Hari itu adalah hari raya idul fitri. Seorang qadli (hakim) bernama Abu Abdillah al-Mahamili mengikuti shalat ‘Id di sebuah masjid di kota Madinah. Selepas shalat, ia pun pergi ke rumah Dawud bin Ali, seorang ulama papan atas. Maksud kedatangannya ini adalah untuk sekadar memberikan ucapan selamat lebaran.
Tiba di rumah Dawud, al-Mahamili dihadapkan kepada suatu pemandangan yang sungguh tidak biasa: seorang Dawud bin Ali makan seadanya. Hanya dengan semangkuk sisa ayakan gandum dan sepiring daun-daunan.
Apa yang dilihat itu membuat hati al-Mahamili miris dan kasihan. Ia pun segera menyampaikan maksud kedatangannya, yakni memberikan ucapan selamat lebaran dan setelah itu pamit.
Al-Mahamili berkunjung kerumah al-Jurjani, seorang hartawan yang sangat dermawan. Kebetulan rumah al-Jurjani bersebelahan dengan rumah Dawud.
“Ada angin apa ini, sampai seorang qadli mendatangi rumahku?,” tanya al-Jurjani menyambut kedatangan al-Mahamili.
“Ini ada urusan penting,” jawab al-Mahamili.
Al-Mahamili lantas bercerita tentang keadaan Dawud bin Ali, seorang ulama besar namun hidupnya benar-benar berada di bawah garis kemiskinan. Ia juga menyatakan keberatannya atas (dugaan) kelalaian al-Jurjani.
“Bukankah engkau terkenal sebagai orang yang sangat dermawan?. Bagaimana mungkin Dawud bin Ali tidak engkau bantu?,” kata al-Mahamili keberatan.
Al-Jurjani menjelaskan tuduhan ketidakpedulian yang ditujukan kepadanya itu. Ia menceritakan bahwa sebenarnya semalam ia telah mengutus pembantunya (Fulan) untuk memberikan uang seribu dirham kepada Dawud, namun ia menolak.
Dawud, kata al-Jurjani, juga berkata kepada Fulan dengan kalimat yang tegas, “Kacamata apa yang engkau gunakan untuk menilaiku?. Memangnya, apa yang engkau ketahui tentang diriku sampai engkau memberikan uang ini kepadaku?.”
Al-Mahamili pun memberikan solusi. Ia menawarkan kepada al-Jurjani agar ia saja yang mengantarkan uang itu kepada Dawud. Siapa tau Dawud berkenan menerima. Al-Jurjani setuju.
Sebelum pergi ke rumah Dawud, tak lupa al-Jurjani memberikan “uang saku” kepada al-Mahamili. Ia berkata kepada al-Mahamili, “Seribu dirham ini untuk Dawud. Dan ini, seribu dirham juga, untuk Anda.”
Singkat cerita, al-Mahamili telah berada di rumah Dawud. Merasa ada yang janggal atas kedatangan al-Mahamili yang kedua kali, Dawud bertanya, “Ada apa ini? Mengapa Anda datang lagi ke rumah saya?”
Tanpa banyak bicara, al-Mahamili menyodorkan kantong berisi uang seribu dirham dan menaruhnya di hadapan Dawud bin Ali. Sayangnya, gayung tak bersambut, Dawud menolak pemberian itu.
“Saya kira kedatangan Anda ke rumah saya karena ada alasan terkait ilmu. Maaf, saya tak bisa menerima uang ini. Saya tak membutuhkannya,” kata Dawud penuh wibawa.
Al-Mahamili pun pamit dengan membawa ilmu baru dari Dawud, yakni tak mendewakan dunia. Ia pergi ke rumah al-Jurjani untuk mengembalikan uang bagian Dawud itu. Namun, oleh al-Jurjani, uang itu ditolaknya. Ia berasalan, uang itu telah ia niatkan untuk sedekah lillahi ta’ala. Oleh karenanya, haram baginya untuk menerima kembali.
Al-Jurjani pun meminta tolong kepada al-Mahamili agar uang itu disedekahkan kepada mereka yang membutuhkan dan menjaga wibawanya, “Silakan uang ini Anda berikan saja kepada orang-orang yang benar-benar membutuhkan namun tidak memperlihatkan kemiskinannya!”.
Kisah ini penulis baca dari kitab ‘Uyun al-Hikayat karya Ibnu Jauzi. Lewat kisah ini kita bisa belajar bagaimana bersikap dan memposisikan diri. Dalam konteks kekayaan materi, sebagaimana kisah di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa kekayaan hendaknya selalu digunakan untuk membantu sesama. Juga, kemiskinan jangan sampai membuat diri menjadi hina dan meminta-minta.
Kepandaian memposisikan diri ini penting dimiliki setiap orang dalam segala lini kehidupan. Misalnya, dalam konteks bernegara, pemimpin harus adil terhadap rakyat dan rakyat juga harus taat kepada pemimpin. Dalam hal pengetahuan, yang pandai mengajar dan yang belum pandai semangat untuk belajar. Dalam hal berumah tangga, suami harus tanggung jawab dan istri taat kepada suami. Begitu seterusnya. Bila semua orang bisa bersikap sesuai posisinya masing-masing, alangkah indahnya kehidupan ini. Wallahu a’lam.
Sumber:
Ibn al-Jauzi, Jamaluddin Abi al-Farj bin. ’Uyun al-Hikayat. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2019.