Cerita ini bermula dari Nasrudin yang menanam biji buah semangka. Ia menanam di dua kebun berbeda. Untuk dirinya sendiri di kebun yang subur, sedangkan satunya kering kerontang.
“Satu untuk diriku sendiri, satu untuk Tuhan,” kata Nasrudin kepada istri.
Lantas, Nasrudin pun mulai menanam.
Ajaibnya, biji semangka yang ditanam di kebun subur milik Nasrudin justru hasilnya lebih sedikit, kecil dan gagal tumbuh.
Kebun Tuhan hasilnya berbeda. Buah semangka yang dihasilkannya besar-besar dan tampak segar ketika disantap. Bahkan, ada yang buah semangka yang saking besarnya, tidak muat untuk dipegang dengan dua tangan manusia.
Nasrudin heran, kenapa semangka di tempat subur miliknya tidak tumbuh, di kebun Tuhan justru sebaliknya. Dasar Nasrudin, akal bulusnya pun bergerak.
Ketika semangka-semangka itu sudah matang, ia berencana untuk mencuri beberapa buah dari kebun Tuhan. Ia sudah menyiapkan rencananya dengan masak-masak.
Malam itu Nasrudin menyiapkan sebuah kantong besar sekali, lantas pergi ke kebun Tuhan. Ia pun memetik semangka-semangka terbaik dan memasukkannya ke kantong.
Tanpa disadari oleh Nasrudin, dalam kegelapan, ternyata beberapa tetangga mengikuti Nasrudin dari belakang.
Nasrudin pun sudah bersiap untuk membawa kantong besar itu, menaruhnya dalam tunggangan keledai. Tanpa diketahui Nasrudin, para tetangga mengambil semangka-semangka itu.
Sontak, ia kaget ketika di tengah jalan ia menyadari, semangka itu tidak ada. Ia ketakutan setengah mati. Nasrudin pun lari tunggang langgang pulang.
Sesampainya di rumah, ia berteriak-teriak. “Tuhan telah menangkapku! Tuhan telah menangkapku!”
Demikianlah cerita Nasrudin, sufi yang diceritakan Sapardi Djoko Damoni dalam buku Humor Sufi II.