Alkisah, ada seorang laki-laki Bani Israil yang suka maksiat dan berbuat keji. Suatu hari ia mandi di sebuah sungai. Tiba-tiba terdengar suara air berseru, “Wahai Fulan! Tidakkah engkau malu? Mengapa belum juga kau bertobat dari perbuatan dosa dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi?”
Mendengar ada suara teguran, laki-laki itu segera keluar dari air dengan perasaan takut seraya berucap, “Aku tidak akan maksiat lagi kepada Allah!” Kemudian ia pergi ke suatu gunung yang di sana terdapat 12 orang laki-laki yang kerjaannya tidak lain kecuali hanya beribadah kepada Allah swt. Akhirnya laki-laki itu pun ikut tinggal bersama mereka, hingga suatu ketika tempat tinggal mereka dilanda kemarau panjang yang memaksa mereka turun mencari tempat rimbun. Tanpa disadari, ternyata mereka sampai di sebuah sungai yang pernah mengeluarkan suara teguran kepada laki-laki Bani Israil.
Ketika mereka sedang mendekati sungai tersebut, laki-laki itu berkata kepada mereka, “Aku tidak mau pergi bersama kalian.”
Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Qudamah al-Maqdisi dalam kitabnya at-Tawwabin, melihat tingkah laku laki-laki tersebut, mereka pun heran, lalu bertanya, “Mengapa?” Dia pun menjawab, “Karena di sana ada seseorang yang telah memperlihatkan kesalahanku kepada diriku sendiri. Oleh karena itu, aku malu bertemu dengannya.” Laki-laki Bani Israil itu kemudian pergi meninggalkan teman-temannya di sungai tersebut.
Setelah 12 orang ahli ibadah sampai di tujuan, sungai itu mengeluarkan sebuah suara, “Wahai para ahli ibadah! Apa yang telah dilakukan oleh teman kalian itu?”
Mereka menjawab, “Menurut pengakuannya, di sini ada seseorang yang telah memperlihatkan kesalahannya pada dirinya, sehingga dia malu untuk bertemu.”
Sungai itu kemudian kembali berkata, “Subhanallah! Sesungguhnya, jika salah seorang kalian memarahi anak atau salah seorang kerabatnya, kemudian si anak tadi menyesali kesalahannya dan kembali melakukan apa yang disukainya pasti ia akan kembali dicintai. Sesungguhnya teman kamu itu telah bertaubat dan kembali pada apa yang aku sukai. Oleh karena itu aku telah mencintainya. Pergilah pada laki-laki itu dan beritahukanlah dia. Setelah itu beribadahlah kalian kepada Allah di pinggir sungai ini.”
Mereka kemudian memberitahukannya kepada laki-laki itu, dan akhirnya ia turut bersama mereka. Mereka kemudian beribadah kepada Allah di sungai tersebut untuk beberapa waktu.
Tidak lama kemudian meninggallah laki-laki yang dulunya melakukan banyak perbuatan maksiat. Dan sungai itu pun kembali berkata, “Wahai para ahli ibadah yang zuhud! Mandikanlah dia dengan airku dan makamkanlah di tepi sungaiku agar di hari kiamat nanti dia dibangkitkan berdekatan denganku.”
Mereka segera melakukan pesan tersebut. Setelah selesai mereka berkata, “Kita akan bermalam di kuburnya untuk menangisinya. Pada pagi hari kita berangkat.”
Mereka pun bermalam di kuburnya penuh dengan tangis. Ketika malam telah larut dan rasa kantuk mereka tidak tertahan lagi. Sehingga pada saat mereka terjaga pada pagi harinya, Allah swt telah menumbuhkan 12 batang pohon Sarwah di atas kuburnya. Inlah pohon Sarwah pertama yang tumbuh di muka bumi.
Menyaksikan hal itu, mereka berkata, “Tidaklah Allah menumbuhkan pohon ini pada tempat ini kecuali karena Allah menyukai kita beribadah di sini.” Mereka kemudian memutuskan untuk beribadah kepada Allah di kuburan tersebut. Dan ketika salah seorang di antara mereka meninggal, mereka menguburnya di samping kuburannya, sampai mereka meninggal semua di sana.
Kisah Israilliyat di atas memberikan sebuah pelajaran penting bahwa, hidup seseorang itu bisa berubah kapan saja. Yang asalnya sering melakukan maksiat, bisa bertobat dan menjadi ahli ibadah kepada Allah swt. dan taubatnya seseorang itu bisa melalui beragam jalan yang terkadang tidak mampu dicerna akal sehat manusia.