Alkisah, di Baghdad ada seorang tetangga Ishaq bin Ahmad al-Qattha al-Baghdadi yang menjadi tabib para ahli Al-Qur’an. Dan tabib tersebut sering mengunjungi dan memeriksa orang-orang shalih. Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Hibban dalam Raudlatul Uqala’, suatu ketika tabib tersebut pergi menemui Imam Ahmad bin Hanbal yang sedang bersedih. Dia kemudian bertanya kepada Ahmad bin Hanbal, “Bagaimana keadaanmu wahai Abu Abdillah?”
Imam Ahmad lalu menjawab, “Aku baik-baik saja.”
Mendapat jawaban dari Imam Ahmad, tabib itu pun masih penasaran dan kembali bertanya, “Baik bagaimana?”
Imam Ahmad bin Hanbal kemudian bercerita, “Aku telah mendapat ujian dengan fitnah (Khalqul Qur’an), sehingga aku dicambuk. Lalu mereka mengobatiku, dan aku merasa sudah sembuh. Hanya saja, aku masih merasakan sakit pada tulang punggungku. Rasa sakitnya jauh melampaui rasa sakit akibat cambukan yang aku alami.”
Mendengar Imam Ahmad bercerita, tabib itu pun berkata kepadanya, “Coba singkapkan tulang punggungmu kepadaku.”
Ahmad bin Hanbal kemudian menyingkapkan tulang punggungnya untuk diperlihatkan kepada tabib tersebut. Namun tabib tidak melihat apapun selain bekas cambukan. Ia pun berkata, “Aku belum tahu penyebabnya, tapi aku akan mencoba mencari tahu.”
Setelah keluar dari rumah Imam Ahmad bin Hanbal, tabib tersebut segera menemui temannya yang menjaga penjara. Kepada temannya tersebut, ia berkata, “Aku ada sedikit keperluan, bolehkah aku masuk ke penjara?”
“Masuklah,” jawab teman si tabib seraya mempersilahkannya.
Tabib itu pun langsung masuk ke dalam penjara. Dia kemudian mengumpulkan para pemuda. Kepada mereka, dia kemudian membagi-bagikan uang dirham yang dibawanya. Setelah itu, dia banyak berbicang-bincang dengan para pemuda yang ada di penjara. Dan mereka pun merasa senang dengan keberadaan tabib tersebut.
Setelah berhasil mengambil hati para penghuni penjara, si tabib pun bertanya kepada mereka, “Siapa di antara kalian yang paling banyak dicambuk?”
Mendengar pertanyaan tersebut. Mereka pun saling membanggakan diri mereka masing-masing, hingga akhirnya mereka sepakat pada satu orang yang paling banyak dicambuk dan paling benar.
Kepada orang yang paling banyak dicambuk tersebut, Tabib kemudian bertanya, “Bolehkan aku bertanya sesuatu?”
Orang tersebut pun menjawab, “Silakan.”
Si tabib kemudian mulai bercerita kepada orang tersebut, “Ada seorang kakek tua yang lemah. Apa yang ia lakukan tidak seperti yang telah kalian lakukan. Ia dicambuk dalam keadaan lapar agar ia mati. Tapi belum mati juga. Kemudian ia diobati, dan ia sembuh. Hanya saja, pada bagian tulang punggungnya, ia masih merasakan sakit yang dahsyat hingga ia tidak mampu menahannya.”
Mendengar cerita tersebut, tiba-tiba orang yang ditanyai tertawa. Tabib pun heran dan bertanya, “Ada apa denganmu kok tertawa?”
Ia lalu menjawab, “Orang yang mengobatinya adalah tukang tenun!”
Mendengar jawaban tersebut, Tabib pun terkejut dan berucap, “Benarkah?!”
Orang itu kemudian kembali berkata, “Ia membiarkan sepotong daging mati tertinggal pada rusuknya. Dan ia tidak mencabutnya.”
Mendengar penjelasan tersebut, tabib pun semakin penasaran dan bertanya, “Bagaimana rekayasa tersebut bisa terjadi?”
Orang itu kemudian berkata, “Ia membedah tulang rusuknya. Lalu ia mengambil sepotong daging itu, dan meletakkan pada tulang rusuknya. Jika daging itu dibiarkan, ia akan sampai pada hati hingga ia bisa menyebabkan kematian.”
Setelah mengetahui hal tersebut, tabib pun bergegas meninggalkan penjara, dan menemui Imam Ahmad. Setelah bertemu dengan Imam Ahmad, dia menceritakan apa yang telah diketahuinya. Imam Ahmad pun bertanya, “Jika demikian, siapa yang akan membedahku lagi?”
“Aku yang akan membedahnya.” Jawab tabib kepada Imam Ahmad.
Jawaban tersebut pun membuat Imam Ahmad kaget. Dia pun kembali bertanya kepada tabib, “Kamu yang akan melakukannya?”
“Ya. Aku yang akan melakukannya.” Jawab si tabib dengan penuh keyakinan.
Setelah itu si tabib pun segera masuk ke rumah. Dia kemudian keluar dengan membawa dua bantal, dan meletakkan handuk di bahunya. Satu bantal disiapkan untuk dirinya dan satu bantal untuk Imam Ahmad. Saat Imam Ahmad sudah duduk di atas bantal, dia pun berkata, “Mintalah pilihan terbaik kepada Allah agar dia memilihkan yang sesuai untukmu.”
Tabib itu kemudian mengusapkan handuk pada tulang punggung Imam Ahmad seraya berkata, “Tunjukkan kepadaku mana daerah yang sakit.”
Imam Ahmad lalu berkata, “Letakkan jarimu pada punggungku, aku akan memberitahumu.”
Sambil memegang punggung Imam Ahmad, tabib bertanya, “Apakah di sini tempat yang sakit?”
“Alhamdulillah, itu baik-baik saja.” jawab Imam Ahmad
“Apakah ini yang sakit?” tanya tabib.
Imam Ahmad pun menjawab, “Alhamdulillah, itu baik-baik saja.”
“Apakah ini yang sakit?” tanya tabib.
“Ya , di situ. Aku memohon kesehatan kepada Allah.” Jawab Imam Ahmad.
Tabib akhirnya mengetahui daerah yang sakit setelah beberapa kali mencari titiknya. Dia kemudian meletakkan pisau panas. Saat merasakan panasnya pisau, Imam Ahmad meletakkan tangan di kepalanya seraya berucap, “Ya Allah, ampunilah Mu’tashim!“. Dan ia selalu berkata seperti itu Hingga tabib berhasil membedahnya.
Setelah berhasil membedahnya, si tabib kemudian menjahit kembali luka yang dialami Imam Ahmad. Di tengah-tengah menahan rasa sakit tersebut, Imam Ahmad kembali berucap, “Ya Allah. Ampunilah Mu’tashim.” Hal tersebut diucapkan hingga akhirnya ia merasa tenang.
Sesaat setelah proses pengobatan tersebut, suasana pun menjadi hening. Si tabib pun lalu bertanya kepada Imam Ahmad, “Wahai Abu Abdillah, biasanya orang yang telah mendapatkan penganiayaan dari orang lain ia akan mendo’akan buruk orang yang menganiayanya. Tapi aku melihat dirimu mendo’akan baik kepada Mu’tashim.”
Imam Ahmad lalu menjawab, “Aku juga memikirkan seperti apa yang kamu ucapkan. Namun, ia adalah keturunan paman Rasulullah saw. Aku tidak ingin saat hari kiamat nanti, aku datang dengan membawa permusuhan terhadap salah seorang dari kerabat Rasulullah saw. Aku sudah memaafkannya.”
Begitu mulianya akhlak para ulama yang menjadi pewaris para Nabi. Mereka memberikan tauladan kepada kita semua. Ketika mereka disakiti dan didholimi, balasannya justru mendoakan kebaikan kepada orang yang telah menyakiti dan mendholiminya, memaafkan kesalahannya, dan tidak memendam dendam apapun, seperti yang dilakukan oleh Imam Ahmad bin Hanbal.
Oleh sebab itulah, tetaplah mendoakan kebaikan kepada orang-orang pernah menyakiti kita. Karena hal tersebut adalah perintah agama.