Alkisah, pada masa dahulu hidup dua orang manusia bernama Wahdhah al-Yamani dan Ummul Banin. Wahdhah adalah pemuda yang paling tampan di wilayah Arab, sedangkan Ummul Banin adalah sosok perempuan paling cantik dan juga baik.
Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnul Jauzi dalam kitabnya Dzammul Hawa, kedua pemuda tersebut sejak kecil hidup bersama hingga tumbuh dewasa. Keduanya pun saling mencintai. Wahdhah mencintai Ummul Banin, begitu pula sebaliknya.
Perasaan saling mencintai antara keduanya pun akhirnya mendapatkan sebuah ujian. Sebab, saat menginjak usia baligh, Ummul Banin tidak diperbolehkan bertemu dengan lelaki yang dia cintai sekaligus lelaki yang mencintainya. Ujian itu pun berlangsung begitu lama bagi mereka berdua.
Hingga suatu ketika, saat al-Walid bin Abdul Malik pergi untuk menunaikan haji mendengar kabar tentang kecantikan dan kebaikan sosok perempuan yang bernama Ummul Banin. Dia pun akhirnya menikahinya, dan membawanya ke Syam.
Mengetahui perempuan yang dicintai telah dinikahi oleh orang lain, Wahdhah pun galau tak terkira. Bahkan dia layaknya orang yang sedang kehilangan akal sebab memikirkan orang yang dicintaiinya. Dia pun menjadi merana dan tak tentu arah.
Ujian itu pun berlangsung begitu lama. Hingga akhirnya, Wahdhah pergi menuju Syam. Tujuannya tidak lain adalah untuk melihat perempuan yang dicintainya, walaupun sudah tidak bisa menjadi miliknya. Saat sampai di Syam, dia pun mengelilingi istana al-Walid bin Abdul Malik setiap hari. Dia tidak menemukan cara, dan tidak tahu harus berbuat apa. Hingga suatu hari, dia melihat seorang budak perempuan berkulit kuning langsat. Dia berusaha untuk mendekatinya, dan berkata kepadanya, “Apakah kamu mengenal Ummul Banin?”
Si budak pun menimpalinya dengan sebuah pertanyaan, “Apakah kamu menanyakan tuanku?”
Wahdhah pun menjawab, “Sesungguhnya dia adalah puteri pamanku. Dia akan merasa senang apabila mengetahui keberadaanku, andai kamu berkenan untuk memberitahukan kepadanya.”
Mendengar ucapan Wahdhah. Budak perempuan tersebut kemudian berkata, “Aku akan memberitahukan kepadanya.”
Akhirnya, budak perempuan memberitahukan hal tersebut kepada Ummul Banin. Sambil terkejut, Ummul Banin berkata, “Celaka! Apakah dia masih hidup?” “Ya” jawab si budak.
Kepada si budak, Ummul Banin lalu berkata, “Katakan kepadanya, “tetaplah di tempatmu, hingga datang utusanku kepadamu. Aku akan berusaha melakukan sesuatu untukmu.”
Ummul Banin kemudian berusaha memasukkan Wahdhah ke dalam istana untuk bertemu dengannya. Akhirnya, dia memasukkan Wahdhah ke dalam peti. Sehingga dalam beberapa waktu, Wahdhah dan Ummul Banin bisa saling jumpa dan berdekatan kembali dengan status yang tidak seperti dulu lagi. Ummul Banin sudah menjadi isteri orang, sedangkan Wahdhah masih sendirian.
Ketika kondisi dianggap aman, Ummul Banin mengeluarkan Wahdhah dari dalam peti untuk duduk bersama. Apabila khawatir ketahuan pengawas kerajaan, Ummul Banin memasukkkannya lagi ke dalam peti. Kejadian tersebut pun terulang berkali-kali, hingga rumah Ummul Banin terdapat banyak peti.
Perbuatan terlarang itu pun akhirnya tidak bertahan lama. Berawal dari al-Walid bin Abdul Malik yang mendapatkan hadiah mutiara. Dan dia pun berkata kepada sebagian pelayannya, “Ambillah mutiara ini dan bawalah ke Ummul Mukminin. Dan katakan kepadanya,”Mutiara ini dihadiahkan kepada Amirul Mukminin, kemudian diberikan kepadamu.”
Salah seorang pelayan lalu pergi ke tempat Ummul Banin. Si pelayan tersebut ternyata langsung masuk ke ruangannya tanpa minta izin terlebih dahulu. Pada saat itu juga, Wahdhah sedang berada bersama Ummul Banin. Wahdhah menyadari hal tersebut, namun tidak dengan Ummul Banin. Dengan segera, Wahdhah bergegas masuk ke dalam peti.
Si pelayan pun segera menyampaikan pesan raja kepada Ummul Banin. Ternyata, si pelayan menginginkan salah satu perhiasan yang dihadiahkan kepada Ummul Banin. Dia pun berkata, “Berikanlah kepadaku satu satu dari mutiara ini.” Mendengar permintaan si pelayan, Ummul Banin pun berkata, “Tidak. Tidak boleh. Kamu tidak punya ibu, untuk apa perhiasan ini kamu minta.”
Melihat dan mendengar Ummul Banin berkata seperti itu, si pelayan pun kecewa dan marah. Dia kemudian mengadu kepada al-Walid, “Wahai Amirul Mukminin, ketika aku masuk ke rumahnya, aku melihatnya sedang bersama lelaki. Ketika dia melihatku, dia memasukkan lelaki tersebut ke dalam peti. Lelaki itu berada dalam peti yang begini dan begini.” Si pelayan itu memberitahukan tentang keberadaan peti yang dilihatnya di dalam rumah Ummul Banin dengan sangat detail. Namun al-Walid justru berkata, “Bohong kamu, wahai musul Allah. Pukul lehernya.”
Para pengawal pun bersiap melaksanakan perintah. Mereka bersiap memukul dan memenggal lehernya, tetapi al-Walid menahannya sebentar. Dia kemudian bergegas berdiri dan memakai sandalnya, kemudian pergi menemui Ummul Banin. Pada saat itu, Ummul Banin ternyata sedang menyisir rambutnya di dalam kamarnya.
Al-Walid yang datang pun langsung duduk di atas peti yang disebutkan ciri-cirinya oleh sang pelayan. Dia kemudian bertanya, “Wahai Ummul Banin, apa yang kamu sukai dari rumah ini?”
Ummul Banin menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, aku dapat memasukkan kebutuhanku di dalamnya. Di dalamnya juga terdapat perkakasku. Ketika aku membutuhkan sesuatu, aku dapat mengambilnya dengan dekat.”
Al-Walid kembali bertanya, “Apa isi peti-peti yang aku lihat ini?” “Perhiasanku dan perabotanku.” Jawab Ummul Banin.
Al-Walid yang masih penasaran pun kembali berkata, “Berikanlah satu peti dari peti-peti ini kepadaku.” Mendengar permintaan tersebut, Ummul Banin pun menjawab, “Diriku dan semua peti ini untukmu, wahai Amirul Mukminin.”
Sayangnya al-Walid tidak menginginkan semua peti yang ada di rumahnya. Dia pun berkata, “Tidak. Aku hanya ingin satu saja. Dan kamu sudah aku berikan semua perhiasan dan semua yang ada di dalamnya yang berupa emas.”
Mendengar ucapan al-Walid, Ummul Banin langsung berkata, “Ambillah yang kamu inginkan.”
Al-Walid kemudian memilih peti yang sedang dia duduki. Kepada Ummul Banin, dia pun berkata, “Peti yang ada di bawah ini.”
Melihat al-Walid memilih peti yang di dalamnya ada Wahdhah al-Yamani, Ummul Banin pun kaget dan langsung berkata, “Wahai Amirul Mukminin, pilihlah yang selain ini dan ambillah lainnya. Sesungguhnya dalam peti ini ada sesuatu yang sangat aku sukai.”
Ternyata, sang raja tetap tidak mau memilih peti yang lainnya. Dia pun kembali menimpail perkataan Ummul Banin, “Aku tidak ingin yang lainnya.”
Akhirnya, Ummul Banin pun pasrah dan merelakan peti tersebut seraya berkata, “Silahkan, itu untukmu.”
Al-Walid kemudian memberikan perintah agar peti tersebut dibawa. Dia kemudian menyuruh dua pengawalnya untuk menggali sumur. Kemudian memasukkan peti itu ke dalam sumur, setelah itu ditimbun dengan batu dan tanah. Sejak peristiwa itu lah, Wahdhah al-Yamani tidak pernah terlihat lagi. Karena dia telah dikubur di dalam sumur dengan peti.
Melihat peti tersebut dikubur, Ummul Banin pun menangis. Hingga pada suatu hari, dia ditemukan telah meninggal dunia dengan keadaan muka tertelungkup.
Tuhan terkadang hanya mempertemukan, namun tidak mempersatukan. Betapa banyak orang menjalin hubungan asmara sampai tahun-tahunan, namun hanya sedikit yang sampai ke pelaminan. Dan mereka yang sering menuruti hawa nafsunya tidak jarang yang melanjutkannya menjadi hubungan yang dilarang oleh agama, sebagaimana kisah di atas.
Oleh sebab itulah, jika seseorang yang kamu cintai sudah menjadi istri atau milik orang, maka tidak selayaknya masih diperjuangkan dan didekati. Sebab jika yang ada di dalam hati adalah rasa ingin memiliki seutuhnya, maka hal tersebut bukanlah cinta, namun hawa nafsu yang bisa menjerumuskan manusia dalam dosa. Sebab, level tertinggi mencintai seseorang terkadang adalah dengan mengikhlaskannya bahagia dengan orang lain.