Kisah Penganut Yahudi yang Menjadi Mualaf Berkat Basmalah

Kisah Penganut Yahudi yang Menjadi Mualaf Berkat Basmalah

Kisah Penganut Yahudi yang Menjadi Mualaf Berkat Basmalah

Cinta memang buta. Ia membutakan siapa yang dihinggapinya. Karena cinta, seseorang akan rela melakukan apa saja. Bahkan atas nama cinta, ia akan dengan suka hati berkorban demi orang yang ia cintai.

Hal ini terbukti pada apa yang dialami seorang lelaki Yahudi. Satu saat, ia mencintai seorang perempuan yang juga beragama Yahudi. Sangking begitu besar rasa cintanya, sampai membuatnya tak nyaman makan dan tak enak minum. Hatinya gundah gulana memikirkan perempuan itu, pujaan hatinya.

Dalam keadaan galau itu, ia memutuskan diri untuk mendatangi Atha’ al-Akbar, seorang ulama di daerahnya. Pertemuan kali itu ia manfaatkan untuk berkonsultasi atas apa yang ia alami.

Atha’ kemudian mengambil kertas dan alat tulis. Ia tuliskan kata basmalah pada kertas itu. “Telanlah ini!,” Atha’ menyuruh si lelaki untuk menelan kertas yang bertuliskan basmalah itu.

“Mudah-mudahan Allah menghibur hatimu dan memberimu rizki,” lanjut Atha’ mendoakan.

Lelaki itu melakukannya. Setelah itu, ada hal aneh yang ia alami. Ia merasa hatinya begitu bersinar. Ia mengaku bisa merasakan manisnya iman kepada Allah SWT. Hal itu pulalah yang kemudian membuatnya lupa dengan urusan cintanya.

Lantas, ia mengajukan permintaan kepada Atha’, “Tolong ajari aku tentang Islam!”. Penjelasan dan uraian tentang Islam pun meluncur dengan dari lisan Atha’ kepada lelaki itu. Lelaki itu pun masuk Islam.

Kabar masuknya Islam si lelaki pun tersebar dan didengar khalayak ramai, termasuk oleh perempuan yang pernah ia cintai itu. Mereka juga mengetahui bahwa Atha’-lah yang membantu lelaki itu masuk Islam.

Setelah itu, perempuan yang dicintai lelaki itu mendatangi rumah Atha’. Ia menceritakan siapa dirinya, yakni perempuan yang dulu dicintai oleh lelaki yang masuk Islam berkat bantuan Atha’.

Perempuan itu berkisah. Ada seorang yang mendatanginya dalam mimpi. Orang itu memberitahu, jika dirinya (si perempuan) ingin mengetahui tempatnya di surga kelak, hendaknya ia sowan kepada Atha’.

“Tolong kasih tahu aku, dimana surga?,” pinta perempuan itu kepada Atha’.

Atha’ menginformasikan kepada si perempuan, bahwa jika ia ingin masuk surga, maka hendaknya ia membuka pintunya terlebih dahulu. Mendengar penjelasan Atha’, perempuan itu penasaran dengan bagaimana cara membukanya. Ia bertanya, “Bagaimana caranya?.”

Atha’ menyuruhnya membaca basmalah. Si perempuan itu mengucapkannya. Hal yang dialami oleh si lelaki tempo hari ternyata juga dialami si perempuan itu: merasakan ada cahaya yang bersinar dalam hatinya.

Setelah itu, ia memohon penjelasan Atha’ tentang Islam dan Atha’ menjelaskannya. Perempuan itu akhirnya memutuskan masuk Islam, dengan kesadarannya sendiri. Alhamdulillah.

Urusan selesai, perempuan kembali ke rumahnya. Malamnya ia bermimpi sedang berada di dalam surga. Di sana, ia melihat ada gedung dan kubah-kubah. Dari sekian banyak kubah itu, ada satu yang bertuliskan basmalah. Tulisan itu ia baca.

“Wahai perempuan, begitulah cara Allah memberimu atas apa (basmalah) yang kamu baca,” suara seseorang yang tiba-tiba memanggilnya.

Ia terbangun dari tidurnya. Ia lantas berdoa, “Ya Allah, engkau memasukkan aku ke dalam surgaMu. Namun Engkau kemudian mengeluarkanku, dengan cara membangunkanku dari tidur. Aku memohon kepadaMu, keluarkanlah aku dari segala kesusahan dunia!”

Usai berdoa dengan kalimat itu, tiba-tiba musibah datang. Rumah perempuan itu roboh. Puing-puing yang runtuh menimpanya. Hal itu membuatnya mengembuskan nafas terkahir (meninggal dunia). Innalillahi wa inna ilaihi raji’un.

Kisah ini penulis baca dalam kitab al-Nawadir karya Ahmad Shihabuddin al-Qalyubi. Selain keutamaan basmalah, pelajaran yang juga bisa diambil dari kisah di atas adalah tentang isi hati.

Dalam kisah di atas disebutkan keadaan si lelaki yang lupa terhadap urusan hati dan cintanya berkat merasakan manisnya iman kepada Allah SWT. Begitulah hati. Ketika hati sudah berisi dengan hal-hal ukhrawi secara maksimal, maka sudah barang tentu tak ada ruang untuk memikirkan hal yang bersifat duniawi. Wallahu a’lam.

 

Sumber:

al-Qalyubi, Ahmad Shihabuddin bin Salamah. al-Nawadir. Jeddah: al-Haramain, t.th.