Menjawab permasalahan yang dihadapi Nabi Musa as, hari itu Allah Swt memerintahkan Nabi Musa untuk memecah sebuah batu yang sangat besar. Pasalnya, Nabi Musa as sedang “pusing” memikirkan kondisi ekonomi keluarganya. Ia berpikir bagaimana agar dapur tetap mengepul. Perintah itu pun dilakukannya dengan baik. Nabi Musa as lalu memecahkan batu yang diperintahkan dengan tongkatnya. Batu pun akhirnya terpecah.
Dari dalam batu besar yang terpecah itu, ternyata ia menemukan ada batu lagi (batu A). Ia memecahnya (batu A) dengan tongkatnya, kemudian ia menemukan ada ada batu lagi di dalamnya (batu B). Batu B itu ia pecah lagi, ternyata muncul batu lagi dari dalamnya (batuC). Batu C itu ia pecah, dari pecahan itu muncul seekor cacing yang sangat kecil. Segera setelah itu Nabi Musa melihat dari mulut cacing itu, ada secuil makanan yang keluar dari tenggorokannya.
Lantas, Allah Swt memampukan Nabi Musa as mendengar si cacing bicara. Cacing itu berkata, “Maha suci Zat yang melihatku, mendengar ucapanku, mengetahui tempatku, ingat dan tak melupakanku”.
Kisah di atas penulis baca dari kitab tafsir Marah Labid karya Syaikh Nawawi Banten dan Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin al-Razi, yakni ketika menafsirkan firman Allah Swt, “Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberirezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh).” (QS. Hud [11]: 6)
Kata dabba, dalam kamus bahasa Arab diartikan dengan “merangkak, merayap, berjalan dengan dua kaki dan tangan, dan melata”. Menurut al-Baghawi dalam Ma’alim al-Tanzil, dabbah adalah setiap hewan yang merayap dan merangkak di muka bumi. Sehingga dari penjelasan ini, manusia juga termasuk di dalamnya. Pasalnya, manusia juga berjalan di bumi.
Ayat di atas, menurut al-Baidlawi dalam kitab Anwar al-Tanzil, menunjukkan kepastian datangnya rezeki yang oleh karenanya menyuruh manusia untuk selalu bertawakkal kepadaAllah Swt.
Sehingga dari uraian di atas, kita semakin yakin bahwa betapa besarnya kasih sayang Allah kepada manusia khususnya, dan semua makhluk Allah Swt umumnya.
Cacing yang berada di dalam batu saja, yang tentu tidak bisa kemana-mana, mendapatkan rezeki. Lantas bagaimanadengan manusia yang bisa bergerak dan berusaha? Sudah barang tentu mendapatkannya.
Meski demikian, bukan berarti manusia harus hanya berpangku tangan saja menunggu datangnya rezeki. Mereka harus tetap berusaha maksimal agar mendapat rezeki.
Bukankah ketika kita makan harus tetap mengulurkan dan menggerakkan tangan agar sendok makanan kita bisa masuk ke dalam mulut? Bukankah pula seorang bayi ketika lapar dan minta makan, ia tetap berusaha meski “hanya” dengan dengan menangis?
Menurut al-Biqa’i dalam tafsir Nadzm al-Durar, tujuan Allah Swt memberikan dan menanggung rezeki kepada setiap manusia bertujuan agar manusia tenang dalam beribadah kepadaNya tanpa harus “pusing” memikirkan rezeki.
Apakah memberi rezeki kepada setiap makhluknya adalah kewajiban Allah Swt? Tidak.
Tidak ada kewajiban bagi Allah Swt untuk memberi rezeki kepada setiap dabbah. Pemberian rezeki dari Allah itu, sebagaimana diuraikan di atas, adalah bentuk kemurahan Allah. Hal ini karena tidak sedikit dabbah yang mati sebelum mendapat rezeki. Begitu kurang lebih pendapat al-Qurthubi.
Dengan demikian, manusia hendaknya tidak galau dan harus tetap tenang dalam urusan rezeki, karena Allah sudah menanggungnya. Dengan kata lain, kita hanya berkewajiban untuk berusaha untuk mencarinya. Juga, karena rezeki sudah menjadi urusan Allah, hendaknya pula, manusia semakin khusyu’ dalam beribadah. Bukankah diciptakannya manusia hanya untuk beribadah? Allah Swt berfirman: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Al-Dzariyat [51] : 56). Wallahu a’lam.