Tengah malam hampir tiba. Kami masih duduk di teras rumah sambil menikmati secangkir kopi. Hawa dingin lereng Lawu Ngawi membuat malam itu terasa hening. Ia mengisahkan peristiwa pilu sekaligus indah ini. Saya seperti masuk ke dalam sebuah lorong yang tak terlukiskan saat ia mengisahkan persahabatan mendalam antardua orang sahabat.
Kisah ini terjadi di sebuah desa di Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Kisahnya terjadi pada pertengahan tahun 60-an, saat geger politik menyapu seluruh negeri, di mana nyaris tidak ada satu pun desa yang luput dari prahara.
Ia berkisah tentang persahabatan mendalam antara dua pemuda desa: IS dan S. Sejak kecil mereka bersahabat erat. Ngaji bersama, sekolah bersama, main bersama. Ketika beranjak remaja, mereka berdua berangkat nyantri di sebuah pesantren. Persahabatan yang kuat ini membuat mereka terikat nyaris seperti dua saudara yang saling melindungi.
Saat mereka kembali pulang ke desa, mereka menempuh jalan politik yang berbeda. IS menjadi tokoh NU (saat itu NU adalah partai politik), sedang S memilih PKI sebagai kendaraannya dalam berjuang di dunia politik. Sebagai tokoh yang berbeda politik, mereka berdua tak terelakkan sering berhadapan sebagai rival. Sekalipun demikian, rivalitas politik itu tidak pernah sanggup meluruhkan persahabatan yang telah terjalin begitu lama dan indah.
IS yang seorang haji dan lurah desa adalah juga tuan tanah yang menguasai lahan pertanian berhektar-hektar luasnya. Di mata PKI, IS jelas adalah salah satu dari tujuh setan desa yang harus dimusnahkan. Sejak Ketua PKI DN Aidit menyerukan pengganyangan tujuh setan desa pada April 1964, IS tentu menjadi incaran dari para tokoh dan pengikut PKI lokal.
Sekalipun demikian, S sama sekali tidak berniat mencelakai IS. Tak pernah sama sekali. IS adalah sahabatnya, saudaranya. Bahkan, setiap ada situasi genting yang menyangkut keselamatan IS, S selalu memberi tahu agar IS bisa menyelamatkan diri.
Apa yang dilakukan S ini jelas menunjukkan kedalaman persahabatan yang indah ini. Dia mempertaruhkan karir dan keselamatannya untuk menyelamatkan sahabatnya yang secara politik berhadapan dan bersaing dengannya. Di mata IS, apa yang dilakukan S atas dirinya adalah sebuah budi yang bagaimanapun juga harus dibalas.
Saat pecah G30S yang di bulan-bulan berikutnya diikuti dengan pembunuhan para tokoh dan pengikut PKI di seluruh pelosok negeri, gantian S menjadi pihak terancam. Ancaman ini tidak lagi menjadi kabar burung saat tentara mulai masuk ke desanya.
IS dikenal sebagai seorang lurah desa yang sangat berwibawa. Dia tidak hanya menggenggam otoritas politis sebagai seorang lurah, dia juga tokoh Islam yang sangat disegani. Dengan kewibawaannya, dia berhasil menyelamatkan banyak warganya yang menjadi pengikut PKI dari incaran para tentara. Akan tetapi, nyaris tak mungkin untuk menyelamatkan S dari sapuan militer yang telah masuk ke desa-desa.
Tapi, hutang itu harus dibalas; persahabatan yang tulus harus tetap dijaga. Diam-diam, IS meminta S untuk melarikan diri saat masih ada waktu. IS akan mengamankannya sejauh yang dia bisa. Ketika akhirnya S lari dari desanya dan selamat dari korban tragedi politik ’65, IS bersyukur bahwa di saat yang paling menentukan, dia masih bisa menunjukkan makna persahabatan yang telah terjalin sejak usia bocah.
Tahun berganti. Waktu akhirnya menunjukkan bahwa S betul-betul selamat. Sekalipun sejarah tak lagi bisa memberi kesempatan dua sahabat ini untuk saling melompat riang bersama seperti saat masih bocah, namun kebahagiaan IS tak mungkin disembunyikan saat melihat sahabatnya selamat pulang kembali ke kampung halaman.
Akhirnya kedua sahabat ini sampai di ujung usianya. Saat IS dipanggil Allah lebih dahulu, S datang menghormati jenazahnya dengan air mata yang meleleh di pipi. Bebeberapa tahun kemudian, S hendak menyusul sahabatnya ke alam baka, dia meminta agar dia dampingi putra IS untuk menemui Allah. Dia akhirnya meninggal dalam damai setelah dibacakan surah Yasin tiga kali oleh putra sahabatnya itu.
Malam telah melampaui batasnya. Cangkir tinggal menyisakan endapan kopi yang tidak mungkin disesap lagi. Saya berpamit untuk pulang. Tapi sesampai di rumah, saya tidak bisa tidur. Hati saya bercampur antara kesedihan dan keteduhan. Sebenarnya, saya tak bisa dengan tepat melukiskan kecamuk hati saya. Berputar-putar di otak saya perkataan Gus Dur bahwa “yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan”.
Untuk memaksa mata saya agar terlelap, saya mengambil novel lama karya Ignazio Silone, “Roti dan Anggur”, yang mengisahkan “persahabatan” antara seorang pastor dengan muridnya yang menjadi aktivis gerakan kiri di era fasisme Italia. Saya membacanya hingga tak sadar saya telah tertidur. Ketika saya terbangun karena azan subuh yang menggema dari masjid dekat rumah, saya mendapati Ignazio Silone masih terdekap di dada.[]