Rakyat Indonesia harus berhati-hati dalam menyebarkan sebuah berita atau informasi, terutama di media sosial (Medsos). Tak jarang masyarakat harus berurusan dengan aparat penegak hukum (APH) gara-gara memposting berita yang belum jelas dari mana sumber berita itu.
Untuk itu, setiap orang dituntut cerdas dalam menilai, memilih dan memilah mana berita atau informasi yang benar-benar valid sebelum disebarluaskan ke publik. Dengan begitu, tidak akan menimbulkan kekacauan dan konflik di tengah-tengah masyarakat.
Tidak hanya bagi masyarakat umum, seorang jurnalis atau wartawan khususnya juga harus bijak dalam menyuguhkan berita kepada masyarakat. Untuk memperoleh suatu berita, wartawan sebaiknya terlebih dahulu melakukan tabayun (konfirmasi) kepada narasumber dengan rinci dan jelas agar informasi yang diperoleh bisa dipercaya kebenarannya.
Sebab, berita yang tidak jelas sumbernya dapat membentuk opini, respon dan sikap yang beragam dari para pembaca. Sehingga tidak memberikan pencerahan kepada masyarakat, malah menimbulkan konflik hingga terjadi adu fisik di tengah masyarakat. Atas dasar itulah, seorang wartawan sangat berperan penting dalam mencerdaskan dan menciptakan kondisi aman, nyaman dan kondusif antar sesama masyarakat.
Ada sebuah cerita inspiratif bagi masyarakat dan seorang wartawan yang selalu bergelut dengan informasi atau berita. Cerita ini menegaskan, agar tidak gampang percaya terhadap berita yang didengar dan diperoleh. Namun, harus melakukan tabayun (klarifikasi) sedalam-dalamnya dan sejelas-jelasnya terkait berita yang beredar sebelum disebarluaskan kepada orang lain lewat media apapun.
Ceritanya, seorang Khalifah bernama Harun Al-Rasyid, marah besar kepada Abu Nawas, sahabat karibnya. Ia ingin menghukum Abu Nawas karena dirinya mendapat laporan bahwa Abu Nawas telah berfatwa tidak mau rukuk dan sujud dalam shalat. Lebih-lebih lagi, Abu Nawas mengatakan bahwa Harun Al-Rasyid merupakan Khalifah yang suka memfitnah. Kabar ini pun sampai kepada sang khalifah.
Harun Al-Rasyid terpancing setelah mendengar laporan pembantu-pembantunya dan memerintahkan agar Abu Nawas segera ditangkap dan layak dihukum pancung karena melanggar syariat Islam dan menyebar fitnah.
Untungnya, ada seorang pembantunya yang memberikan saran supaya Khalifah melakukan tabayun kepada yang bersangkutan. Akhirnya, Abu Nawas pun digeret menghadap sang Khalifah.
“Apa benar kamu berpendapat tidak perlu rukuk dan sujud dalam shalat, hai Abu Nawas?” Tanya Khalifah
“Benar, saudaraku,” jawab Abu Nawas, dengan tenang.
Khalifah bertanya lagi dengan nada tinggi, “Apa benar kamu mengatakan kepada masyarakat bahwa aku seorang Khalifah yang suka memfitnah?”
Abu Nawas kemabali menjawab, “Benar, saudaraku”.
Khalifah kembali berteriak menggelegar, “Kamu pantas dihukum mati, kamu telah melanggar syariat Islam dan menyebar fitnah tentang khalifah.”
Abu Nawas pun tersenyum sambil berkata. ”Saudaraku, memang aku tidak menolak bahwa aku telah mengeluarkan dua pendapat tadi, tapi sepertinya kabar yang sampai padamu tidak lengkap. Kata-kataku dipelintir, seolah-olah aku berkata salah”.
Kemudian Khalifah berkata, “Maksudmu apa? Jangan membela diri, tadi kamu telah mengaku dan mengatakan kabar itu benar adanya.”
Abu Nawas pun berdiri dan menjelaskan dengan tenang, “Saudaraku, aku memang berkata tidak perlu rukuk dan sujud dalam shalat, tapi dalam shalat apa? Waktu itu aku sedang menjelaskan tata cara shalat jenazah yang memang tidak perlu rukuk dan sujud”.
“Terus, bagaimana soal aku yang suka memfitnah?” Tanya Khalifah lagi.
Dengan senyum, Abu Nawas menjawab, ”Kalau soal itu, aku lagi sedang menjelaskan tafsir ayat 28 surat Al-Anfal, yang berbunyi ketahuilah bahwa kekayaan dan anak-anakmu hanyalah ujian bagimu. Sebagai seorang khalifah dan seorang ayah, anda sangat menyukai kekayaan dan anak-anak, berarti anda suka “fitnah/ujian”.
Pesan tersirat dari kisah Abu Nawas tersebut sangatlah berharga dan cocok jadi pegangan bagi masyarakat, khususnya bagi yang bergelut di dunia jurnalis atau menjadi wartawan. Untuk itu, harus melakukan tabayun atau konfirmasi terlebih dahulu terkait berita yang diperoleh sebelum hendak di publikasikan.
Wallahu a’lam.