Adalah Waraqah ibn Naufal, seorang penganut Nasrani yang juga menguasai Bibel. Kepadanya, yang juga sepupunya, Khadijah menceritakan apa yang didengar dari Muhammad sewaktu Jibril menemui suaminya tersebut di Gua Hira, menuntunnya membaca إقراء
“Maha Kudus Ia, Maha Kudus. Demi Dia yang memegang hidupku. Khadijah, percayalah, dia (Muhammad) telah menerima an-Namus al-Akbar seperti yang pernah diterima Musa. Dan sungguh dia adalah Nabi umat ini. Katakan kepadanya supaya tabah”, kata Waraqah kepada Khadijah.
Dalam beberapa kitab yang mengurai tentang sejarah hidup Muhammad, salah satunya “Hayatu Muhammad” karya Husain Haekal, menyebutkan orang yang pertama kali meyakini bahwa apa yang turun kepada Muhammad di Gua Hira adalah wahyu Allah ialah dia; Waraqah ibn Naufal. Hal senada dikuatkan Karen Armstrong pada karya antropologisnya “A History of God”.
Montgemory Watt dalam karyanya “Muhammad at Mecca”, memberikan catatan tentang apa yang diungkapkan Waraqah mengenai kata “an-namus al-akbar”, oleh Watt istilah tersebut berarti undang-undang atau kitab suci yang diwahyukan.
Sesudah peristiwa itu, pada suatu hari Muhammad akan pergi mengunjungi Ka’bah. Di tempat itu Waraqah menjumpainya. Sesudah menceritakan keadaannya, Waraqah berkata:
والذي نفسي بيده إنك لنبي هذه الأمة. ولقدجاءك الناموس الأكبرالذي جاءموسى. ولتكذبن ولتؤذين ولتخرجن ولتقاتلن، ولئن أناأدركت ذلك اليوم لأنصرن الله نصرايعلمه.
“Demi Dia yang memegang hidupku. Engkau (Muhammad) adalah Nabi atas umat ini. Engkau telah menerima Namus al-Akbar seperti yang pernah disampaikan kepada Musa. Pastilah kau akan didustakan orang, akan disiksa, akan diusir, dan akan diperangi. Kalau sampai pada waktu itu aku masih hidup, pasti aku akan membela yang di pihak Allah dengan pembelaan yang sudah diketahui-Nya pula.”
Lalu Waraqah mendekatkan kepalanya dan mencium ubun-ubun Muhammad. Muhammad pun segera merasakan adanya kejujuran dalam kata-kata Waraqah itu, dan merasakan pula betapa beratnya beban yang harus menjadi tanggungannya.