernya telah diatur dalam undang-undang yang sudah ada di Indonesia, yaitu Undang-Undang Kesehatan dan Permen tentan kesehatan Reproduksi. Dalam Undang-undang Kesehatan Nomor 36 tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah tentang Kesehatan Reproduksi Nomor 41 tahun 2014, telah ditegaskan bahwa inseminasi buatan maupun bayi tabung harus dilakukan oleh pasangan suami istri.

Dengan kata lain, hukum di Indonesia melarang warganya untuk menerima donor sperma dari orang lain selain dari suami sendiri. Hemat saya, sangat mubazir DPR membuat aturan ini. Karena sudah diatur dalam peraturan sebelumnya. Nampaknya di Indonesia sendiri tidak akan pernah terjadi hal ini. Sebab, insfrastruktur bank sperma ini tidak ada di Indonesia. Sekalipun akan ada orang yang melakukan ini, mereka akan pergi keluar negeri, bisa jadi.

Dari catatan-catatan itu, saya pun bertanya-tanya, sebenarnya para anggota DPR ini ngapain saja sih kerjanya?