Banyak yang mempertanyakan perilaku Nuh saat membangun sebuah bahtera besar yang jauh dari laut dan sungai. Nuh dianggap sebagai orang gila oleh kaumnya. Keraguan yang disematkan kepada Nuh sebenarnya merupakan bagian dari ketidakimanan mereka terhadap risalah yang telah dibawa oleh Nuh.
Saat Bahtera Nuh telah usai, Nuh diperintahkan untuk memasukkan semua kaumnya yang beriman beserta hewan-hewan secara berpasang-pasangan.
Mendung mulai menyelimuti tanah Nuh. Tidak ada celah cahaya sama sekali. Siang saat itu bagaikan malam karena tertutup mendung tebal. Hujan dan banjir bisa kapan saja melanda, tinggal menunggu perintah dari Yang Maha Kuasa, Allah Swt.
Saat hujan mulai turun, Nuh memastikan semua rombongannya benar-benar masuk ke Bahtera, termasuk seluruh keluarganya. Karena bagaimanapun juga, keluarga adalah bagian dari kehidupan setiap orang. Keluarga adalah suatu hal yang harus diutamakan.
Begitu juga dengan Nabi Nuh. Risalah yang dibawanya mengajak semua kaumnya untuk beriman kepadanya dan masuk ke dalam Bahtera yang telah dibangunnya seorang diri, tak terkecuali keluarganya.
Sementara dalam barisan kaumnya yang mulai masuk ke dalam Bahtera, Nuh masih belum melihat tanda-tanda keikutsertaan istri dan anak-anaknya.
Nuh mulai mencari bagian-bagian keluarganya yang tertinggal. Saat ia bertemu istrinya, sang Istri malah menolak mentah-mentah ajakannya. Sang Istri malah meragukan keabsahan risalah yang dibawanya. Ia lebih mempercayai para pembesar kaumnya yang dari awal menolak dakwah suaminya, Nuh.
Nuh sangat sedih, karena ia tidak mampu mengajak istri yang ia cintai beriman kepada Allah dan risalah yang ia bawa. Ia tertunduk lesu. Ia masih berharap agar sang istri berubah fikiran dan mau menerima ajakannya.
Sayangnya, itu adalah harapan kosong bagi Nuh. Istrinya tetap durhaka. Sambil berlalu, ia sama sekali tak mau menengok kebelakang. Pilihannya sudah bulat. Mengikuti para pembesar kaumnya yang sangat ia hormati melebihi hormatnya terhadap sang suami dan risalah yang dibawa suaminya.
Nuh mencoba mengikhlaskan Istrinya. Setelah gagal mengajak sang Istri, Nuh mencoba mencari keberadaan sang putra. Putranya yang bernama Kan’an juga masih belum terlihat di antara kerumunan kaumnya.
Sementara hujan sudah mulai turun. Mendung-mendung gelap yang menyelimuti kaum Nuh sudah mulai berubah menjadi hujan yang siap membinasakan kaumnya.
Nuh melihat anaknya di kejauhan. Kan’an sedang mengayuh tali menaiki gunung. Ia percaya bahwa azab yang dijanjikan itu tak akan pernah bisa menjangkau dirinya jika ia lari ke gunung.
Air semakin tinggi, mengejar seorang Kan’an yang dengan pongahnya menolak ajakan sang ayah dan lebih memilih jalannya sendiri, menaiki gunung yang tinggi. Sementara banjir semakin tinggi. Banjir itu mulai menenggelamkan semua hal yang ditemuinya. Bahkan gunung yang dinaiki Kan’an pun mulai tenggelam.
Nuh yang iba dengan putranya mulai mengarahkan bahteranya ke gunung tempat sang putra berpijak.
“Wahai anakku, raihlah tanganku, naiklah ke bahtera bersama kaummu yang selamat!”
“Tinggalkanlah aku, aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat menyelamatkanku dari air bah!”
“Wahai anakku, hari ini tidak ada yang dapat memberikan keselamatan kecuali keselamatan dari Allah Swt.”
Ajakan seorang ayah itu serta merta ditolak oleh sang anak. Ia sama sekali tidak memerdulikan keselamatannya. Ia telah menjadi bagian dari kaum Nuh yang kafir.
Nuh melihat anaknya tenggelam dan binasa di depan matanya. Ia begitu sedih melihat keluarganya binasa karena kekafirannya.
Seketika Allah memberikan jawaban atas kegelisahannya.
“Wahai Nuh, mereka sejatinya bukanlah keluargamu. Keluargamu yang sejati adalah yang memercayai risalah dan beriman kepadamu. Sebaliknya, orang yang mengingkarimu dan mendustakan kalimat Tuhanmu, mereka telah keluar dari ikatan keluargamu.”