Secara harfiah qishash (kisas) berarti pembalasan setimpal: utang nyawa dibayar nyawa; mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka dibayar luka yang sama (Q: Al Maidah [5]: 45).
Pola hukuman kisas pertama kali diperkenalkan Kitab Perjanjian Lama untuk umat Yahudi, diteruskan oleh umat Kristiani, dan selanjutnya diadopsi oleh umat Islam melalui kitab sucinya, Al Quran. Tujuannya untuk menggantikan pola hukuman lama yang penuh dendam kesumat dan menganut kaidah:”Pembalasan mesti lebih kejam dari tindakan”. Hukum kisas berfungsi mereformasi pola hukuman yang tidak adil dan berlebihan itu.
Obyektif vs Interpretatif
Namun, persoalan utama di jagat hukum, selalu bukan pada teks normatif ataupun sumbernya. Ketentuan hukum dari kitab suci atau dari lembaga demokrasi yang dijunjung tinggi akan kehilangan martabat manakala pelaksanaannya jatuh ke tangan aparat penegak hukum yang hatinya berdaki. Norma hukum adalah ketentuan normatif yang bersifat obyektif, sementara penerapannya selalu bersifat interpretatif dan subyektif. Tentu saja puncak malapetaka adalah jika secara normatif ketentuan hukumnya sendiri sudah cacat, sementara hakim dan segenap aparat penegaknya juga berasal dari jajaran manusia yang tidak bermartabat.
Dalam teori ataupun tradisi hukum Islam, tidak semua aksi pembunuhan atau pencederaan fisik dihukum dengan kisas. Hanya pembunuhan dan pencederaan yang dilakukan secara sengaja (al-amd) dan tanpa hak (dhulman) yang boleh dihukum dengan kisas. Misalnya, pembunuhan oleh perampok, pembunuh maniak, atau pembunuhan serampangan oleh teroris. Pembunuhan atau penghilangan nyawa secara tak sengaja (salah tembak oleh aparat, misalnya) atau dalam rangka mempertahankan diri tidak dikenai kisas.
Pertanyaannya, termasuk kategori manakah pembunuhan yang dilakukan para TKI kita?
Dari berbagai segi, tidaklah masuk akal kalau dikatakan pembunuhan oleh TKI kita terhadap majikan atau keluarganya dilakukan secara sengaja dan semata-mata dengan niat menghilangkan nyawa seperti dilakukan oleh para teroris, perampok, atau pembunuh maniak berdarah dingin. Mereka adalah orang-orang susah yang sengaja pergi jauh mengadu nasib dengan satu tujuan yang sangat sederhana tetapi mulia: mencari nafkah buat keluarga yang susah didapat di negerinya sendiri. Untuk itu mereka telah ikhlas menanggung pengorbanan luar biasa, dengan meninggalkan anak dan suami atau istri serta kampung halaman yang dicintainya.
Tak bisa dibantah pembunuhan yang dilakukan oleh TKI kita—apalagi TKI perempuan—berlangsung dalam keterpaksaan dan tekanan batin yang luar biasa: dalam rangka membela diri atas kezaliman demi kezaliman yang dilakukan oleh majikan dan/atau keluarganya terhadap mereka. Fakta ini mutawatir, tak terbantahkan.
Maka ketika hakim atau pengadilan setempat menghukum TKI kita dengan kisas mati, jelas tak adil, tak setara, dan tak bisa diterima. Katakanlah pembunuhan yang dilakukan TKI kita harus dibayar dengan kisas pembunuhan atas jiwa mereka. Pertanyaannya: mana hukuman dari pengadilan setempat terhadap sang majikan sebagai ganjaran atas serentetan kezaliman yangdilakukan terhadap TKI kita? Kenapa kezaliman-kezaliman pihak majikan diabaikanbegitu saja oleh hakim, tidak pernah ada tuntutan balasannya?
Ada Ketidakadilan
Dengan pola hukuman seperti ini, jelas ada ketidakadilan yang menusuk hati. TKI kita menderita dua hal: pertama, rentetan kezaliman demi kezaliman yang dilakukan oleh majikan; kedua, pembunuhan atas nama kisas yang ditimpakan pengadilan. Sebaliknya majikan hanya menerima satu hal, yakni pembunuhan yang dilakukan oleh TKI kita yang notabene terjadi karena tekanan kezaliman sang majikan.
Dengan kata lain, majikan menerima satu derita (pembunuhan oleh TKI kita), sementara TKI kita memikul dua derita: pembunuhan atas nama kisas dan serentetan kezaliman dari majikan. Jelas ini tidak adil,tidak sesuai prinsip kesetimpalan yang justru hendak ditegakkan dengan hukum kisas.
Dengan kata lain, hukum kisas yang ditegakkan dengan tidak ”kisasi”. Rasulullah SAW bersabda, ”Hindarilah hudud (hukuman mati, potongtangan, rajam, atau cambuk) semampu mungkin manakala di sana ada celah untukmenghindar. Salah dalam memberikan ampunan adalah lebih baik daripada salah dalam menjatuhkan hukuman”.
Hadis di atas telah menjadi kaidah hukum acara oleh semua mazhab dalam fikih Islam. Ini karena sekali leher telah dipancung,tangan telah dipotong, atau lemparan batu panas sudah dirajamkan, tidak mungkinbisa direvisi lagi. Khalifah Umar RA pernah menganulir hukum potong tangan atas seorang budak yang mencuri unta untuk dimakan bersama teman-temannya karena sang majikan membiarkan mereka dalam kelaparan. Sebaliknya sang majikan yang justru diwajibkan untuk mengganti unta yang dicuri oleh budaknya tadi.
Sejalan dengan pesan moral hadis tadi,bisa dipahami bahwa masyarakat beradab lebih condong pada hukuman dalam bentuk lain. Dengan demikian, jika terjadi kesalahan, masih ada ruang untuk memperbaiki. Misalnya, hukuman denda, sita kekayaan, kurungan, atau kerja sosial yang bermanfaat bagi masyarakat luas. Hal ini sama sekali tidak menyalahi hukum agama mana pun dan dalam kadar apa pun.
Adalah keliru kalau sampai ada anggapan bahwa semakin banyak leher yang ditebas, semakin banyak tangan yang dipotong,semakin banyak batu-batu panas yang dirajamkan, semakin Islami pula masyarakat atau bangsa yang bersangkutan.
Masyarakat islami yang sejati justru adalah masyarakat yang sesedikit mungkin menghukum orang. Hal ini bukan karena hukum tidak ditegakkan, melainkan karena sedikitnya jumlah orang yang bernafsu melakukan kejahatan. Bagaimana mencapai keadaan ideal ini? Menurut saya, hanya ada satu jalan: keteladanan luhur dari para pemimpin yang di atas serta kesejahteraan segenap rakyat yang ada di bawah.
*Masdar F Mas’udi, Rais Syuriah PBNU. Artikel ini dimuat di KOMPAS, 11/7/2011