Dikisahkan ada seorang penjual minuman yang bernama Jamil As-Saqy. Sebelum jadi pelayan istana, ia berkeliling pasar dengan botol-botol minuman yang terbuat dari tanah liat untuk ia jajakan. Jamil terkenal di tengah masyarakat sebagai penjual minuman yang juga menyukai lelucon. Ia banyak disukai orang karena pelayanan baik yang ia berikan juga kebaikan akhlak dan ketulusan hatinya.
Suatu hari, Raja di daerah itu telah mendengar kabar ketenaran Jamil. Kemudian ia memerintahkan ajudannya untuk mengundang Jamil datang ke istana. “Pergilah! Dan bawalah Jamil As-Saqy ke hadapanku!” Maka pergi lah ajudan itu untuk mencari Jamil di pasar.
Sesampainya di istana, berkata lah Raja kepada Jamil “Mulai hari ini dan seterusnya, tidak ada lagi pekerjaan di pasar untukmu. Kau akan bekerja di istanaku memberi minuman untuk para tamuku, setelah itu kau duduk di sampingku dan menceritakan leluconmu untukku.” “Dengan segala hormat. Baiklah wahai Raja”, jawab Jamil.
Pulanglah Jamil dan ia menceritakan kabar gembira kepada istrinya bahwa ia akan menjadi pelayan istana. Keesokan harinya, berangkatlah Jamil ke istana dengan mengenakan pakaian terbaiknya dan juga botol kendi yang sudah dicuci bersih. Ia masuki ruangan yang telah dipenuhi para tamu dan memulai pekerjaannya membagikan minuman untuk tamu raja. Setelah itu, ia duduk di samping raja untuk menceritakan kisah hikayat leluconnya. Raja pun sangat terhibur.
Pada akhirnya, setelah menerima upah, maka ia pulang ke rumahnya untuk beristirahat dan menyiapkan energi agar dapat kembali bekerja di istana pada hari berikutnya.
Begitu lah keadaan Jamil untuk beberapa waktu yang cukup lama. Sampai suatu hari sang ajudan merasa cemburu karena kedudukan Jamil yang begitu dekat dengan Raja.
Suatu hari, ketika Jamil telah menjalankan tugasnya sebagai pelayan di istana, pulanglah ia ke rumah, dan ternyata ada ajudan yang mengikutinya kemudian berkata “Wahai Jamil! Ketahuilah bahwa Raja mengeluhkan tentang bau mulutmu.” Maka Jamil pun terkejut dan bertanya kepadanya: “Apa yang harus saya lakukan agar tidak menyakiti Raja dengan bau mulut saya?”
Sang ajudan berkata: “Kau harus mengenakan masker atau penutup mulut ketika kau datang ke istana.” “Baiklah, akan ku kenakan besok”, jawab Jamil.
Ketika pagi telah tiba dan matahari mulai menampakkan sinarnya, pergilah Jamil ke istana dengan memakai masker dan membawa botol kendi minuman sebagaimana kebiasaannya. Terkejutlah Raja melihat penampilan baru As-Saqy itu, namun ia tidak menanyakannya. Sejak hari itu, Jamil melanjutkan pekerjaan dengan selalu memakai masker penutup mulutnya.
Hingga suatu hari Sang Raja bertanya pada ajudannya tentang alasan Jamil yang selalu mengenakan masker saat bekerja. Ajudan itu pun menjawab “Maaf Tuan, Saya takut jika saya memberitahu Tuan maka Tuan akan memotong kepala saya.” Raja berkata “Katakanlah yang sesungguhnya, maka kau aman.” Ajudan itu berkata “Jamil As-Saqy telah mengeluh tentang bau mulut Anda, wahai Tuan.”
Raja sangat kecewa dan murka, kemudian pergi menemui istrinya, dan memberitahunya berita itu. Maka sang istri berkata “Siapa yang mengatakan kejelekan itu kepadamu, maka ia berhak menerima hukuman agar menjadi pelajaran bagi siapa saja yang memandang baik dirinya dengan menjelekkan dirimu.” Raja menjawab “Sungguh pendapat yang bagus!”
Keesokan harinya Sang Raja memanggil algojo dan berkata “Jika kau lihat seseorang yang keluar dari pintu istana dengan membawa buket mawar, maka penggallah kepalanya!” Raja bermaksud untuk membunuh Jamil dengan memerintahkan algojo.
Sebagaimana rutinitasnya, Jamil As-Saqy pergi pada pagi hari bekerja sebagai pelayan istana membagikan minuman untuk tamu istana. Ketika tiba waktu pulang, As-Saqy menerima upah dari raja dan tidak biasanya pada hari itu raja memberi hadiah berupa buket dengan bunga mawar di dalamnya. Jamil sangat senang, ia berjalan dengan penuh kebahagiaan.
Ketika ia keluar dari ruangan raja, ditemuinya Ajudan yang keheranan melihat Jamil begitu bahagia, maka Ajudan itu bertanya “Siapa yang memberimu buket mawar itu?”. Jamil pun menjawab “Raja yang memberiku”. Maka sambil merebut buket itu Sang Ajudan berkata “Berikan buket mawar itu kepadaku, karena diriku lebih berhak mendapatkannya daripada dirimu”. Maka dengan berat hati, Jamil berikan buket itu lalu kemudian ia pulang.
Ketika Ajudan itu keluar pintu istana dengan membawa buket bunga, dilihatlah oleh algojo dan segera algojo itu memenggal kepalanya.
Pada hari berikutnya, seperti biasa Jamil pergi ke istana dengan masker dan kendi yang ia bawa. Raja terkejut menyaksikan kehadiran Jamil yang ia kira sudah mati dipenggal algojo. Maka Raja memanggil Jamil dan berkata “Ceritakan kepadaku tentang masker penutup mulut yang kau kenakan!”
Jamil Menjawab “Dengan hormat wahai Tuan, bahwasanya Ajudanmu telah menyampaikan kepadaku bahwa engkau mengeluh perihal bau mulutku yang tidak sedap. Kemudian ia menyuruhku untuk memakai masker agar kau tidak merasa risih dengan bau mulutku”.
Raja kebingungan dengan pengakuan Jamil yang berbeda dengan apa yang diceritakan Ajudannya, dan Raja pun sangat murka kepada ajudannya karena kebohongan yang dibuat-buat. Kemudian Sang Raja kembali bertanya kepada Jamil “Lalu bagaimana dengan buket mawar yang ku berikan padamu kemarin?”
Jamil kembali menjawab “Buket itu telah diambil Ajudanmu karena ia berkata bahwa dirinya lebih berhak daripadaku”. Maka raja pun tersenyum sambil berkata “Sungguh, ia benar-benar lebih berhak mendapatkannya daripada dirimu.”
Begitulah akhir cerita. niat baik dan iri dengki tidak akan pernah bisa menyatu selamanya. Ketika seseorang telah baik dari dalam dirinya, maka Allah memberi cahayaNya dari arah yang tak terduga. Orang-orang akan menyukainya, dan segala permintaan akan datang dari arah yang tak disangka-sangka. Orang yang tulus adalah orang yang mengharapkan kebaikan untuk semua tanpa mengharap imbalan.
Kebahagiaan orang lain tidak akan terambil dari kebahagiaan kita, dan kekayaan mereka tidak akan mengurangi rezeki kita. Karena Yang Maha Pemberi adalah Allah satu-satunya, bukan manusia.
Semoga kisah ini dapat menjadi pelajaran bagi siapa saja yang mau mengambil hikmah di dalamnya.
Ditulis oleh Ariyani Syahniar yang diambil dari cerita hikayat berbahasa arab dengan judul “حسن النية مع الضغينة لا تلتقيان”