Perjanjian Hudaibiyah juga dikenal sebagai Sulah Hudaibiyah adalah salah satu peristiwa yang terjadi pada tahap awal Islam. Di dalamnya berisi perjanjian perdamaian antara Nabi Muhammad SAW dengan suku Quraisy pada bulan Dzulhijjah tahun 6 H (638 M).
Berdasarkan penjelasan Ibn Hisyam dalam Sirah an-Nabawiyah-nya, peristiwa ini bermula dari perjalanan Nabi dari Madinah ke Mekah untuk melakukan umrah. Nabi melakukan hal ini karena sebelumnya bermimpi bahwa ia memasuki Mekah untuk melakukan thawaf di sekitar Ka’bah. Sahabat-sahabatnya di Madinah senang ketika hal tersebut diberitahukan kepada mereka.
Kaum Muhajirin pun antusias untuk melakukan perjalanan ke Mekah. Mereka dilahirkan dan dibesarkan di kota tersebut. Kaum Muhajirin sendiri adalah golongan pemeluk Islam, termasuk penasihat dan kerabat Nabi Muhammad SAW yang hijrah dari Mekah ke Madinah.
Dengan latar belakang dari Mekah, tentu saja mereka semua ingin sekali melakukan thawaf dan kembali ke sana. Kaum Muhajirin pun mulai mempersiapkan perjalanan ke Mekah. Hampir tidak ada yang mau tertinggal di belakang. Saat itu Nabi Muhammad bersama 1400 pengikutnya telah mendekati Mekkah. Perjalanan Nabi dengan membawa sejumlah rombongan besar didasari oleh kemungkinan terjadinya halangan dari bani Quraisy. Saat itu kaum Quraisy adalah suku terbesar yang memusuhi kaum muslimin.
Sebenarnya Nabi juga mengajak orang-orang Arab dalam perjalanannya, tetapi mereka menolak karena alasan kesibukan dan materi.
Hal ini dijelaskan dalam surat Al-Fath ayat 11:
سَيَقُولُ لَكَ الْمُخَلَّفُونَ مِنَ الْأَعْرَابِ شَغَلَتْنَا أَمْوَالُنَا وَأَهْلُونَا فَاسْتَغْفِرْ لَنَا ۚ يَقُولُونَ بِأَلْسِنَتِهِمْ مَا لَيْسَ فِي قُلُوبِهِمْ ۚ قُلْ فَمَنْ يَمْلِكُ لَكُمْ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا إِنْ أَرَادَ بِكُمْ ضَرًّا أَوْ أَرَادَ بِكُمْ نَفْعًا ۚ بَلْ كَانَ اللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
“Orang-orang Badui yang tertinggal (tidak turut ke Hudaibiyah) akan berkata kepadamu, “Kami telah disibukkan oleh harta dan keluarga kami, maka mohonkanlah ampunan untuk kami.” Mereka mengucapkan sesuatu dengan mulutnya apa yang tidak ada dalam hatinya. Katakanlah, “Maka siapakah yang dapat menghalang-halangi kehendak Allah jika Dia menghendaki bencana terhadap kamu atau jika Dia menghendaki keuntungan bagimu? Sungguh, Allah Mahateliti dengan apa yang kamu kerjakan.” (Q.S al-Fath [48]:11).
Mereka enggan untuk bergabung dengan Nabi karena perjalanan tersebut berisiko tinggi bagi mereka sehingga mereka memilih berdiam diri.
Ketika rombongan telah tiba di Dzulhulaifah, mereka menjalankan shalat dan berihram untuk bersiap melaksanakan ibadah umrah. Saat itu mereka juga membawa 70 ekor unta sebagai kurban (hadyu). Suku Quraisy yang mengetahui kedatangan Nabi dan rombongan bertekad untuk menghalangi kedatangannya, sekalipun harus dengan mengangkat senjata. Informasi tersebut didengar oleh Nabi. Kemudian rombongan tersebut berhenti di dekat sebuah sumur di tempat yang disebut Hudaibiyah, di utara Mekah.
Penduduk Mekah mencegat Rasul di Al-Hudaybiyah, sekitar 14,5 km dari Mekah. Posisi tepatnya berada di sebuah sumur di arah barat daya Mekah. Saat ini tempat itu dinamakan as-Syamisiy. Untuk menghindari konflik terbuka maka Nabi mengutus utusan untuk menjelaskan maksud kedatangannya ke Mekah. Melalui utusan, Nabi memberitahukan kedatangannya hanyalah untuk umrah, mempersembahkan kurban dan kembali ke Madinah. Tetapi suku Quraish tetap bersikeras menolak kedatangan mereka.
Kemudian Nabi mengutus Umar bin Khattab untuk pergi ke Mekah sebagai delegasi untuk menjelaskan kepada suku Quraish maksud damai kedatangan Nabi. Tetapi Umar bin Khattab menolak untuk pergi karena dia memiliki banyak musuh di sana dan berpikir tidak ada orang di Mekah yang bisa melindunginya. Kemudian Umar menyarankan Nabi untuk mengutus Utsman bin Affan sebagai utusan. Maka berangkatlah Utsman bin Affan.
Kaum Quraisy memperlakukan Utsman dengan baik dan membebaskannya untuk melakukan umrah. Tetapi Utsman bukanlah pribadi yang egois. Dia memilih untuk tidak melakukan umrah kecuali jika suku Quraisy juga menerima Nabi dan semua kaum Muhajirin yang hendak melakukan umrah.
Hal ini ditolak oleh kaum Quraisy. Bahkan terdengar kabar ke rombongan Nabi bahwa Utsman bin Affan dibunuh oleh kaum Quraish. Segera Nabi memerintahkan rombongannya untuk melakukan ikrar ridwan (ikrar kesetiaan) sampai mati.
Kaum Quraisy yang mendengar hal itu menjadi gentar sehingga membebaskan Utsman bin Affan. Kaum Quraisy pun mengutus Suhail bin Amr untuk menegosiasikan perdamaian dengan Nabi. Karena pribadi yang kaku dari Suhail bin Amr yang kaku maka proses negosiasi tersebut berjalan melelahkan. Tetapi kemudian kesepakatan tercapai. Perjanjian Hudaibiyah ditandatangani pada dua salinan, satu untuk masing-masing pihak. Dokumen asli Perjanjian Hudaibiyah dipertahankan oleh Nabi Muhammad SAW sementara duplikat diserahkan kepada Suhail untuk diamankan di arsip Mekah.
Walaupun ada beberapa sahabat Nabi yang meresponi negatif hasil perjanjian dan sempat menolak untuk ikut mempersembahkan kurban unta. Tetapi kemudian terbukti bahwa perjanjian Hudaibiyah merubah pola pikir kaum Quraisy terhadap orang Muslim.
Awalnya Quraisy memandang Nabi adalah pemberontak dari Mekah. Tetapi kemudian mereka menerima Nabi bahkan pada kisah selanjutnya mereka mengakui Madinah sebagai suatu negara. Perjanjian Hudaibiyah adalah contoh peperangan yang diselesaikan tanpa pertumpahan darah dan membantu penyebaran Islam di Semenanjng Arab. (AN)
Wallahu a’lam.