Thufail adalah seorang penyair hebat yang takluk dengan bahasa indah Al-Qur’an.
Setelah Nabi menyampaikan risalah yang diterimanya dari Allah. Nabi menjadi orang yang paling dibenci oleh hampir seluruh Quraisy. Saat itu, ucapan dan kehadirannya menjadi musuh utama masyarakat Mekah, terlebih pemuka kafir Quraisy. Paling tidak ada empat gelar yang mereka sematkan kepada Nabi Muhammad dalam rangka menjauhkan orang lain dari mendengarkan dan mengikuti dakwahnya. Satu kali Nabi disebut sebagai penyair sebagaimana kata Abu Jahal.
Al-Walīd bin al-Mugīrah pun menuduhnya sebagai tukang sihir. Ada pula yang menjulukinya sebagai tukang tenung yang sebagaimana yang dilakukan oleh ‘Uqbah. Dan yang paling sering didengar adalah Muhammad orang gila. Empat gelar ini bermula di antaranya dari ketidaksanggupan mereka melepaskan diri dari keterpesonaan akan keindahan redaksi Al-Qur’an serta kedalaman maknanya.
Baca juga: Benarkah Tiga Kali Membaca al-Ikhlas Sama dengan Mengkhatamkan Al-Qur’an?
Memang demikianlah kedahsyatan bahasa Al-Qur’an yang mereka rasakan, mampu menghanyutkan perasaan pembaca dan pendengarnya. Kedahsyatan ini menjadi mukjizat Al-Qur’an yang bisa dirasakan saat itu. Terlebih suku Quraisy dikenal sebagai suku yang paling fasih dan unggul bahasa Arabnya. Dengan sangat mudah mereka mampu membedakan mana syair yang berkualitas dan yang tidak. Banyak sekali bukti akan pengakuan mereka terhadap keindahan bahasa Al-Qur’an, namun gengsi untuk mengutarakannya kepada halayak umum. Hal ini tidak berlaku bagi Thufail bin ‘Amr ad-Dūsī. Sahabat Nabi yang masuk Islam saat periode Mekah.
Suatu ketika, sebagaimana yang dikisahkan Ibn Ishāq dalam buku sejarahnya, Thufail tiba di Mekah dan Nabi berada tidak jauh darinya. Sekelompok lelaki dari Bani Quraisy pun berjalan menghampirinya dan berkata, “Hai Thufail, engkau telah tiba di kota kami dan lelaki yang berada di antara kami itu (sambil menunjuk ke arah Nabi), telah menyusahkan kami. Dia memecah belah persatuan kami dan mencerai beraikan urusan kami. Ucapannya tidak lain adalah sihir. Memisahkan anak dari bapaknya, seseorang dari saudaranya, dan suami dari istrinya. Kami takut apa yang terjadi pada kami menimpamu dan kaummu. Jadi jangan sampai kamu berbicara dengannya dan mendengarkan ucapannya sedikitpun”.
Tanpa rasa bosan, mereka terus menerus mempengaruhi sosok yang mulia, penyair, dan cerdas dari suku Azdi ini hingga akhirnya berhasil. Thufail bertekad untuk tidak mendengarkan apapun yang diucapkan Nabi dan tidak pula berbicara dengannya. Tekadnya ini tergambar jelas dari kebiasaannya menyumpal telinga dengan kapas saat hendak ke masjid.
Suatu pagi, dia berangkat ke Masjidil Haram. Saat itu, Nabi sedang shalat di samping Ka’bah, tidak jauh dari tempat ia berdiri. Atas kehendak Allah ia tidak sengaja mendengar firman-Nya yang dibaca Nabi Muhammad dalam salatnya. Setelah mendengarkan Al-Qur’an yang indah, ia bergumam dalam hati. “Celaka?! Demi Allah, aku adalah penyair yang cerdas. Tidak bagiku untuk membedakan ungkapan yang indah dan biasa. Tidak ada alasan yang bisa menghalangiku untuk mendengarkan Muhammad. Jika indah aku akan menerimanya. Dan jika tidak, aku akan meninggalkannya”.
Setelah itu, ia mengikuti Nabi secara diam-diam. Saat Nabi hendak masuk rumah, ia mohon ijin untuk ikut masuk. Setelah dipersilahkan, ia menceritakan informasi yang diterimanya tadi. Ia pun memulai ceritanya, “Kaummu bercerita begini dan begitu kepadaku. Demi Allah, mereka terus menerus menakuti-nakutiku terhadap misimu yang telah memisahkan anak dari orang tua, suami dari istri, dan sudara dari saudara lainnya. Aku pun terpengaruh dan memutuskan untuk menyumpal telingaku dengan kapas agar aku tidak bisa mendengar ucapanmu itu. Tapi Allah berkata lain, secara tidak sengaja aku mendengar ucapanmu. Akupun mendapatinya sebagai ungkapan yang bagus dan indah. Maka kenalkan misimu itu padaku.”
Tanpa menunggu lama, Nabi pun mulai memperkenalkan Islam kepadanya dan membacakan Al-Qur’an untuknya. Sebagai penyair yang handal seketika itu pula dirinya merasa kaget. Dia belum pernah mendengar ungkapan seindah Al-Qur’an. Selain itu, baginya tidak ada penjelasan yang lebih adil daripada Islam. Akhirnya, dia memutuskan untuk masuk Islam.
Baca juga: Belajar Al-Qur’an Melalui You Tube Bolehkah?
Sebelum berpisah ia berkata, “Wahai Nabi, aku adalah orang yang ditaati oleh kaumku. Aku akan pulang pada mereka seraya mengajak mereka untuk memeluk Islam. Maka mintalah pada Allah agar membuatkan tanda untukku sebagai penolongku di rumah nanti”. Kemudian Nabi berdoa, “Ya Rabb, berikan tanda untuknya”.
Doa inilah yang membuat Thufail merasa mantap penuh percaya diri untuk mengajak kaumnya masuk Islam. Sesaat sebelum tiba di kampungnya, Allah mengirimkan cahaya di antara kedua matanya. Karena permintaannya, cahaya tadi berpindah ke ujung cambuknya menyerupai kendil yang digantung. Hal ini menambahkan kemantapan terhadap ajaran yang diyakininya sekarang. Sebagai orang yang dihormati dan ditaati, ajakannya ini disambut oleh kaumnya.
Demikianlah salah satu kisah masuk Islamnya seorang sahabat setelah mendengarkan keindahan bahasa Al-Qur’an. Jikalau saat itu, keindahan bahasa menjadi faktor utama dalam mempengaruhi perasaan pendengarnya, kini semakin banyak faktor lain yang mampu membuat seorang pakar mengakui kebenaran Al-Qur’an dengan mudah. (AN)
Wallāhu a’lam.