Pada suatu Jum’at, Syaikh Bisyr al-Hafi sedang shalat di suatu tempat. Kebetulan, saat itu, Ibrahim al-Harbi berada di belakangnya. Tanpa diduga, tiba-tiba ada seseorang yang menghampiri Syaikh Bisyr. Orang tersebut tampak kusut dan berantakan penampilannya.
Orang itu berkata kepada khalayak ramai yang ada di sana, “Wahai saudara-saudara, waspadahal jika saya berkata jujur kepada Anda sekalian. Orang yang sedang terpaksa, boleh melakukan apa saja (termasuk meminta-minta). Tidak ada pilihan lagi baginya.”
Ia kembali melanjutkan perkataannya. Ia mengatakan bahwa ketika berada dalam ketiadaan/kekurangan, maka seseorang tidak diperkenankan hanya berdiam diri saja. Namun, bagi yang serba berkecukupan dan tidak dalam kesusahan, maka tidak boleh meminta-minta. Ia menutup “khutbah”-nya dengan kalimat, “Semoga Allah SWT menyayangi kalian semua!”
Setelah shalatnya selesai, Syaikh Bisyr memberikan sepotong roti kepada orang tersebut. Roti yang diberikan itu, ternyata diminati juga oleh Ibrahim al-Harbi. Ibrahim mendekati orang tersebut dan berniat membeli roti itu.
“Wahai Kisanak, bolehkan roti yang diberikan syaikh Bisyr kepadamu itu saya beli dengan harga satu dirham?,” kata Ibrahim memberikan tawaran.
Orang itu tak bersedia. Ia sama sekali tak tertarik dengan tawaran itu. Ibrahim pun kembali menawarnya. Kali ini dengan harga yang dua kali lipat: dua dirham. Ia berkata, “Kalau dengan harga dua dirham, apakah engkau berkenan menjualnya padaku?”.
“Tidak. Saya tidak akan menjualnya kepadamu,” kata orang itu keukeuh.
Ibrahim tak kehabisan akal. Ia terus berusaha agar roti yang ada di gennggaman orang itu bisa ia beli dan menjadi miliknya. Ia akhirnya memberikan harga yang terlampau tinggi untuk ukuran sepotong roti. “Kalau sepuluh dinar, bagaimana, apakah engkau berkenan?”
Orang tersebut tak menjawab. Ia malah mengkomentari tindakan Ibrahim yang rela membeli rotinya tersebut. “Kamu ini lucu. Roti ini hanya seharga seperenam dirham. Namun malah kamu mau membelinya dengan harga sepuluh dinar,” ujarnya.
Ibrahim mengutarakan alasannya. Ia rela membayar mahal roti tersebut sebenarnya bukan karena fisik rotinya. Namun karena melihat dari siapa roti itu berasal. Yakni Syaikh Bisyr al-Hafi, seorang sufi kenamaan.
Orang itu kemudian berkata, “Saya pun juga demikian. Saya juga ingin mendapatkan kebaikan dan keberkahan dari orang seperti Syaikh Bisyr itu. Saya tidak ingin menukar roti ini dengan apapun. Saya akan memakannya.”
Ibrahim menyadari bahwa orang yang di hadapannya itu ternyata juga sepemikiran dengannya. Sama-sama ingin mendapatkan keberkahan dari Syaikh Bisyr. Ibrahim akhirnya memohon doa kepada orang tersebut, “Wahai kisanak, doakanlah aku!”
Orang pun lantas berdoa, “Semoga Allah menghidupkan hatimu. Juga, semoga Allah menjadikanmu sebagai orang yang rela membeli jiwa dan agamanya dengan apapun dan kemudian tidak menjualnya dengan harga berapapun”.
Kisah ini terdapa dalam kitab Hilyatul Awliya’ karya Abu Nua’im Al-Ashfahani. Lewat kisah ini kita mengerti bahwa ada kebaikan/keberkahan dalam barang-barang yang dimiliki, diberikan, dan atau disentuh oleh orang saleh (dalam kisah di atas berupa roti).
Keberkahan itu adalah pancaran/pantulan dari kebaikan-kebaikan yang dilakukan mereka. Oleh karenanya, memiliki dan atau mendapatkannya (dengan cara yang halal) adalah suatu kebaikan dan tentunya sangat dianjurkan.
Kegiatan semacam ini sangat diyakini oleh kalangan santri. Mereka rela berebut untuk bisa meminum sisa minuman (atau memakan sisa makanan) sang kiai atau berebut menata sandalnya. Mereka yakin, dalam hal-hal demikian terdapat keberkahan dari sang kai.
Walhasil, mencari keberkahan dari para Nabi, ulama, atau orang saleh adalah suatu hal yang sangat dianjurkan. Hal ini bisa dilakukan dengan berbagai cara. Misalnya berdoa kepada Allah di tempat mereka berada (makam); minta air doa kepada mereka; dan lain-lain. Wallahu a’lam.
Sumber:
Al-Ashfahani, Abu Nua’im. Hilyah al-Awliya wa Thabaqat al-Asfiya’. Beirut: Dar al-Fikr, 1996.