Dalam surat al-Maidah ayat ke tiga puluh delapan hingga ayat ke tiga puluh Sembilan Allah SWT berfirman:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ () فَمَنْ تَابَ مِنْ بَعْدِ ظُلْمِهِ وَأَصْلَحَ فَإِنَّ اللَّهَ يَتُوبُ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Artinya:
“Adapun laki-laki dan perempuan yang mencuri, maka potonglah tangan keduanya, sebagai balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah, dan Allah mahaperkasa lagi Mahabijaksana, Tetapi Barang siapa bertaubat setelah melakukan kejahatan itu, dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sungguh, Allah maha pengampun lagi maha penyayang.” (QS. Al-Maidah : 39-38)
Sebagaimana kita ketahui ayat 38 dari surat Al-Maidah, adalah ayat yang dijadikan landasan penjatuhan hukuman potong tangan bagi para pencuri. Namun, dalam ayat setelahnya Allah SWT menegaskan bahwasannya siapa yang bertaubat dari kedzalimannya tersebut, lalu ia memperbaiki diri, niscaya Allah akan menerima taubatnya.
Pembacaan terpisah untuk kedua ayat tersebut akan berimplikasi pada pemahaman yang keliru, sehingga tidak sedikit mereka yang semangat religiusitasnya tinggi menganggap bahwa seorang pencuri dengan ketentuan tertentu, tidak akan diampuni dosanya, sehingga ia dieksekusi dengan hukuman potong tangan.
Padahal, pada ayat setelahnya Allah SWT benar-benar menegaskan bahwasannya jika ada yang benar-benar bertaubat kemudian memperbaiki dirinya, niscaya Allah SWT akan mengampuninya, baik itu setelah ia dieksekusi potong tangan, atau tidak dieksekusi sekalipun.
Di antara kisah yang mendeskripsikan proses eksekusi potong tangan pada zaman Rasulullah SAW adalah sebuah riwayat yang ditulis oleh imam Ahmad bin Hanbal, tentang seorang lelaki pertama yang dipotong tangannya akibat mencuri pada zaman Rasulullah SAW.
Diriwayatkan dari Abdullah, suatu ketika seorang lelaki datang kepadanya dan menceritakan tentang kejadian di masa Rasulullah SAW, lelaki itu berkata, “Sesungguhnya orang yang pertama kali dipotong tangan dari kalangan muslimin, adalah seorang lelaki yang dibawa ke hadapan Rasulullah SAW, kemudian dikatakan kepada beliau “Wahai Rasulullah, lelaki ini telah mencuri “ kemudian tampaklah kesedihan pada wajah Rasulullah SAW, sebagian sahabatpun bertanya, “Wahai Rasul, apa yang terjadi denganmu?”
Rasulullah SAW pun menjawab, “Apalagi yang bisa aku perbuat, sedangkan kalian telah membantu setan untuk memutuskan hukuman kepada saudara kalian, padahal Allah SWT maha pengampun yang senang memberikan pengampunan, sedangkan seorang waliyul amr, jika sebuah perkara tentang hukum had telah dilaporkan kepadanya, maka seyogianya ia memutuskannya”.
Kemudian Rasulullah SAW membaca (ayat 22 dari surat An-Nur yang artinya) dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (HR. Ahmad)
Meskipun secara kualitas sanad, hadis tersebut masuk dalam kategori hadis yang masih diperdebatkan keshahihannya, akan tetapi kita dapat melihat, betapa sedihnya Rasulullah SAW ketika harus memutuskan hukuman potong tangan bagi laki-laki yang diadukan tersebut, tampak dalam riwayat itu Rasulullah SAW lebih mengharapkan sikap para sahabat untuk memaafkan laki-laki tersebut, dan menyelesaikan masalah itu dengan pendekatan persaudaraan, tanpa harus membawanya kepada waliyul-amr, yang ketika itu adalah Rasulullah SAW.
Bahkan, beliau pada saat itu, sampai mengutip ayat Al-Qur’an yang berisi tentang anjuran untuk saling memaafkan, sebagaimana setiap orang dari mereka berharap agar dosa mereka dimaafkan, serta diampuni oleh Allah SWT.
Meskipun, pada akhirnya Rasulullah SAW tetap harus memutuskan hukum potong tangan kepada lelaki tersebut, hal itu lebih dikarenakan aturan syariat yang menetapkan bahwasannya jika perkara hukum had sudah diangkat kepada yang berwenang, maka ia harus memutuskan hukuman tersebut, suka atau tidak suka.
Padahal, jika kita perhatikan dari sikap beliau, tampak bahwa Rasulullah SAW sejatinya lebih mengharapkan para sahabatnya bisa mengedepankan pemberian maaf kepada lelaki yang mencuri tersebut, tanpa harus melaporkannya kepada Rasulullah SAW. Karena beliau lebih mengutamakan jalur pertaubatan sebagai penebusan dosa seseorang, dibandingkan harus menjatuhkan hukum had kepadanya.