Alkisah, suatu hari, Raja Anusyirwan dari Kerajaan Persi sedang berkeliling di daerah pinggiran kota bersama para pengawalnya. Dalam perjalanan itu ia bertemu seorang petani tua yang sedang menanam bibit pohon zaitun. Raja berhenti sejenak dengan penuh rasa heran melihat sang petani.
Apa yang ada dalam pikirannya? Ia sudah sangat tua renta, tak akan mungkin ia hidup sampai pohon yang ditanamnya itu berbuah.
Raja pun kemudian mendekat dan bertanya kepada sang petani, “Wahai Syaikh, kukira saat ini sudah bukan lagi masanya untukmu menanam pohon zaitun. Pohon ini adalah jenis tanaman yang lama masa tumbuh dan berbuahnya, sedangkan usiamu sudah sangat tua”.
“Wahai Paduka Raja, orang-orang dari generasi sebelum kita telah menanam pohon (zaitun) dan kitalah yang menikmati hasilnya. Sekarang kita yang bertugas menanam, untuk nanti dinikmati oleh generasi selanjutnya,” jawab sang petani.
Mendengar ucapan sang petani tua itu, Raja begitu kaget dan kagum atas jawaban tersebut. Seketika ia memberikan pujian atas kekagumannya dengan mengatakan, “zih,”
Sudah menjadi tabiat Raja yang telah diketahui seluruh penduduk negeri, apabila ia telah memberikan pujian kepada seseorang, maka orang itu akan diberinya hadiah berupa uang yang cukup bernilai. Dengan segera, pengawal pun memberikan hadiah tersebut kepada sang petani tua.
Setelah menerima hadiah, sang petani tua melanjutkan bicaranya kepada Raja, “Wahai Paduka, bagaimana mungkin pula engkau tau bahwa pohon tanamanku ini akan tumbuh dan berbuah dalam masa yang lama?”
Raja pun tercengang dan tak mampu menjawab pertanyaan sang petani. Ia kembali berkata, “Zih!” Dan diberikanlah hadiah untuk sang petani untuk kedua kalinya.
Setelah menerima hadiah kedua, sang petani tua masih melanjutkan ucapannya lagi, “Wahai paduka, setiap pohon zaitun hanya berbuah sekali dalam satu tahun, tetapi pohon zaitun milikku bisa berbuah dua kali dalam satu musim.”
Mendengar ucapan itu, Raja semakin heran dan kembali berkata “Zih!” dan memberikan hadiah untuk ketiga kalinya.
Tak lama kemudian, Sang Raja segera mengajak pengawalnya untuk pergi seraya berbisik, “Mari kita segera pergi! Jika terlalu lama di sini, petani tua itu akan menghabiskan seluruh isi lumbung harta kita.”
Sebagaimana sang petani tua, sudah seharusnya laku kebaikan selalu disertai rasa ikhlas untuk kemaslahatan bersama. Amal baik bukan perihal untung rugi atau seberapa besar pahala yang akan diri sendiri dapatkan. Melainkan perihal kebermanfaatan untuk kehidupan yang lebih luas.
Kisah yang disarikan dari al-Qiraah al-Rasyidah ini berkaitan dengan eksistensi kekayaan alam yang kita nikmati sekarang. Alam adalah anugerah Allah SWT yang harus disyukuri dengan menjaganya. Keindahan dan segala kemanfaatannya dari alam merupakan hasil dari tanaman dan penjagaan para generasi terdahulu. Maka dari itu sekarang saatnya bagi kita untuk menjaga alam sekaligus menanam kembali sebagai warisan untuk keberlangsungan hidup generasi anak cucu selanjutnya.
Rusaknya alam lingkungan yang terjadi saat ini, selain karena kecerobohan tangan-tangan manusia, juga karena kurangnya kesadaran akan pentingnya keseimbangan alam. Yang akan terjadi di hari esok adalah buah dari perilaku kita hari ini.
Perilaku perusakan dan eksploitasi terhadap alam lingkungan memiliki dampak krisis iklim di masa mendatang. Untuk memulai langkah kebaikan bisa dnegan hal-hal sederhana. Demi bumi dan keberlangsungan seluruh mahluk di dalamnya, alam adalah tanggung jawab bersama. (AN)