Kontroversi yang mengiringi keputusan Munas NU 2019 tentang penyebutan kafir kepada non-Muslim menarik diamati. Sebagian orang secara terburu-buru menentang keputusan tersebut karena dikahwatirkan mengancam akidah. Tetapi ada juga seorang profesor kajian Islam di Amerika Serikat menganggap keputusan itu ngaco, sementara seorang yang lain di Jogja menyebutnya biasa saja karena sudah pernah dikemukakan oleh para pemikir Islam sebelumnya.
Kontroversi ini memperlihatkan arti penting keputusan tersebut dalam ruang publik politis masyarakat Indonesia masa kini. Namun bukan hanya isi keputusannya yang membuatnya penting, melainkan juga lembaga yang mengeluarkannya. Bagaimanapun keputusan itu lahir dari sebuah forum ilmiah kolektif organisasi Muslim terbesar di dunia yang bernama Nahdlatul Ulama!
Sungguh disayangkan proses pembuatan keputusan, atau lebih tepatnya pandangan keagamaan, tersebut luput dari perhatian. Yang dibicarakan para kyai adalah apakah konsep kafir yang selama ini berkembang dalam kitab-kitab fikih klasik–harbi, dzimmi, mu’ahad, musta’min–bisa diterapkan dalam konteks politik kebangsaan Indonesia sekarang. Jawabannnya tidak karena semua konsep kafir tersebut mengacu pada pengertian akidah dalam kancah negara teokratis di masa lalu.
Para ulama NU berpandangan bahwa Indonesia hari ini adalah negara-bangsa demokratis yang tidak bisa menerima istilah kafir di ruang publik. Biarlah istilah itu tersimpan dalam akidah di ruang privat. Di ruang publik semua orang yang ber-KTP Indonesia adalah setara sebagai sesama warganegara!
Karena istilah kafir sudah dengan sendirinya mengandung makna mis-rekognisi. Implikasinya panjang dan dalam. Seperti istilah negro di Amerika Serikat di masa lalu yang menjadi pangkal rasisme, istilah kafir jelas sekali membatasi dan manghalangi akses warganegara terhadap keadilan, baik pada ranah kultural maupun ekonomi-politik.
Jadi ini melampaui dukung-mendukung Jokowi atau Prabowo dalam pemilu.
Dan, hebatnya, semua ini dilakukan oleh para kyai pesantren! Wawasan dan komitmen mereka untuk memperjuangkan kewarganegaraan yang setara sungguh luar biasa, bahkan dalam banyak hal jauh lebih maju daripada para sarjana sekolahan. Yang terakhir ini, mohon maaf, terlihat lebih sibuk mengurusi karir diri sendiri daripada orang banyak.