Meneladani Buya Hamka, Sosok Ulama-Pahlawan yang Pemaaf

Meneladani Buya Hamka, Sosok Ulama-Pahlawan yang Pemaaf

Buya Hamka adalah teladan dan begini anak muda mengenangnya

Meneladani Buya Hamka, Sosok Ulama-Pahlawan yang Pemaaf

Siapa yang tak kenal dengan sosok legendaris yang satu ini. Beliau aalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau yang kerap dipanggil dengan nama Buya Hamka. Beliau lahir di Maninjau, 17 Februari 1908 dan  merupakan ketua Majelis Ulama Indonesia yang pertama. Beliau juga merupakan seorang tokoh perjuangan kemerdekaan, jurnalis, sastrawan, filsuf, politisi serta ulama. Kemudian, beliau juga mendapat gelar Doktor Honoris Causa dari 3 kampus bergengsi yaitu Universitas Al-Azhar Mesir, Universitas Kebangsaan Malaysia dan Universitas Prof. Moestopo Beragama meski tanpa mengenyam pendidikan formal.

Namun siapa sangka dibalik berbagai gelar hebat yang diterimanya, Buya Hamka menyimpan berbagai kisah pilu yang kaya akan pelajaran dan sarat akan makna. Beberapa hikmah beserta kisah tersebut antara lain:

Pertama, Berdamai dengan diri sendiri.  Hamka mengalami pahitnya perceraian kedua orang tua ketika masih belasan tahun. Akibat peristiwa traumatis tersebut, Hamka dicap sebagai anak nakal dan pembangkang.

Pada awalnya, Hamka memiliki kebencian yang luar biasa pada sang Ayah karena perceraian yang dilakukannya. Namun, Hamka menjadi luluh hatinya setelah mendapat nasihat “Obatilah hati ayahmu yang letih”. Berdasarkan kisah tersebut, Buya Hamka memberikan contoh bagaimana pentingnya berdamai dengan diri sendiri. Sebab bagaimana pun juga, ayah Buya Hamka adalah orang tua yang harus dihormati dan dipatuhi.

Kedua, Belajar Memaafkan. Buya Hamka yang pernah dipenjara saat rezim Soekarno dengan tuduhan merencanakan pembunuhan terhadap Sukarno, sebuah tuduhan yang mengada-ada. Saat di penjara, Hamka kerap mendapatkan perlakuan keji oleh para sipir penjara. Namun, dalam beberapa kesempatan, beliau justru bersyukur dengan peristiwa tersebut.

“[…] saya merasa itu semua merupakan anugerah yang tiada terhingga dari Allah kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan kitab tafsir Alquran 30 juz. Bila bukan dalam tahanan, tidak mungkin ada waktu saya untuk menyelesaikan pekerjaan itu,” tutur Hamka.

Setelah pemerintahan Soekarno berakhir dan Hamka telah dibebaskan, sebuah pesan diterima oleh Hamka. Pesan tersebut berisikan permintaan Soekarno agar Buya Hamka berkenan menjadi imam sholat jenazahnya kelak. Beberapa hari kemudian, Soekarno wafat. Buya Hamka menerima permintaan tersebut, menjadi imam sholat jenazah Soekarno, meskipun sempat dipenjara saat rezim Soekarno.

Kejadian serupa juga terjadi dengan Moh. Yamin. Buya Hamka selalu berselisih paham dengan Moh. Yamin. Irfan Hamka, anak Buya Hamka, mengisahkan pertentangan keduanya amat sengit. Moh. Yamin sangat tersinggung oleh pandangan-pandangan Hamka soal Pancasila. Perbedaan pandangan politik di antara keduanya tak lagi dapat disatukan.

Pada 1962, Moh. Yamin jatuh sakit. Chaerul Saleh, yang juga seorang putra Minang sekaligus Menteri Perindustrian Dasar & Pertambangan saat itu, menyambangi Hamka di rumahnya untuk menyampaikan pesan Yamin. Hamka mengabulkan permintaan Yamin, orang yang amat benci padanya selama hidup. Bersama Chaerul Saleh, Hamka bersegera ke RSPAD, tempat Yamin dirawat. Melihat kedatangan Hamka, Yamin meneteskan air mata.

Hamka lalu menggenggam tangan dan menalkinkan Yamin, hingga ia meninggal dunia. Dua cerita di atas merupakan contoh bagaimana sikap pemaaf Buya Hamka terhadap hal apapun yang menimpanya.

Ketiga, Mengobati Jiwa ala Hamka. Menurut Buya Hamka, baik jiwa maupun raga dapat mengalami sakit atau terluka. Terdapat empat syarat untuk mengobati jiwa menurut Buya Hamka.

Pertama, Syaja’ah, yang berarti berani karena kebenaran dan takut atau berhati-hati apabila melakukan kesalahan. Kedua, ‘iffa, yang berarti tidak berprasangka. Ketiga, Hikmah, yaitu mampu mengambil pelajaran dari pengalaman. Terakhir, ‘adaalah, yang artinya adil walaupun tergadap diri sendiri.

Berdasarkan kisah-kisah dan pemikiran Buya Hamka di atas, lalu bagaimana cara kita meneladaninya? Pada dasarnya orang yang paling tahu tentang kejadian yang menimpa kita adalah diri kita sendiri. Orang lain adalah cermin dari apa yang terjadi terhadap diri kita. Kita bisa mencoba bertukar pikiran dengan orang yang memang kita percaya sebagai cermin atas diri kita. Karena menemukan hikmah tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Oleh sebab itu ada konsep yang bernama kesabaran.Kesabaran ini mudah diucapkan. Namun, sulit untuk dipraktekkan. Itulah yang Buya Hamka praktekkan dalam kehidupan. Mungkin tanpa penderitaan, tanpa kesabaran, tanpa prinsip kuat dalam memegang tali-tali agama, Buya Hamka tidak akan menjadi Buya Hamka yang kita kenal sekarang ini. Sabar bukan berarti pasrah pasif. Akan tetapi, sabar adalah tentang bagaimana kita menanggapi apa yang menimpa dalam kehidupan kita. “Tidak ada kenyamanan dalam zona bertumbuh dan tidak ada pertumbuhan dalam zona nyaman”.