Suatu hari, Abdurrahman bin Ahmad bin ‘Athiyyah al-‘Ansiy (biasanya disebut Abu Sulaiman ad-Daraniy, w. 212 H), sedang melakukan perjalanan haji bersama temannya. Ketika itu, kondisi alam sedang sangat dingin-dinginnya.
Di tengah perjalanan, ada musibah yang menimpa teman al-Daraniy. Satihah (wadah makanan) miliknya hilang, jatuh entah ke mana. Kebetulan wadah itu berisi air. Ia lantas memberitahu al-Daraniy atas hilangnya bekalnya tersebut,“wadah makananku jatuh entah dimana. Kita sekarang tak punya minuman”.
Mendapat informasi itu, al-Daraniy lantas berdoa kepada Allah Swt dengan mengucapkan, “Wahai Zat yang maha mengembalikan barang yang hilang. Wahai Zat yang memberi hidayah kepada orang yang tersesat. Kami mohon, kembalikanlah barang kami yang hilang!.” Seketika itu, tiba-tiba ada seseorang yang memanggil-manggil, “hai, siapa yang kehilangan wadah makanan ini?”
“Aku,” jawab teman al-Daraniy. Ia pun lantas bergegeas ke arah orang itu dan mengambil wadah makanannya itu.
Al-Daraniy dan temannya lantas melanjutkan perjalanan. Keadaan masih sama dinginnya. Mereka memakai pakaian dari bulu binatang (semacam jaket). Hingga di suatu tempat, mereka bertemu dengan seorang lelaki yang “aneh bin ajaib”. Lelaki itu hanya menggunakan pakaian biasa, bukan jaket. Bahkan, dalam kondisi yang sangat dingin itu, badan orang itu justru bercucuran keringat.
Al-Daraniy menawarkan bantuan kepada lelaki tersebut, “Maukah kami aku beri baju seperti yang kami pakai?”
“Wahai al-Daraniy, panas dan dingin adalah ciptaan Allah. Jika Dia berkehendak, maka mereka berdua (panas dan dingin) akan datang kepadaku. Pun jika Dia tidak berkehendak, maka mereka berdua juga akan pergi dariku,” kata lelaki itu menasehati.
Ia juga menambahkan, “Bukankah engkau telah melakukan zuhud, namun mengapa kamu masih merasa kedinginan? Aku seperti ini (tidak merasa kepananasan dan kedinginan) sudah sejak tiga puluh tahun. Aku tak pernah menggigil dan gemetar. Ketika musim dingin, Allah selalu memberi baju yang terbuat dari cintaNya. Dan ketika musim panas, Allah memberiku baju dengan dinginnya cintaNya”. (Dua kalimat terakhir adalah kiasan yang artinya (kira-kira) adalah perlindungan Allah, pen.)
Kisah di atas, penulis baca dari kitab al-Risalah al-Qusyairiyyah karangan al-Imam Abu al-Qasim al-Qusyairi dan kitab Sifah al-Shafwah karya Ibnu Jauzi. Dari kisah ini, kita bisa belajar dan menjadi semakin paham bahwa yang terjadi di dunia ini, apapun itu (dalam kasus di atas, panas dan dingin), pasti atas kehendak Allah Swt. Jika Dia berkehendak, maka suatu hal akan terjadi, sesulit apapun itu. Sebaliknya, kalau Dia tak berkehendak, maka tak akan pernah terjadi, semudah apapun itu. KehendakNya adalah segalanya.
Allah Swt berfirman:
“Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: “Jadilah!” maka terjadilah ia.” (QS. Yasin [36]: 82)
Dalam tafsir Mahasin al-Takwil karya Muhammad Jamaluddin bin Muhammad Sa’id bin Qasim al-Hallaq al-Qasimi, ayat ini menunjukkan bahwa kehendak Allah Swt sangat berkaitan dengan terwujudnya sesuatu hal.
Apapakah ini berarti bahwa kita tidak perlu takut sesuatu selain Allah Swt? Bukankah semua atas kehendakNya? Iya, benar. Tapi jangan sampai hal ini membuat kita ceroboh. Kita tetap harus menggunakan akal sehat dan mempertimbangkannya matang-matang, terutama terhadap hal-hal yang bisa menciderai/melukai kita.
Menggunakan akal sehat juga sebagai bentuk taat dan takut kepadaNya. Misalnya, terkait dengan covid-19 yang sedang mengguncang dunia sekarang ini, kita tetap harus menjalankan protokol kesehatan agar tak tertular atau menularkannya.
Ayat di atas, hanya sebagai penegasan betapa kuasa Allah Swt. yang terjadinya suatu hal apapun harus atas kehendakNya. Ada sebuah ungkapan menarik, “Ana urid, wa anta turid, wa lakinnallaha yaf’alu ma yurid” (Aku ingin (berkehendak), kamu ingin, tapi Allah tetap akan mengerjakan apa yang Dia inginkan). Wallahu a’lam.