Hajar mulai gusar saat langkah kaki Ibrahim perlahan menjauh darinya dan buah hati satu-satunya, Ismail. Ia berada di tanah yang sangat gersang dan tak membawa bekal apapun, sedangkan tidak ada tanda-tanda kehidupan di tempat itu. Pandangan matanya telah memutar di sekeliling kakinya berpijak. Namun tidak ada tanda-tanda kehidupan di sana.
Namun Hajar masih tetap percaya dan yakin atas ucapan yang disampaikan sang suami sebelum beranjak dari keduanya. Ia percaya bahwa kekuasaan Allah adalah keniscayaan. Allah selalu menolong hambanya yang sedang dilanda kesusahan. Tidak ada alasan baginya untuk tidak percaya atas janji Allah yang disampaikan oleh sang suami.
Waktu perlahan berlalu, tangisan Ismail mulai sayup-sayup terdengar. Pertanda bahwa sang buah hati mulai kehausan.
Naluri keibuan Hajar bisa membacanya. Hanya dengan tangis sayup Ismail, Hajar mulai berdiri tegak, kembali memandangi bukit-bukit di sekitarnya. Hajar masih berharap akan ada kafilah yang lewat di tempat mereka dengan membawa perbekalan yang lebih.
Sayup tangis Ismail kini mulai berubah menjadi tangisan keras. Hajar mulai sadar kalau sang putra telah mengalami kehausan dalam waktu yang cukup lama.
Hajar tak bisa berbuat apa-apa. Air susunya seakan tidak bisa keluar. Bahkan ludahnya pun seolah mengering. Sementara terik matahari semakin terasa panas di kepalanya.
Sudah bukan saatnya bagi dia untuk menunggu. Kafilah-kafilah yang diharapkan tak kunjung datang. Semakin lama dia menunggu, semakin keras tangisan Ismail kecil.
Hajar mulai melangkahkan kakinya. Bagaimanapun ia harus menjemput janji Tuhan. Tak ada waktu untuk tetap menunggu.
Hajar berkeliling mencari air. Kakinya melangkah dari Shafa ke Marwa, Marwa ke Shafa, dan begitu seterusnya. Terkadang ia menggerakkan kakinya dengan cepat, terkadang ia melangkah santai.
Saat bertemu dengan kilatan, ia langsung berlalu menuju tempat kilatan tersebut. Awalnya ia menganggap bahwa kilatan itu adalah air. Namun sayang, kilatan itu hanya sebuah fatamorgana yang mempengaruhi penglihatannya.
Berkali-kali Hajar melalui Shafa dan Marwa. Namun tak ada hasil. Ia kemudian kembali menemui sang putra. Ia sangat khawatir jika putranya tidak bisa bertahan. Sedangkan ia masih belum berhasil menemukan air untuk sang putra.
Hajar begitu lega saat melihat Ismail masih bergerak. Namun hatinya masih belum bisa tenang melihat sang putra yang masih kehausan. Dirinya juga merasakan hal yang sama. Namun sama sekali tidak ia pedulikan. Prioritas utama baginya adalah kehidupan sang putra.
Hajar mulai putus asa namun masih tetap berharap agar Allah menepati janji-janji-Nya.
Dalam hati ia memohon kepada Allah agar diberikan yang terbaik untuk kehidupannya dan sang putra, diberikan kesehatan dan keberkahan untuk kehidupan putranya. Sembari berdoa dalam hati, ia memandangi wajah putranya.
Kaki Ismail mulai bergerak-gerak. Tumitnya dihentak-hentakkan di tanah yang gersang. Hajar masih tetap memandangi putra yang dikasihinya. Ia menganggap prilaku putranya masih sebuah kewajaran.
Namun tanpa diduga, air begitu derasny mengucur dari jejak hentakan kaki putranya. Hajar tanpa pikir panjang langsung memberi minum Ismail dengan air berkah itu. Ia kemudian mengambilnya untuk dirinya sendiri.
Allah akhirnya menjawab doa-doanya. Usaha nyatanya sebagai seorang ibu bagi Ismail dijawab oleh Allah dengan sebuah kebahagian. Terik panas matahari yang bersinar di atas kepalanya seolah berubah menjadi kesejukan.
Doa hajar yang shaleha menjadi sebuah oase dari tanah yang panas nan gersang itu.