Ini kisah bulan Syawal tiga tahun lalu, yakni kisah ayahku yang didatangi pengurus Hizbut Tahrir Jawa Timur.
Pengurus HTI Jawa Timur yang mendatangi Ayahku di rumah berjumlah tiga orang. Dia masih muda-muda. Bahkan usia mereka di bawah saya.
Awalnya ayahku enggan menemui mereka. Sebab, sudah berkali-kali mendengar kalau mereka menganggap NKRI adalah negara taghut, disebabkan berdasar Pancasila, bukan agama.
Ayahku tersingung dengan statemen-stetemen mereka tentang NKRI, padahal, sebagian yang yang mendirikan negeri ini, adalah ulama, sesepuh, orang-orang alim dan saleh yang telah mengorbankan segalanya untuk dakwah Islam.
Karena itu, ayahku meminta Jazuli, adikku, agar menemui mereka. “Jazuli, Kamu sajalah yang menemui mereka. Terima dengan baik, sebagaimana tamu,” kira-kira itu yang perintahkan ayahku pada Jazuli.
Tapi karena obrolan-obrolan tamu itu bernuansa politik, sering kali kalimat-kalimat dan obrolannya ‘berat’. Dan dengan terpaksa, Jazuli menyampaikan bahwa ayah tidak sreg menemui tiga pemuda tersebut.
“Sudahlah Mas, lahan dakwah sampeyan kan ada sendiri, tidak usah melibatkan ayahku,” kata Jazuli kepada mereka.
Tapi mereka tetap bersikeras minta bertemu ayahku untuk silaturrahim.
Akhirnya ayahku bersedia menerima tapi tanpa memberi kesempatan mereka berbicara sedikit pun. Bapakku langsung “menguliahi” mereka dengan beberapa penekanan-penekanan:
“Muktamar NU di Banjarmasin menetapkan bahwa Indonesia ini Darul Islam, walaupun waktu itu masih dijajah Belanda. Mengapa begitu, karena di Indonesia dulunya sudah ada kerajaan-kerajaan Islam.”
“Selain itu dengan penetapan itu maka para pejabat yang terkait dengan masalah pernikahan bisa melakukan proses pernikahan di bawah payung hukum yang sah. Mengapa dulu para kyai memberi gelar waliyyul amridh dharuri bisy syawkah kepada Bung Karno? Supaya tidak ada kekosongan hukum, apalagi waktu itu Kartosuwiryo mengaku sebagai pemimpin negara Islam.”
“Jika terjadi kekosongan hukum, nanti berbagai aturan di bawahnya tidak berlaku, termasuk produk para petugas pencatat pernikahan bisa tidak berlaku. lha kalau tidak berlaku kan tidak sah, kalau tidak sah, berarti yang menikah waktu itu dihukumi zina semua, lha kalau seperti itu kan bisa rusak semua.”
“Termasuk Anda semua ini yang menganggap Pancasila itu taghut, Indonesia itu taghut. Berarti kalau Anda menganggap seperti itu Anda bisa-bisa termasuk keturunan pezina. Sebab produk hukum negara Pancasila ini sudah lama sejak sebelum Anda lahir. Hati-hati ya, kalau ngomong. Sudah bgitu saja. Maaf saya tida bisa bincang-bincang lebih banyak lagi. Lanjutkan dengan anak saya.”
itulah yang dikatakan oleh ayahku. Setelah itu, ayahku pamitan, menyalami tiga pemuda, yang kata adik saya, sangat terkejut. (Muhamad Nuh, tinggal di Sidoarjo)