Gus Baha dan Pop Tafsir Kontra Narasi Ekstremisme

Gus Baha dan Pop Tafsir Kontra Narasi Ekstremisme

Jika biasanya kontra narasi ekstremisme mengkaji ayat-ayat jihad, Gus Baha justeru tampil membawakan ayat-ayat kisah dan menginterpretasikannya secara tematik.

Gus Baha dan Pop Tafsir Kontra Narasi Ekstremisme

Rabu pagi, 13 November 2019 terjadi dentuman keras –yang diduga- akbiat bom bunuh diri di Markas Polrestabes Medan. Anehnya, benda ajaib itu diledakkan ketika masyarakat berbondong-bondong memadati ruang Mapolrestabes untuk mengurus SKCK (Surat Keterangan Catatan Kepolisian) terkait jadwal rekrutmen calon PNS di sejumlah kementerian dan lembaga serta juga pemerintah daerah.

Kejadian tersebut mengingatkan saya pada pengajian pop tafsir Gus Baha di masjid Ulil Albab, UII Yogyakarta, Senin, 26 Agustus 2019. Saya menyimak dan mencatat kalimat-kalimat indah Gus Baha. Sesekali saya melihat cara berpakaian dan peci khasnya. Sungguh pengajian pop tafsir yang mengagumkan, disertai dengan hafalan-hafalan Al-Qur’an dan pengajian tafsir moderasi yang menyejukkan, tanpa ada hujatan dan cercaan.

Menariknya, dalam pop tafsir tersebut, kontra narasi ekstremisme, radikalisme dan terorisme yang dibawakan oleh Gus Baha tidak sedikitpun mengutip ayat-ayat yang lumrah dikaji dan dibahas oleh pemikir muslim Indonesia. Sebab kontra narasi teologis-ekrtimis yang sering dikutip oleh mereka berdasar ayat-ayat favorit seputar jihad dan qital. Gus Baha justeru tampil membawakan ayat-ayat kisah sebagai kontra narasi terorisme dan menginterpretasikannya secara tematik dengan instrumen nasikh-mansukh.

 

Taubat Ekstremis Kaum Nabi Musa

Dahulu kaum Nabi Musa, menurut Gus Baha, melakukan praktik taubat ekstremis, yaitu membunuh orang yang terlibat dalam penyembahan “anak sapi”. Model taubat ekstremis tersebut berdasarkan kisah dalam Q.S al-Baqarah: 54. Potongan ayat “faqtulu anfusakum” sebagai konseksuensi dari potongan ayat taubat ekstremis “fatubu ‘ila bari’ikum (bertaubatlah pada Tuhanmu)” merupakan indikator bahwa taubat dengan cara pembunuhan adalah praktik ekstremis yang pernah disyari’atkan pada zaman Nabi Musa.

Dengan demikian, lanjut Gus Baha, jika kita hanya berpegang teguh pada prinsip bahwa para nabi itu adalah figur, maka tentu kita dengan mudahnya “menghabisi” dan meluluhlantakkan suatu tempat yang dianggap penuh maksiat sebagai konsekuensi dari model taubat ekstremis yang diajarkan oleh Nabi Musa, padahal model taubat ekstremis tersebut sudah direvisi (mansukhah) oleh syari’at Nabi Muhammad, sehingga cukup hanya dengan istighatsah dan istighfar, tanpa harus melakukan bom bunuh diri.

Karena itu, menurut Gus Baha, bahwa seseorang dilarang dengan mudah “berkoar-koar” bahwa para nabi adalah panutan dalam segala perilakunya. Sementara itu, kita dituntut untuk selektif dalam menjadikan para nabi sebagai figur mengingat terdapat beberapa perilaku para nabi yang sudah direvisi (nasakh) oleh syari’at Rasulullah, sehingga tidak mudah bertindak radikal dan ekstremis. Bom bunuh diri itu merupakan model taubat ekstirmis yang diangap sebagai golden moment untuk masuk surga.

 

Ekstremisme Agama Kaum Nabi Nuh

Ekstremisme agama pada awalnya pernah disyariatkan era Nabi Nuh, yaitu membunuh orang-orang yang menentang perintah Allah. Fenomena terorisme ini terdapat dalam Q.S Nuh: 26-27. Kedua ayat ini, menurut Gus Baha, melukiskan permohonan Nabi Nuh agar Allah membunuh kaum yang menentang, sebab jika mereka tetap dibiarkan hidup, maka perjalanan generasi berikutnya akan tetap berada dalam kekufuran yang sama, yang diekpresikan oleh ayat wa la yalidu illa fajiran kaffaran.

Permintaan Nabi Nuh dalam kisah tersebut, menurut Gus Baha, akhirnya dikabulkan oleh Allah, sehingga semua ummatnya meninggal dunia dengan cara didatangkan siksa berupa banjir, kecuali sekitar 80 orang yang beriman dan ikut perahu Nabi Nuh. Rombongan ummat Nabi Nuh yang selamat tersebut, lanjut Gus Baha’, dieksprersikan Al-Qur’an dengan potongan kalimat dzurriyata man hamalna ma’a Nuh, sebagaimana termaktub dalam Qs. Al-Isra’: 03.

Karena itu, ayat-ayat terorisme agama yang pernah diberlakukan pada era Nabi Nuh, sudah mengalami revisi (mansukhah) sejak kenabian Nabi Ibrahim sampai pada syariat era Rasulullah. Oleh karena itu, andaikan tidak ada para ulama yang membahas persoalan nasikhmansukh, tentu eksistensi syariat Nabi Nuh itu dianggap masih berlaku secara abadanmuabbadan, sehingga melakukan tindakan teror, brutal, radikal dan intoleran pada orang kafir dianggap legal, padahal kita sudah gonta-ganti nabi.

Misalnya, ajaran dan dakwah Nabi Ibrahim, tidak satupun yang dipertontonkan dengan cara sadis, bengis dan anarkis, sekalipun dikepung oleh berhala-berhala yang telah menyesatkan manusia. Berhadapan dengan para pendurhakanya, Nabi Ibrahim cukup mengeluarkan statemen, “waman ‘ashani, fa innaka ghafurun Rahim (siapa yang mendurhakaiku, maka Engkau Maha Pengampun dan Maha Penyayang). Statemen Nabi Ibrahim yang menyejukkan tersebut, menurut Gus Baha, berdasarkan Q.S Ibrahim: 36.

Begitu pula dengan dakwah Rasulullah, tidak pernah dibangun dengan ancaman dan gertakan. Rasulullah, menurut Gus Baha, justru dituntut untuk mengayomi minoritas dengan cara memberi ruang berekspresi untuk mengkaji agama (yasma’a kalamallahi) serta memberikan rasa aman dan nyaman pada mereka (ablighhu ma’manah), sebab mereka adalah qaumun la ya’lamun, berdasarkan Q.S at-Taubah: 06. Mereka itu, lanjut Gus Baha, sudah terkooptasi oleh kultur yang sudah bertahun-tahun menyembah berhala.

Oleh karena itu, seorang da’i harus berperilaku santun mengingat mereka adalah kaum yang tidak mengetahui. Hanya saja, dalam konteks saat ini, terutama penggagas Islam Kaffah, perilaku humanis sudah mulai ditinggalkan, karena mereka teramat berambisi mengamalkan Q.S Nuh: 26-27 yang jelas-jelas sudah di-nasakh oleh Q.S an-Nahl: 123. Jika demikian, fatwa implementasi Islam Kaffah, justeru kontraproduktif dengan kapasitas dirinya. Gus Baha, menyindirnya sebagai berikut:

“Orang sekarang main pukul saja tidak mau ngaji Al-Qur’an secara kaffah. Fatwanya Islam Kaffah, tapi ngaji Al-Qur’an-nya tidak kaffah. Cukup berdasar satu, dua potongan ayat, lalu dipakai menteror orang. Kalau mau Islam Kaffah, ya harus hafal Al-Qur’an 30 juz”.

Wallahu a’lam.

 

Artikel ini diterbitkan kerja sama antara islami.co dengan Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kemkominfo