Rasulullah SAW Ternyata Banyak Membatalkan Hukuman Pancung

Rasulullah SAW Ternyata Banyak Membatalkan Hukuman Pancung

Rasulullah SAW Ternyata Banyak Membatalkan Hukuman Pancung
Hukum Cambuk yang diterapkan di Aceh sebagai salah satu bagian dari Formalisasi Islam

Hukuman pancung dalam hukum Islam termasuk bagian qishash. Ia adalah bentuk sanksi (uqubah) pelanggaran tindak pidana berat (jarimah). Adapun tindak pidana ringan bentuk sanksinya disebut takzir yang ketentuan besar kecilnya menjadi kewenangan penguasa sebagai pengayom masyarakat.

Qishash dijelaskan di dalam al-qur’an dengan tujuan (maqashid syariah) memberikan jaminan hidup kepada masyarakat. Secara bahasa qishash berarti “tattabu’ul atsar” yakni menelusuri kejadian atau mempertimbangkan akibat dan dampak perbuatan. Namun praktiknya qishash dipahami dengan pembalasan setimpal, hingga lahir kaedah hukum yang melukai dibalas dilukai; yang menghabisi nyawa dibalas dengan dihabisi nyawanya.

Dalam tulisan ini saya tidak ingin larut dalam situasi pro-kontra pemahaman interpretasi konsep profetik hukum pancung. Sebab masing-masing sudah barang tentu memiliki dalil dan argumentasinya sendiri. Di sini saya hanya ingin memaparkan data bahwa Rasulullah SAW ternyata banyak membatalkan hukuman pancung yang seharusnya diterapkan.

Sekadar contoh pada saat fathu Makkah atau pembukaan kota Mekkah, beliau awalnya sudah menvonis 10 orang yang dijatuhi hukuman pancung. Mereka adalah Ikrimah b Abu Jahal, Abdullah b. Khaththil, Wasyi b Harb, Miqyas b Shubabah, Habbar b al Aswad, Ka’ab b Zuhair, Abdullah b Saad b Abu Sarh, Shafwan b Umayah, Himdun b Utbah, Huwarits b Nuqaiz.

Tapi apa yang terjadi? Dari 10 orang yang sudah divonis mati itu 7 diantaranya dibatalkan sendiri oleh Rasulullah dan hanya 3 orang yang dihukum pancung. Mereka adalah Abdullah b Khaththil, Miqyas b Shubabah, dan Huwarits b Nuqaiz karena alasan rekam jejak hidup mereka sebagai aktor kriminal akan membahayakan kehidupan orang lain.

Sementara 7 terpidana kasus pembunuhan lainnya dibebaskan karena menurut pertimbangan Rasulullah tidak membahayakan kehidupan orang lain, sekalipun pernah membunuh orang.

Belajar dari peristiwa ini apa ada yang masih bersemangat menerapakan hukum qishash sebagai balasan timbal balik? Jika pembunuh menghabisi nyawa orang lain karena pengaruh tertentu, maka apa kita juga bernafsu menghabisi nyawa mereka karena tujuan tertentu! Lantas apa bedanya menjatuhi hukuman pancung dengan menghabisi nyawa orang?! Bukankah dalam Qishash terdapat jaminan kelangsungan hidup orang?

wallahu a’lam