Syekh Dzun Nun al-Mishri memiliki keponakan perempuan yang sangat taat beragama. Sebut saja, namanya Fulanah. Suatu ketika, Fulanah hilang atau pergi entah kemana. Tak tanggung-tanggung, ia menghilang lama sekali: sebulan. Hal ini membuat Syekh Dzun Nun bingung.
Agar Fulanah bisa ditemukan, Syekh Dzun Nun pun berdoa, memohon petunjuk kepada Allah. Tak hanya itu, agar Allah SWT mengabulkan hajatnya, ia juga melakukan tirakat dalam bentuk puasa dan shalat sunah.
Pada suatu malam, ia bermimpi tentang adanya suara tanpa rupa yang memberikan informasi penting. “Fulanah berada di padang pasir,” kata suara itu. Jawaban itu membuatnya bertanya-tanya, “Kok bisa ia di sana?”.
Keesokan harinya, ia pun bergegas menuju padang pasir dengan membawa beberapa makanan dan minuman sebagai bekal.
Setelah berada di padang pasir dan mencari Fulanah selama sepuluh hari, Syekh Dzun Nun tak mendapatkan hasil apapun. Keponakannya tak bisa ditemukan. Bahkan, bekal makanan dan minuman yang ia bawa pun sampai habis.
Syekh Dzun Nun menyerah dan merasa keponakannya benar-benar tak ada di sana. Ia memutuskan untuk pulang keesokan harinya. Malam itu adalah malam terakhir ia berada di tengah padang pasir.
Malam-malam, ketika Syekh Dzun Nun tidur, Fulanah datang dan membangunkannya, “Paman mengapa engkau tidur di sini?”
“Aku kehilangan kamu dan akhirnya aku mencarimu sampai di sini,” jawab Syekh Dzun Nun.
Keponakannya ini pun memberikan penjelasan panjang lebar. Ia mengisahkan bahwa ketika sedang beribadah kepada Allah SWT, keyakinannya kepadaNya begitu meningkat. Hal itu mendorongnya untuk melakukan ibadah di tempat yang sepi dan ramai. Masing-masing akan dilakoninya selama sebulan.
“Oleh karenanya sejak empat puluh hari yang lalu, aku pergi ke sini,” katanya memberi jawaban.
Saat itu, Syekh Dzun Nun sangat lapar sekali. Dan di saat yang sama, ia juga penasaran bagaimana cara si keponakan itu memenuhi kebutuhan perutnya (makan dan minum). Tanpa diduga, Fulanah langsung bertanya kepada kepada sang paman apakah ia lapar. Syekh Dzun Nun mengiyakan.
Fulanah langsung berdoa kepada Allah, “Ya Allah pamanku lapar dan ia senang melihatku dekat denganMu”
Tanpa waktu lama, Allah SWT langsung menurunkan manna, yakni makanan yang warnanya putih melebihi susu dan manisnya melebihi madu. Syekh Dzun Nun pun menyantapnya. Hal ini benar-benar membuatnya takjub.
Namun ada yang mengganjal dalam benak Syekh Dzun Nun. Dalam pengetahuannya, manna adalah makanan yang sepaket dengan salwa. Namun, mengapa ia tidak turun bersama manna. Ia pun bertanya kepada Fulanah, “Lantas, dimana salwa?”
“Setelah ini juga akan turun, Paman” jawab Fulanah.
Benar, salwa turun dari langit. Setelah Syekh Dzun Nun menyantapnya, Fulanah pergi meninggalkan pamannya itu.
Kisah ini terdapat dalam kitab al-Nawadir karya Ahmad Shihabuddin bin Salamah al-Qalyubi.[1] Selain bagaimana Fulanah memiliki doa mustajab, salah satu hikmah lainnya yang terdapat dalam kisah ini adalah usaha yang dilakukan Syekh Dzun al-Mishri dalam mencari keponakannya.
Terbaca dalam kisah di atas, sebelum mencarinya, Syekh Dzun terlebih dahulu berdoa dan melakukan tirakat/riyadhah (olahjiwa). Olahjiwa ini dilakukan agar Allah berkenan mengabulkan hal-hal yang diinginkannya.
Bentuk tirakat itu bermacam-macam. Intinya menghindarkan nafsu dari hal-hal yang disenanginya. Dalam konteks kekinian, olahjiwa tidak selalu diwujudkan dalam bentuk puasa dan shalat sunnah. Bisa lebih umum dan lebih banyak lagi.
Misalnya, menghindari menonton tayangan dan membaca tulisan (atau bahkan menyebarkan) tulisan yang berbau ghibah, hoax, provokasi, dan lain sebagainya. Hal ini agaknya yang disenangi nafsur di era sekarang. Semoga kita selalu bisa menjaga jiwa dari hal-hal yang negatif dan tidak bermanfaat. Amin.
Sumber:
al-Qalyubi, Ahmad Shihabuddin bin Salamah. al-Nawadir. Jeddah: al-Haramain, t.th.
[1] Ahmad Shihabuddin bin Salamah al-Qalyubi, al-Nawadir (Jeddah: al-Haramain, t.th.), h. 40-41.