Pada masa hidupnya, Nabi Musa alaihissalam pernah menganggap dirinya sebagai orang yang paling pandai. Ini sebagaimana dijelaskan dijelaskan oleh Imam Bukhari dalam Shahih Bukhari, Kitab Ilmu.
Bahwasanya suatu ketika saat Nabi Musa As sedang khutbah di depan Bani Israil, ada seorang laki-laki dari Bani Israil yang bertanya kepada Nabi Musa As, “kami telah mengetahui apa yang engkau ucapkan. Apakah ada di muka bumi ada orang yang lebih pandai darimu, Wahai Nabi Allah?”
Mendapat pertanyaan seperti itu, Nabi Musa As lalu menjawab, “Tidak ada.”
Allah Swt yang melihat kelakuan utusannya seperti itu, lalu mengutus malaikat Jibril untuk menegur Nabi Musa. Mengapa? Tentu saja karena ilmu yang dimilikinya adalah dari Allah semata.
Walhasil, Jibril pun menemui Nabi Musa dan menyampaikan teguran dari Allah Swt, “wahai Musa, tahukah engkau di mana aku menaruh ilmuku? Sesungguhnya aku mempunyai seorang hamba di pertemuan dua lautan, dia lebih pandai darimu.” Hamba tersebut adalah Nabi Khidir As.
Setelah mendapat teguran dari Allah Swt, Nabi Musa bertanya kepada Allah SWT, “wahai Tuhan, bagaimana aku bisa bertemu dengannya?” Allah Swt lalu berkata kepada Nabi Musa As, “bawalah ikan dalam keranjang, jika nanti kamu kehilangan ikan itu, maka itulah petunjuknya.”
Nabi Musa As kemudian berangkat dengan pelayannya yang bernama Yusya’ bin Nun. Mereka berdua membawa ikan dalam keranjang, hingga keduanya sampai di sebuah batu besar. Mereka berdua kemudian meletakkan kepalanya di atas batu tersebut dan tiduran. Ketika mereka sedang tiduran, ikan yang ada di dalam keranjang melompat keluar dan menuju ke laut.
Kejadian tersebut pun mengherankan Nabi Musa As dan Yusya’, namun mereka berdua tetap melanjutkan sisa perjalanannya. Hingga pada suatu pagi, Nabi Musa As berkata kepada Yusya’, “bawalah kemari makanan kita, sesungguhnya kita telah merasa lelah karena perjalanan ini.”
Tiba-tiba Yusya’ berkata kepada Nabi Musa As, “tahukah kamu ketika kita mencari tempat berlindung di batu tadi? Sesungguhnya aku lupa menceritakan ikan itu. Dan tidakkah yang melupakan aku ini kecuali setan.”
Mendengar ucapan Yusya’, Nabi Musa As lalu berkata, “itulah tempat yang kita cari. Lalu keduanya kembali mengikuti jejak ikan-ikan tersebut.”
Hanya saja, ketika mereka berdua sampai di batu yang buat istirahat, ada seorang laki-laki yang mengenakan pakaian yang lebar. Dan orang tersebut adalah Nabi Khidir As. Nabi Musa As kemudian memberi salam kepadanya, dan Nabi Khidir berkata, “bagaimana cara salam di tempatmu?”
Musa As menjawab, “Aku adalah Musa.”
Khidir balik bertanya, “Musa Bani Isra’il?”
Musa As menjawab, “benar,” dan ia melanjutkan, “bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?”
Khidir As menjawab: “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku.” Nabi Khidir melanjutkan ucapannya, “Wahai Musa, aku memiliki ilmu dari ilmunya Allah yang Dia mangajarkan kepadaku yang kamu tidak tahu, dan kamu juga punya ilmu yang diajarkan-Nya yang aku juga tidak tahu.”
Mendengar ucapan tersebut, Nabi Musa As berkata, “Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun.”
Maka keduanya berjalan kaki di tepi pantai karena keduanya tidak memiliki perahu, lalu melintaslah sebuah perahu kapal. Mereka berbicara agar orang-orang yang ada di perahu itu mau membawa keduanya. Karena Khidir telah dikenali, maka mereka pun membawa keduanya dengan tanpa bayaran. Kemudian datang burung kecil hinggap di sisi perahu mematuk-matuk di air laut untuk minum dengan satu atau dua kali patukan.
Khidir lalu berkata, “Wahai Musa, ilmuku dan ilmumu bila dibandingkan dengan ilmu Allah tidaklah seberapa kecuali seperti patukan burung ini di air lautan.” Kemudian Khidir sengaja mengambil papan perahu lalu merusaknya. Musa pun berkata, “Mereka telah membawa kita dengan tanpa bayaran, tapi kenapa kamu merusaknya untuk menenggelamkan penumpangnya?” Khidir berkata: “Bukankah aku telah berkata, “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku.”
Musa pun menjawab, “Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku.”
Kejadian pertama ini karena Musa terlupa. Kemudian keduanya pergi hingga bertemu dengan anak kecil yang sedang bermain dengan dua temannya. Khidir lalu memegang kepala anak itu, mengangkat dan membantingnya hingga mati.
Maka Musa pun bertanya, “Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain?” Khidir menjawab, “Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?”
Segera setelah itu, keduanya berjalan hingga sampai kepada penduduk suatu negeri. Sesampainya di negeri tersebut, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka. Kemudian keduanya mendapati dinding rumah yang hampir roboh. Maka Khidir menegakkan dinding itu, dengan tangannya sendiri tanpa bantuan siapapun.
Melihat hal tersebut, lalu Musa berkata, “Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu. Khidlir menjawab, “Inilah saat perpisahan antara aku dan kamu.”.
Kisah di atas adalah sebuah peringatan bagi siapapun, termasuk bagi orang alim dan para pencari ilmu jika ditanya tentang siapakah yang lebih mengetahui atau siapakah yang lebih pintar. Apalagi yang ditanya adalah perihal diri sendiri, hendaklah mengembalikan ilmu kepada Allah. Bilang tidak tahu, atau bilang wallahu a’lam. Jangan merasa paling tahu dan pintar sendiri, karena di atas langit masih ada langit. Sebab ilmu dan pengetahuan itu sangat luas, tidak mungkin manusia bisa menguasai kesemuanya. Dan kesemuanya itu datang dari Allah SWT.
BACA JUGA Tafsir Surat Al-Kahfi Ayat 78-79: Perpisahan Nabi Musa dan Nabi Khidir