Awal Februari lalu, aku hadir dalam kajian bertajuk ‘Kuputuskan tuk Berhijrah’ di masjid kampus UGM. Ust. Maududi Abdullah, Lc hadir sebagai pembicara utama pada malam itu. Dia merupakan alumnus Universitas Islam Madinah dan salah satu pengisi kajian di Ashiil TV, Rodja TV, dan Yufid TV. Lantai satu & dua penuh oleh jamaah, Lelaki & perempuan. Tidak sedikit juga dari kalangan akhwat yang mengenakan niqab atau cadar. Sebagian besar ruangan di serambi masjid itu diisi oleh pemuda & mahasiswa usia 20-30-an tahun. Subhanallah.
Hijrah, kata sang ustadz, setidaknya memiliki tiga pengertian. Pertama, hijrah dari negeri kufur. Kedua, hijrah meninggalkan orang-orang yang berada dalam kesesatan. Ketiga, hijrah meninggalkan perbuatan yang tidak diridhai oleh Allah. Hijrahnya hati, kata ustadz, adalah yang paling berat.
Tidak seperti pengajian di lingkungan NU, tidak ada guyonan yang menghibur jamaah. Beberapa jamaah nampak mencatat poin-poin yang disampaikan sang ustadz yang sering kusaksikan di beranda media sosial itu. Begitu juga diriku. Dengan secarik kertas & bolpoin kucatat hal-hal penting dari materi yg disampaikan. Sesekali aku berdiri untuk mengambil gambar.
Baca juga: Alasan Rasulullah Hijrah
Mereka ini orang-orang keren, batinku. Bagaimana tidak? Mereka datang ke masjid ini untuk mendalami Islam. Mereka telah menemukan titik balik yang penting dalam hidup mereka. Turning point yang mereka sebut dengan istilah hijrah.
Hijrah dan Islam Pasar
Ada banyak alasan kenapa mereka berhijrah. Mulai dari terlilit hutang bank atau bermain riba, jenuh dengan hiruk pikuk gaya hidup masyarakat perkotaan yg menjadikan hati kian gersang, hasrat untuk meninggalkan masa lalu yang kelam dan lainnya. Ibarat pasar, mereka adalah pembeli baru. Mereka adalah orang-orang yang ingin mengkonsumsi Islam (Greg Fealy, 2008). Menjadikan Islam sebagai bagian terpenting dalam hidup. Para pemegang otoritas keagamaan, mulai dari ormas Islam yang sudah mapan seperti NU sampai para pendakwah baru yang tidak berafiliasi pada ormas tertentu, adalah para pedagangnya. Mereka berlomba-lomba mengemas Islam sebagai produk yang ditawarkan agar menarik simpati atau perhatian para pembeli baru ini. Dalam proses mengkonsumsi ini, Setidaknya, dalam banyak hal, mereka ingin menjadi Muslim yang taat sekaligus menjadi bagian dari masyarakat modern.
Siapakah yang dagangannya paling laris? Sependek pengetahuanku, pada tahun 2016-2017 ide khilafah sempat trending di pasaran. Felix Siauw, bahkan Ustadz Abdul Shomad (UAS), dan sejumlah dai populer lain pernah menjajakan ide ini & mendapat sambutan hangat di pasaran. Belakangan, dengan dilarangnya HTI & tuduhan terhadap beberapa ormas sebagai radikal, mempengaruhi jenis produk yg ditawarkan di pasar. Para pembeli baru ini, sebagai warga yang rasional, juga tidak mau dikelompokkan sebagai radikalis atau fundamentalis. Dan hasilnya, dakwah dengan fokus pada upaya meneladani Sunnah Nabi dalam kehidupan sehari-hari minus isu politik menjadi dagangan yang laris. Misalnya, menjadi istri idaman, mengasuh anak ala Rasul, menikah dan poligami, dan sejenisnya kini nampak booming di pasaran.
Nah, ustadz Salafi, Wahabi, Ikhwani, dan (mungkin) Jihadi nampak mulai berbenah mengikuti kehendak pasar. Mereka melakukan negosiasi ajaran, membatasi tema, dan isu-isu yang bisa menarik simpati para pembeli baru ini. Mereka juga berinovasi dalam cara dakwahnya untuk merebut para Muhajirin ini. Tema kajian yang gaul dengan bahasa kekinian, hadirnya video berdurasi pendek di media sosial, tuntunan praktis beribadah dengan kemasan menarik yang disajikan melalui website, dan mengundang ustadz-ustadz kondang untuk mengisi majelis taklim merupakan beberapa contoh bagaimana mereka beradaptasi dalam memenuhi kehendak pasar.
Hijrah dan Meningkatnya Eksklusivisme Agama
Lalu, belakangan ini kita merisaukan tentang meningkatnya eksklusivisme agama di Indonesia. Riset PUSPIDEP, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, dan PPIM UIN Jakarta menunjukkan bahwa di Indonesia, terutama di perkotaan, ulama dengan kecenderungan eksklusif sebesar 9, 73%, radikal 4%, dan ekstrem 2,67%. Angka yang terbilang kecil, tapi tidak boleh diremehkan. Meski begitu, aku tidak berani mengatakan bahwa yang berhijrah secara otomatis menjadi Muslim yang eksklusif. Pada pertengahan 2016 saat mengobrol dengan salah satu orang yang berhijrah, dia dengan semangat mendukung khilafah. Merindukan sistem khilafah diterapkan di bumi Nusantara ini. Wajar, pikirku, karena saat itu Felix Siau sedang berada pada puncak popularitasnya. Satu tahun kemudian, di akhir 2017, kami bertemu lagi dan dia memiliki pandangan yang berbeda terkait khilafah dari sebelumnya. Dari obrolan yang kedua itu, nampak pengaruh dari Ustadz Adi Hidayat dan UAS mendominasi pengetahuan keislamannya.
Sungguh, pikirku, dua ustadz yang sedang naik daun itu memiliki pengaruh yang kuat di masyarakat akar rumput. Begitulah, para pemegang otoritas keagamaan saling berebut pengaruh dan panggung di kalangan muhajirin. Meningkatkan pengaruh dan pengikut melalui ceramah yang diunggah via media sosial.
Baca juga: Hijrah dalam Tafsir Quran
Hal luar biasa yang tidak terjadi sebelum era digital saat ini yang tentu bisa meruntuhkan pengaruh otoritas keagamaan tradisional yang dimiliki para kyai dan ulama yang bernaung di bawah ormas-ormas keagamaan yang sudah mapan.
Lantas, bagaimana dengan ormas Islam mapan seperti NU & Muhammadiyah? Apakah mereka akan ikut berkompetisi dalam mengarahkan atau mengendalikan wacana Islam di publik kita? Ataukah menerjunkan SDM-nya dengan mendorong dan menfasilitasi ustadz-ustadz mereka untuk mengisi ruang-ruang majelis taklim dan kajian keagamaan dengan pendekatan dan strategi yang menyesuaikan dengan kebutuhan pasar? Mari kita renungkan bersama.