Jakarta, Islami.co – Terorisme selalu meninggalkan bekas luka mendalam bagi para korban. Dampaknya cukup serius, baik secara fisik, psikologis, psikososial, hingga kerugian materi. Tidak hanya itu, terorisme kerap mencitpakan situasi teror yang mencekam bagi seluruh lapisan masyarakat.
Oleh karena itu, terorisme telah dianggap sebagai masalah strategis. Tindakan itu juga digolongkan ke dalam kejahatan luar biasa (extraordinary crime) dan menjadi musuh umat manusia (hostes humanis generis).
Di Indonesia, pemerintah berupaya melakukan pemulihan korban tindak pidana terorisme yang salah satunya melalui regulasi berbentuk Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 tahun 2020. Sayangnya, pelaksanaannya belum berjalan sesuai harapan.
Hal ini yang menjadi topik pembahasan dalam Diskusi Editor Media dan Kelas Jurnalis bertajuk “Terorisme dalam Pandangan Negara, Media, dan Korban”. Diskusi ini diselenggarakan oleh MediaLink bersama Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) di Jakarta, Rabu (26/7) kemarin.
“Sampai saat ini, apa yang dijanjikan pemerintah seperti yang tertuang dalam peraturan, belum sepenuhnya terlaksana. Padahal kita benar-benar butuh perhatian itu,” ujar Tony Sumarno, salah seorang korban terorisme dalam tragedi Bom JW Marriot pada tahun 2009 silam.
Menurut pria yang juga menjadi Wakil Ketua Forum Komunikasi Aktifis AkhlakulKarimah Indonesia (FKAAI) itu, perhatian negara terhadap korban tindak pidana terorisme terkesan kurang serius dan hanya basa-basi.
“Program asuransi BPJS yang dijanjikan misalnya, hingga kini belum jelas. Kami pun tidak dapat mengakses sampai di mana perkembangan asuransi yang akan dibayarkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT),” sambung Tony.
Menyikapi soal keseriusan negara dalam melindungi korban terorisme, peneliti Medialink, Leli Qomarulaeli, memandang bahwa korban terorisme berhak mengetahui kebijakan yang diambil pemerintah terkait upaya perlindungan korban.
“Ini merupakan hak mereka yang dilindungi perundang-undangan. Selain itu, keterbukaan pemerintah dalam memberikan akses informasi kepada korban justru akan menguatkan komitmen pemerintah dalam upaya itu,” terang Leli.
Ia menambahkan, “di sinilah pentingnya negara hadir dan melindungi korban-korban tindak terorisme, baik korban terdampak langsung maupun tidak langsung. Negara hadir tidak saja dari penguatan dasar hukumnya semata, namun juga memberikan perlindungan non-litigasi lainnya sehingga masyarakat menjadi aman.”
Untuk mendorong keseriusan pemerintah dalam merealisasikan janji-janji mereka kepada korban terorisme, peran media massa pun sangat diperlukan. Selama ini pemberitaan media terkait terorisme masih seputar jumlah korban dan belum berprespektif korban.
“Dari hasil media monitoring yang dilakukan oleh MediaLink, ada kecenderungan pemberitaan oleh media jika ada kaitan dengan kekerasan, ada terorisme, ada persekusi, dan hanya memberitakan tentang angka korban. Dan dalam kasus radikalisme pun ikut berperspektif pelaku. Padahal, kita ingin agar korban ini tidak hanya diposisikan sebagai obyek, tapi juga sebagai subyek,” jelas Ahmad Faisol, Direktur Eksekutif MediaLink.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Asosasi Media Siber Indonesia (AMSI) Jakarta, Erik Somba, menghimbau agar media yang tergabung dalam asosiasi ikut terlibat aktif serta mengulas isu terorisme dan isu-isu strategis lainnya. Bukan hanya sekedar menitikberatkan pada statistik.
“Soal terorisme, kami menghimbau semua teman-teman asosiasi untuk tetap menjadikan isu ini sebagai sebuah isu. Karena kita gak melihat isu itu cuma sebagai statistik,” jelasnya.
Pernyataan Erik Somba diamini oleh Direktur Eksekutif Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Adi Prasetya. Ia mengatakan, “Kita terus berupaya untuk membangun media yang menyertakan pemberitaan terkait isu-isu strategis yang tidak hanya mengejar traffic, tapi menomorduakan perspektif. Keduanya harus berjalan beriringan dan seirama.” [NH]