Ramadhan tahun 2018 datang ke Inggris di akhir musim semi. Berarti, puasa berlangsung kurang lebih 18 jam, sedikit lebih pendek dari puasa di musim panas di tahun-tahun sebelumnya yang bisa mencapai 19 jam.
Meski lebih pendek satu jam, membayangkan puasa 18 jam itu tetap intimidatif, terutama bagi saya yang pertama kali menjalani puasa di negeri sepakbola ini. Beruntung musim semi sedikit mengurangi kekhawatiran itu. Matahari belum terlalu terik, dan angin dari musim dingin sesekali masih terasa.
Memasuki sepertiga terakhir Ramadhan, bayangan beban berat di awal itu sudah hilang. Badan sudah beradaptasi, tapi sesekali masih terasa lemas kalau tugas-tugas menumpuk. Pada awalnya memang terasa aneh karena pikiran masih ada di Indonesia yang bulan puasanya penuh dengan hingar-bingar.
Di Inggris, khususnya di Leeds tempat saya kuliah, hampir tidak ada hingar-bingar semacam itu. Kehidupan berjalan normal seperti bulan-bulan sebelumnya. Jam kerja tetap, warung-warung buka seperti biasa, orang-orang makan dan minum bir di mana-mana dengan santai.
Tidak ada yang peduli kamu puasa atau tidak, kecuali beberapa teman yang bertanya dengan keheranan kenapa bisa seorang muslim menahan makan dan minum belasan jam. “Minum air putih pun enggak?” Di kampus, Leeds Student Union menyediakan iftar (buka puasa) gratis setiap hari Selasa. Puasa menjadi begitu personal.
Salah satu tantangan yang mesti dihadapi selama Ramadhan di Inggris adalah mengatur makan dengan baik. Dengan waktu buka yang rata-rata pukul 21.30, ketika jam sahur yang pukul 02.30, biasanya belum terasa lapar lagi. Namun, dengan belasan jam yang ada di depan, melepaskan kesempatan sahur sama saja menyadari akan menyiksa diri sendiri seharian. Hal ini yang saya rasakan di awal. Mau tidak mau harus memaksa diri untuk memaksa makan sahur.
Nah, upaya menyeimbangkan makanan ini juga berpengaruh pada waktu tidur. Dengan waktu Isya yang pukul 22.45, rata-rata sholat tarawih di masjid baru selesai pukul 00.15 atau 00.30. Oh iya, di Leeds Grand Mosque (LGM) sendiri sholat tarawih berlangsung sebelas rakaat, sementara di Makkah Leeds Mosque yang berjarak 12 menit berjalan kaki dari LGM, sholat tarawih dilangsungkan 23 rakaat.
Sesudah tarawih inilah dilema kemudian muncul. Kalau langsung tidur, kesempatan sahur sering bisa lepas. Kalau langsung makan, perut masih kenyang. Tidak banyak pilihan bisa diambil selain menunggu waktu sahur dan sekalian sholat subuh. Di Leeds sendiri saya mendengar fatwa yang memboleh mahasiswa untuk berpuasa mengikuti waktu subuh dan magrib di Makkah. Fatwa ini muncul salah satunya karena puasa tahun ini berbarengan dengan periode ujian akhir semester.
Bagi mahasiswa, tidur selepas subuh tidak akan banyak mengganggu karena sudah mulai jarang aktivitas kampus di pagi hari. Tapi bagi yang bekerja dan jam masuknya jam 9 pagi, rata-rata waktu tidur mungkin hanya ada di kisaran 4-5 jam per malam. Siklus tidur berubah pelan-pelan.
Ramadhan baru terasa di sekitar LGM, terutama ya menjelang buka puasa. Meski begitu juga tetap tidak semeriah di Indonesia. Misalnya saja, tidak ada pengajian peringatan malam Nuzulul Quran. Sejauh yang saya amati, selain orang-orang Inggris, yang datang ke masjid adalah mereka yang berasal dari Asia seperti Indonesia, Malaysia, India, Pakistan. Saya teringat Ramadhan di Jogja ketika dulu sering berpindah-pindah masjid untuk mencari takjil yang enak.
Menjelang buka, ruangan di LGM dibagi dua dipisah dengan pagar dari tali. Bagian depan untuk solat, sementara di bagian belakang makanan dan minuman sudah dijejer di tempat yang sudah dilapisi plastik. Kira-kira ada 400-500 orang per hari yang buka puasa di mesjid ini. Masjid ini sendiri menghabiskan hampir 1000 pounds (sekitar 18-19 juta rupiah) per hari untuk makanan utama yang biasanya berupa nasi. Sementara itu cemilan, para jamaah saling bergantian menyumbangkan makanan ringan seperti kurma, jeruk, apel, semangka, ada juga yang menyumbangkan pizza.
Suasana semacam itu, sayangnya, tidak bisa saya rasakan setiap hari. Dengan jarak masjid yang relatif jauh dari flat, dan beberapa pertimbangan lain, hanya beberapa kali saja saya bisa berbuka di masjid. Sisanya, lebih banyak dihabiskan di flat atau di kampus. Mesti sering-sering menengok aplikasi Muslimpro yang saya install di telepon genggam agar tidak lupa adzan magrib. Beruntung tetangga lantai atas di flat saya orang Pakistan, sesekali saya masih mendengar suara orang mengaji dan terkadang suara orang sholat berjamaah. Meski di lain hari sering juga sering saya dengar suara orang mabuk dan pesta dari lantai atas
Dari dua puluh hari pertama Ramadhan di Leeds, saya semakin menyadari bahwa puasa di Indonesia penuh dengan kemudahan. Tidak hanya waktu puasa yang lebih pendek, tapi juga suasana yang demikian “hidup”. Waktu sahur banyak yang membangunkan, suara orang mengaji dan adzan di mana-mana, menjelang buka tidak perlu banyak berpikir mau makan apa karena di sepanjang jalan banyak orang jualanan makanan, masjid juga ada di mana-mana yang memudahkan orang untuk memilih ikut sebelas atau dua puluh tiga rakaat. Belum lagi dengan tayangan-tayangan di televisi yang juga mendadak “ikut berpuasa”.
Di Leeds, Ramadhan memang tidak terlalu terasa, tetapi saya tetap masih merasa beruntung karena komunitas muslim yang relatif banyak. Sementara di beberapa kota lain di Inggris Islamophobia meningkat, kondisi di Leeds relatif adem ayem.
Sebulan sebelum Ramadhan, di beberapa kota di Inggris muncul gerakan “Punish a Muslim Day”, ajakan kebencian dari kelompok sayap kanan untuk “menghukum” setiap muslim yang ditemui di jalanan, termasuk mencopot jilbab dengan paksa. Meski tidak ada insiden yang serius dan aparat kepolisian cepat menangani, ajakan kebencian untuk menunjukkan sentimen anti-muslim yang tinggi.
Di bulan Ramadhan ini, Muslim Council of Britain (MCB) melayangkan protes kepada pemerintah dan partai Konservatif yang anggota-anggotanya banyak memberikan komentar anti-muslim di media sosial. Salah satu target favorit yang jadi korban komentar-komentar anti-muslim itu adalah Sadiq Khan, walikota London. MCB meminta perdana menteri Theresa May untuk melakukan investigasi serius. Sementara koran-koran sayap kanan terus menghembuskan pesan-pesan Islamophobic.
Dalam suasana seperti itu saya merasa puasa menjadi benar-benar begitu personal, antara manusia dengan Allah. Selain itu juga sekaligus memberikan momen buat berefleksi, untuk diri sendiri, juga untuk kondisi di sekitar di mana kebencian semakin meningkat di mana-mana.
Kesalahpahaman semakin mudah muncul dan menjadi bom waktu, sementara pintu dialog pelan-pelan tertutup. Tentu bukan dunia semacam itu yang kita idealkan di masa depan.