Seorang ‘abid (orang yang taat ibadah) sedang melaksanakan ibadah thawaf di Baitullah. Ketika mengelilingi Ka’bah, ia mendengar seseorang (sebut saja Fulan) sedang berdoa kepada Allah, “Ya Allah, apa yang sebenarnya Engkau sedang lakukan kepada hambaMu yang dhaif ini?”
Setelah si ‘abid itu selesai thawaf, ia mengampiri Fulan, menanyakan apa yang sebenarnya terjadi sehingga ia merapal doa seperti itu. Doa itu di telinga si ‘abid terdengar aneh. Fulan pun akhirnya menceritakan apa adanya.
Begini kisahnya.
Saat itu, Fulan adalah salah seorang pasukan muslim yang akan menyerang Romawi. Panglima muslim saat itu mengutusnya menjadi satu dari sepuluh penunggang kuda pilihan yang dikirim terlebih dahulu untuk melihat keadaan pasukan Romawi.
Sepuluh penunggang kuda ini pun berangkat. Karena satu dan dua hal, mereka akhirnya sepakat untuk mengirim salah seorang dari mereka sebagai telik sandi (pengintai). Pengintai ini bertugas mengunjungi dan menyelidiki padang pasir, tempat musuh berjaga-jaga. Setelah beberapa saat, ia kembali dengan membawa data yang mencengangkan.
“Di satu sisi padang pasir, ada enam puluh pasukan Romawi. Dan di sisi yang berbeda, ada enam ratus,” begitu kurang lebih ia memberikan kabar kepada kawan-kawannya.
Fulan dkk kembali kepada panglima muslim. Yakni untuk melaporkan hasil investigasi yang didapat. Panglima pun memutuskan untuk mengirim pasukan muslim dalam jumlah besar, yang akan melawan para pasukan Romawi di kedua sisi padang pasir itu.
Sayangnya, malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih. Allah memiliki kehendak lain. Pasukan muslim kalah. Mereka semua ditahan. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un.
Mendengar kabar kekalahan pasukan muslim, panglima muslim mengambil langkah lanjutan. Ia menugaskan Fulan dan sembilan temannya (para penunggang kuda pilihan) untuk mengintai kandang lawan. Setiap malam, satu orang berangkat.
Lagi-lagi, nasib baik sedang tak berpihak kepada kaum muslim saat itu. Fulan dan sembilan temannya berhasil ditangkap. Mereka diserahkan kepada raja Romawi. Ia memerintahkan agar Fulan dkk itu dipenjara bersama para pasukan muslim yang lebih dahulu masuk.
Namun, di saat yang sama, sebelum Fulan dkk benar-benar masuk penjara, ada kabar bahwa beberapa pasukan muslim yang di penjara membunuh pasukan-pasukan Romawi. Mendengar itu, raja Romawi murka. Pasalnya, salah seorang dari pasukan Romawi itu adalah sepupu sang raja. Raja pun melampiaskan murkanya dengan menghukum mati Fulan dkk.
Algojo telah siap. Satu persatu dari sepuluh orang itu akan segera dibunuh, dan Fulan berada di urutan terakhir.
Aneh bin ajaib, ketika menengok ke atas, Fulan melihat ada sepuluh bidadari membawa nampan yang berisi ada sebuah kendi. Di atas bidadari itu, ada sepuluh pintu yang terbuka dari arah langit.
Setiap temannya dibunuh, satu bidadari turun dan memasukkan ruh itu ke dalam kendi, kemudian dibawanya masuk ke salah satu pintu.
Sembilan orang telah dibunuh. Kini giliran Fulan menemui ajalnya. Namun, ketika sang algojo telah siap, penasihat raja memberikan nasihat, “Wahai raja, jika si Fulan ini dibunuh juga, lantas nanti siapa yang akan memberitahukan kabar kematian mereka kepada umat muslim yang lain?”
Raja setuju dengan nasihat itu. Fulan tak jadi dibunuh. Sang bidadari yang siap membawa ruh Fulan pun berkata, “Sungguh, ini adalah nasib buruk. Sungguh, ini adalah nasib buruk”.
Begitulah asal usul mengapa Fulan memanjatkan doa sebagaimana disebutkan di awal. Allah pun menjawab doa itu. Dia berfirman, “Jangan pernah berputus asa. Keutamaan Allah sangatlah besar”
Kisah ini termaktub dalam kitab al-Nawadir karya Ahmad Shihabuddin bin Salamah al-Qalyubi. Salah satu hikmah yang bisa dipetik darinya adalah ganjaran mereka yang mati syahid karena benar-benar berjuang di jalan Allah. Juga, dalam kisah di atas, terbaca dengan jelas betapa penyesalan yang dirasakan Fulan.
Ia menyesal karena tak jadi meninggal sehingga ia tidak bisa mendapat predikat syahid. Padahal, jika melihat jawaban Allah atas doa yang dipanjatkan itu, bisa jadi predikat syahid telah menempel para diri Fulan.
Meski tidak jadi meninggal dunia, keberadaan Fulan tetap bermanfaat dan insyallah penuh pahala. Tidak saja karena ia menjadi informan inti tentang kematian kawan-kawannya, namun pada akhirnya, ia juga bisa bercerita kepada si a’abid terkait para bidadari itu. Wallahu a’lam.
Sumber:
Al-Qalyubi, Ahmad Shihabuddin bin Salamah. al-Nawadir. Jeddah: al-Haramain, t.th.