Kisah Nabi Nuh dalam Al-Quran dan Alasan Kenapa Dakwah Itu Gak Perlu Galak-Galak

Kisah Nabi Nuh dalam Al-Quran dan Alasan Kenapa Dakwah Itu Gak Perlu Galak-Galak

Kebenaran bukanlah sesuatu yang bisa diturunkan secara biologis. Kebenaran adalah perjalanan bahtera yang di dalamnya ada guncangan, badai, dan sekaligus kedamaian. Demikian pelajaran dari kisah Nabi Nuh.  

Kisah Nabi Nuh dalam Al-Quran dan Alasan Kenapa Dakwah Itu Gak Perlu Galak-Galak

Apa yang terlintas dalam benak jika kamu mendengar nama Nuh? Ya, bahtera!! Dan, banjir bandang. Dan, kekafiran anaknya. Atau, paling jauh adalah tentang betapa megahnya kapal Nabi Nuh yang bisa memuat bejibun spesies hidup di bumi. Tapi tak apa. Senyatanya, itu semua secara sporadis mengalami repetisi, baik lewat film, cerita para ustaz di mimbar TPA, dan sebagainya.

Di Youtube beda lagi ceritanya. Perdebatan tentang di lembah mana bahtera Nabi Nuh terdampar menjadi topik yang cukup diminati. Kalau tidak percaya, sesekali ketiklah kata kunci “Noah’s Ark” atau “Kapal Nuh”, maka akan ada banyak versi yang siap mempertebal dan memanjakan iman kita tentang betapa agungnya kekuasaan Tuhan.

Tapi, pernahkah kita menyelami konten dakwah Nabi Nuh? Bagaimana dinamikanya? Kenapa ia mengalami penolakan oleh umatnya?

FYI, durasi dakwah Nuh adalah sepanjang 950 tahun (QS. Al-Ankabut: 14). Bisa kita bayangkan, rezim Orba kelihatan sangat cupu, bukan? Malahan, ia lebih panjang ketimbang usia bangsa Indonesia, per tulisan ini dibuat. Tapi bukan itu poin saya.

Sepanjang nyaris sepuluh abad kurang lima puluh tahun itu Nabi Nuh mendedahkan warta kebenaran dengan penuh keyakinan dan argumentasi yang mengagumkan. Lontaran pertanyaan kritis menjadi pembuka dakwah-dakwahnya.

“Apa yang membuat kita menyangkal kekuasaan Tuhan? Dalih apalagi yang membuat kita meragukan kebesaranNya?” begitu kira-kira.

Al-Qur’an sendiri secara kronologis merekam dengan jernih bagaimana metode Nuh meyakinkan umatnya. Semuanya bicara kekuasaan Tuhan: ayat-ayat tentang kejadian manusia, hari kebangkitan, dan penciptaan semesta (Q.S. Nuh [11]: 13-20).

Saya membayangkan bahwa perdebatan Nabi Nuh adalah jauh lebih menegangkan ketimbang panggung Zakir Naik di stadion Gelora Bung Karno. Waktu itu belum ada UU ITE, apalagi mahkamah netizen. Dan, yang dihadapi bukanlah ateis lagi, tetapi mereka yang memang sulit meletakkan keingkaran dalam sebuah panggung debat yang sehat dan rasional.

Perkaranya, sekat macam apa yang membuat mereka ingkar setelah disuguhkan argumentasi paling logis di zamannya tentang proses penciptaan alam semesta? Genre sains macam apa yang membungkus ketidak-percayaan mereka mengenai keberadaan kekuataan supranatural di luar kuasa manusia?

Kelak, ‘tamparan’ Nuh kepada umatnya itu akan berlanjut dalam sekuel perdebatan yang jauh lebih subtil tentang penciptaan semesta. Walakin, argumentasi Nabi Nuh itu seolah dipecundangi oleh umatnya dengan kebekuan sikap dan arogansi (Q.S. Nuh [11]: 5-7).

Jelas saja, Nuh nyaris putus asa melihat sikap umatnya yang naif, tolol, dan sulit diajak maju. Semua itu terekam dalam Q.S. al-Mukminun ayat 24. Bagi saya, ini potret yang cukup menarik. Dalam redaksi asli, al-Quran menggunakan kata (tafadhdhala), mengikuti wazan tafa’ala yang dalam konteks ini mengandung maksud li takalluf atau meniscayakan effort yang lebih besar dari subjek untuk sebuah maksud tertentu.

Ya, kepada Nabi senior dalam hierarki Ulul Azmi itu, para tetua kaum kafir bilang kalau dakwah Nuh hanyalah pansos belaka. Nuh tidaklah lebih dari manusia biasa yang ingin viral. Sebab, kalaupun Allah menghendaki, pastilah Dia akan mengutus malaikat, alih-alih manusia. Lagipula, apa yang diserukan Nuh itu seumur-umur tidak tertuang dalam ajaran leluhur. Nuh, dengan demikian, hanyalah seorang laki-laki yang gila (Q.S. al-Mu’minun [23]: 25).

Syahdan, Nabi Nuh berang. Biarpun begitu, ia tetap pasrah sambil meminta pentunjuk Tuhan (Q.S. al-Mu’minun [23]: 26). Sialan, umat Nabi Nuh semakin kelewatan saja. Dan, ketika kekesalan itu memuncak, alam merespon lewat keteraturannya. Tidak muluk-muluk sebenarnya. Sekadar hujan, tapi berhari-hari dan disertai badai.

Sebelumnya, Nabi Nuh mendapat wahyu agar menyiapkan bahtera yang siap menyambut gelombang pasang (Q.S. al-Mu’minun [23]: 27). Tapi, sekali lagi, umatnya tetap saja memunggungi warta kebenaran. Malahan, di detik-detik pembuatan bahtera, Nabi Nuh terus saja dihadapkan pada ejekan umatnya. Mereka memang bukan lagi congkak tetapi meremehkan dan cenderung menantang semua dalil yang telah didedahkan oleh Nuh (Q.S. Hud [11]: 32-34).

Lebih dari itu, mereka kelewat yakin bilamana pengetahuan dan akal dapat menyelamatkan mereka dari kekuatan alam. Mereka yakin jika bukit-bukit adalah cukup untuk berlindung dari bencana banjir. Bahkan yang agak menyakitkan adalah salah satu anak Nabi Nuh berada dalam sikap dan keangkuhan yang sama. Sayangnya, bencana tak mengenal logika begitu.

Maka, habislah sudah mereka oleh genangan air dengan volume tinggi. Tak serupa Tsunami dalam film 2012, tapi korbannya mengalami kegetiran serupa. Terkejut, takut, dan tak bisa berkelit. Entah berapa banyak korban dari bencana itu. Yang jelas Nabi Nuh dan sejumlah pengikutnya (ada riwayat yang menyebut 80 orang) selamat. Selebihnya tewas.

Al-Quran memotret dengan menarik kekesalan sekaligus kegusaran Nabi Nuh melihat sikap bebal umatnya.

  وَقَالَ نُوحٌ رَبِّ لَا تَذَرْ عَلَى الْأَرْضِ مِنَ الْكَافِرِينَ دَيَّارًا # إِنَّكَ إِنْ تَذَرْهُمْ يُضِلُّوا عِبَادَكَ وَلَا يَلِدُوا إِلَّا فَاجِرًا كَفَّارًا

Dan Nuh berkata: Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorangpun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi. Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu, dan mereka hanya akan melahirkan anak-anak yang jahat dan tidak tahu bersyukur (Q.S. Nuh [71]: 26-27)

Dan, ya, bencana banjir yang melumat seantero bumi itu menjadi jawaban pamungkas dari perdebatan yang sirkuler: bahwa penentangan, keangkuhan, dan kesombongan itu ada ganjarannya. Kejam dan Menyakitkan. Maka, jika ditakar menggunakan pendekatan mitologi dalam rumpun disiplin astrologi, besar kemungkinan Nuh bukanlah seorang aquarius yang, konon, relatif kalem, tapi lebih dekat dengan Taurus dengan tanduk bantengnya.

Ini sangatlah kontras dengan syariat Nabi Muhammad. Bayangkan saja kalau Nabi Muhammad mengikuti jejak pendahulunya, bisa-bisa Islam tidak segebyar hari ini. Lha gimana, nama-nama setamsil Ikrimah, Dhurrah, Khalid, Umar, dan sahabat-sahabat besar lainnya (The Great Sahabah) itu lahir dari generasi yang bahkan sangat solid dalam menentang ajaran Nabi Muhammad.

Rupanya, skema dakwah Nabi Muhammad itulah yang dipakai Walisongo dalam mengajarkan Islam di mari. Bapaknya abangan, anaknya hafidz. Orangtuanya kapitayan, anaknya masuk pesantren. Orangtuanya nasionalis, anaknya FPI. Bahkan, ada juga yang orangtuanya Kristen, anaknya jadi ustaz mualaf. Yang terakhir itu sebetulnya gak penting-penting banget sih. Heuheu.

Wa ba’du, dari apa yang tertuang dalam al-Qur’an, kita bisa memindai bahwa Nuh senyatanya bukan saja Nabi, tetapi juga manusia yang punya rasa marah, kesal, sekaligus kecewa. Watak dasar manusia ini tercermin dari kesedihan, kegagalan, dan kegalauan atas nasib puteranya yang ikut diganjar Tuhan (QS. Hud [11]: 45-46). Dengan demikian, nyata sudah kalau kebenaran itu bukanlah sesuatu yang bisa diturunkan secara biologis. Kebenaran adalah perjalanan bahtera yang di dalamnya ada guncangan, badai, dan sekaligus kedamaian.

Dan, hukuman itu laksana kiasan kehidupan yang terus berulang. Kesombongan itu senyatanya tidak pernah lenyap dan, di atas itu semua, mewaris pada jiwa-jiwa yang sumpek (al-nafs al-lawwamah), yang masih merendahkan orang miskin, yang enggan bertanggungjawab, yang selalu merasa benar sendiri, yang suka “mendisiplinkan” pakaian keimanan orang yang berbeda tafsir, yang malas melakukan verifikasi, yang suka menyebar fitnah, hoaks, ujaran kebencian, dan segudang kebebalan sikap lainnya.