Membantu sesama yang membutuhkan adalah suatu kewajiban bagi setiap orang yang mampu. Dalam membantu, kita tidak diperkenankan membeda-bedakan orang yang akan kita bantu, baik berbeda agama, suku, budaya, bahkan bangsa sekalipun. Bahkan, Nabi pernah ditegur Allah lantaran mencegah Asma binti Abu Bakar yang ingin memberikan bantuan pada keluarganya yang non-Muslim. Syekh Thahir bin Asyur menceritakan demikian.
رُوِيَ أَنَّهُ كَانَ لأسماء ابْنة أَبِي بَكْرٍ أُمٌّ كَافِرَةٌ وَجَدٌّ كَافِرٌ فَأَرَادَتْ أَسْمَاءُ- عَامَ عُمْرَةِ الْقَضِيَّةِ- أَنْ تُوَاسِيَهُمَا بِمَالٍ، وَأَنَّهُ أَرَادَ بَعْضُ الْأَنْصَارِ الصَّدَقَةَ عَلَى قَرَابَتِهِمْ وَأَصْهَارِهِمْ فِي بَنِي النَّضِيرِ وَقُرَيْظَةَ، فَنَهَى النَّبِيءُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُسْلِمِينَ عَنِ الصَّدَقَةِ عَلَى الْكُفَّارِ، إِلْجَاءً لِأُولَئِكَ الْكُفَّارِ عَلَى الدُّخُولِ فِي الْإِسْلَامِ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى: لَيْسَ عَلَيْكَ هُداهُمْ الْآيَاتِ، أَيْ هُدَى الْكُفَّارِ إِلَى الْإِسْلَامِ، أَيْ فَرَخِّصْ لِلْمُسْلِمِينَ الصَّدَقَةَ على أُولَئِكَ الْكَفَرَة.
Diriwayatkan bahwa Asma putri sahabat Abu Bakar itu mempunyai ibu yang non-Muslim dan kakeknya juga demikian. Asma itu hendak berbuat baik kepada keduanya dengan memberikan sedikit hartanya saat peristiwa ‘Umratulqadha tahun 7 hijriah. Selain itu, sebagian sahabat ansar juga ingin bersedekah untuk kerabat dan mertua mereka yang berasal dari Yahudi Bani Nadhir dan Bani Quraizhah. Namun, Nabi melarang sedekah untuk non-Muslim. Hal itu dilakukan karena berharap agar non-Muslim itu mau masuk Islam. Kemudian turunlah surah al-Baqarah ayat 272.
Larangan Nabi tersebut dimaksudkan untuk menyabotase pemberian kepada non-Muslim. Pada saat mereka merasa butuh sekali akan bantuan, barulah dibantu dan dapat diajak untuk masuk Islam dengan bantuan yang diberikan. Oleh karena itu, Allah SWT menegur Nabi SAW agar bersikap adil. “Kalau mau memberi ya memberi saja, tak usah lihat apa agamanya, apalagi berharap yang kamu beri itu masuk Islam. Masuk Islam atau tidaknya seseorang itu urusan aku, bukan karena bantuanmu,” mungkin begitu bahasa sederhana yang dapat kita tangkap dari pesan di atas.
Bantuan dari seseorang yang mampu untuk siapapun yang membutuhkan tentu adalah suatu hal yang terpuji dalam ajaran agama apa pun, dan suatu kebahagian bagi penerima bantuan tersebut. Namun, perasaan tersebut akan berbalik 180 derajat bila pemberian tersebut diungkit-ungkit di kemudian hari atau dipertanyakan apa agamanya. Sungguh hal ini dapat menyakiti hati siapa pun. Oleh karena itu, Al-Qur’an mengajarkan seseorang yang belum siap secara mental mendermakan hartanya lebih baik tidak memberi sama sekali atau menolak secara halus kepada orang yang meminta bantuan kepadanya, sebagaimana tercantum dalam surah Albaqarah ayat 263.
Jangan sakiti orang yang Anda bantu dengan mengungkit-mengungkit kebaikan Anda di kemudian hari, karena hal tersebut dapat menyakiti hatinya. Mungkin, ada baiknya kita menghayati satu syair yang dibuat oleh al-Zamakhsyari berikut ini.
طَعْمُ الْآلَاءِ أَحْلَى مِنَ الْمَنِّ. وَهُوَ أَمَرُّ مِنَ الْآلَاءِ عِنْدَ الْمَنِّ
Manisnya pemberian mengalahkan manisnya madu.
Pemberian yang diungkit-ungkit terasa lebih pahit dari pohon yang pahit daunnya sekali pun.
Selengkapnya, klik di sini