Ketika usia Rasulullah SAW mendekati 40 tahun, beliau pun mulai sering uzlah (mengasingkan diri) dari kaumnya. Hal ini karena Nabi Muhammad SAW menyadari bahwa keadaan kaumnya benyak yang tidak sejalan dengan kebenaran. wahyu pertama
Beliau biasa mengasingkan diri di gua Hira, di Jabal Nur, dengan membawa bekal air dan roti gandum. Gua Hira merupakan gua kecil yang berukuran lebar 1,75 hasta dan panjang 4 hasta dengan ukuran dzira’ hadid (ukuran hasta dari besi).
Nabi Muhammad SAW tinggal di dalam gua tersebut selama bulan Ramadhan. Beliau menghabiskan waktu untuk beribadah di sana dan banyak merenungi kekuasaan Allah di alam semesta yang begitu sempurna. Selama perenungan itu juga beliau semakin menyadari keterpurukan kaumnya yang masih terbelenggu oleh keyakinan syirik. Namun ketika itu beliau belum memiliki jalan yang terang dan manhaj yang jelas mengenai bagaimana jalan yang harus ditempuh.
Ketika usia beliau genap 40 tahun, tanda-tanda kenabian semakin nampak dan bersinar. Di antaranya, ada sebuah batu di Mekkah yang mengucapkan salam kepada beliau. Beliau SAW bersabda:
إِنِّي لَأَعْرِفُ حَجَرًا بِمَكَّةَ كَانَ يُسَلِّمُ عَلَيَّ قَبْلَ أَنْ أُبْعَثَ إِنِّي لَأَعْرِفُهُ الْآنَ
“Sungguh aku mengetahui sebuah batu di Mekkah yang mengucapkan salam kepadaku sebelum aku diutus (menjadi Nabi). Dan aku masih mengenalkan sampai sekarang” (HR. Muslim no. 2277).
Ibnu Hajar Al Asqalani mengatakan dengan mengutip pendapat al-Baihaqi bahwa masa ru’ya ash shalihah berlangsung selama 6 bulan. Berdasarkan hal ini, maka permulaan kenabian dengan adanya ru’ya ash shalihah terjadi pada bulan kelahiran beliau yaitu Rabi’ul Awwal, setelah beliau genap 40 tahun. Sedangkan wahyu dalam kondisi terjaga terjadi pada bulan Ramadhan” (Fathul Bari, 1/27).
Ketika uzlah beliau memasuki tahun ketiga, tepatnya di bulan Ramadhan, Allah Ta’ala menakdirkan ketika itu turun wahyu pertama kepada beliau dan diangkatnya beliau menjadi Nabi. Malaikat Jibril turun kepadanya dengan membawa wahyu pertama.
Shafiyurrahman al-Mubarakfuri dalam Rahiqul Makhtum, menelaah waktu turunnya wahyu pertama ini. Al-Mubarakfuri menyimpulkan bahwa peristiwa ini terjadi pada hari Senin tanggal 21 Ramadhan di malam hari, bertepatan dengan 10 Agustus 610M. Dan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam saat itu berusia 40 tahun, 6 bulan, 12 hari menurut kalender hijriyah. Atau sekitar 39 tahun, 3 bulan dan 20 hari menurut kalender masehi.
Di kisahkan dari Aisyah Ummul Mukminin Ra. Ia berkata, “Awal turunnya Rasulullah SAW dimulai dengan ar-ru’ya ash shadiqah (mimpi yang benar dalam tidur). Dan tidaklah Beliau bermimpi kecuali datang seperti cahaya subuh. Kemudian Beliau dianugerahi rasa ingin untuk menyendiri. Nabi pun memilih gua Hira dan ber-tahannuts,Yaitu ibadah di malam hari dalam beberapa waktu. Kemudian beliau kembali kepada keluarganya untuk mempersiapkan bekal untuk ber-tahannuts kembali. Kemudian Beliau menemui Khadijah mempersiapkan bekal. Sampai akhirnya datang Al Haq saat Beliau di gua Hira. Malaikat Jibril datang dan berkata: “Bacalah!”.
Aku (Rasulullah) menjawab, “Aku tidak bisa membaca!”
Beliau menuturkan, ‘Kemudian dia memegang dan merengkuhku hingga aku kehabisan bertenaga, lalu setelah itu melepaskanku sembari berkata, “bacalah!” Aku tetap menjawab, “Aku tidak bisa membaca!”
Dia (Malaikat Jibril) memegangku dan merangkulku hingga aku merasa sesak. Kemudian melepaskanku, seraya berkata lagi, “Bacalah!”
Aku menjawab, “Aku tidak bisa membaca”.
Dia memegangiku dan merangkulku hingga ketiga kalinya hingga aku merasa sesak, kemudian melepaskanku, lalu berkata: “Bacalah dengan (menyebut) nama Rabbmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Rabbmulah Yang Paling Pemurah”. (Al-‘Alaq: 1-3).6
Rasulullah pulang dengan merekam bacaan tersebut dalam kondisi hati yang bergetar, dan menemui Khadijah binti Khuwailid sembari berucap, “Selimutilah aku, selimutilah aku!” maka beliau diselimuti hingga badan beliau tidak lagi menggigil layaknya terkena demam. “Apa yang terjadi padaku wahai Khadijah?”, ucap Nabi Muhammad SAW kepada sang istri. Beliau memberitahukan sesuatu yang baru saja terjadi. Beliau bersabda, “Aku takut wahai khadijah, aku sangat khawatir terhadap apa yang terjadi”.
Sayyidah Khadijah selaku istri yang saleha juga mengerti, beliau menenangkan sang suami. ”Demi Allah, selamanya Allah tidak akan menghinakanmu, karena engkau suka menyambung tali persaudaran, membantu meringankan beban orang lain, memberi makan orang yang miskin, menjamu tamu, dan menolong orang yang menegakkan kebenaran,” ujar Khadijah.
Di tengah ketakutannya, beliau menceritakan kembali apa yang telah beliau alami, “Ketika itu aku ingin pergi, hendak kembali ke rumah. Namun, di tengah gunung, tiba-tiba aku mendengar suara yang datangnya dari langit, berkata, “Wahai Muhammad, engkau adalah Rasul Allah, dan aku Jibril.”
Aku mendongakkan kepala ke arah langit, yang ternyata di sana ada Jibril dalam rupa seorang laki-laki dengan wajah yang berseri, kedua telapak kakinya menginjak ufuk langit, seraya berkata, “Wahai Muhammad, engkau adalah Rasul Allah dan aku Jibril.”
Nabi berdiam diri sambil memandangnya, bingung apa yang hendak ia kerjakan, tidak berani melangkah maju atau mundur. Nabi memalingkan wajahnya dari arah yang ditempati Jibril di ufuk langit. Tetapi, setiap kali Nabi memandang arah langit yang lain, di sana tetap ada Jibril yang ia lihat.
Nabi tetap diam, tidak selangkah kaki pun maju ke depan atau surut ke belakang, hingga akhirnya Khadijah binti Khuwailid mengirim beberapa orang untuk mencarinya. Bahkan, mereka sampai ke Mekah dan kembali lagi menemui Khadijah tanpa hasil, padahal nabi tetap berdiri di tempatnya. Jibril kemudian meninggalkan Nabi dan Nabi pun pulang kembali menemui keluarganya.
Sesampainya di rumah, Nabi langsung duduk di atas paha Khadijah sambil bersandar kepadanya. Khadijah berkata, “Wahai Abul Qasim, ke mana saja engkau tadi? Demi Allah, aku telah mengirim beberapa orang untuk mencarimu hingga mereka sampai di Mekah, namun kembali lagi tanpa hasil.”
Nabi pun memberitahukan apa yang telah ia lihat. Mendengar cerita Nabi, Khadijah berkata, “Bergembiralah, wahai anak pamanku, dan teguhkanlah hatimu. Demi diri Khadijah yang ada di Tangan-Nya, aku benar-benar sangat berharap engkau menjadi Nabi umat ini.”
Setelah itu Khadijah beranjak pergi untuk menemui Waraqah dan mengabarkan kepadanya. Waraqah berkata, “Mahasuci, Mahasuci. Demi diri Waraqah yang ada di Tangan-Nya, Namus Yang Besar, yang pernah datang kepada Musa, kini telah datang kepadanya. Dia adalah benar-benar nabi umat ini. Katakanlah kepadanya agar dia berteguh hati.” (AN)
Wallahu a’lam bis- showwaab.
Baca juga artikel lain tentang Sirah Nabawiyah, Sejarah Hidup Rasulullah SAW