Oleh: Ren Muhammad
JARAK sepelemparan batu dari pesantren tempatku nyantri di Pandeglang, ada seorang kiyai aneh yang kelakuannya sulit dinalar secara awam. Semua orang di kampung santri ini tahu ia memang kiyai. Tak satu pun yang meragukannya. Menepis kekiyaiannya, sama dengan mencederai akal sehat. Sebab sosok yang satu ini telah teruji waktu dalam mengemban amanah dunia para kiyai. Pesantrennya yang masih bercorak salafi, tak bernama. Jumlah santrinya tak pernah lebih dan kurang dari angka 20 saja. Tapi tak satu pun kiyai di sini yang berani menolak undangannya untuk duduk mengaji pada setiap malam Jumat. Sebab mereka takut kualat.
Padahal secara kasat, Kiai Musykil, begitu ia akhirnya dinamai oleh para kiyai sejawat, jauh dari kesan alim. Siapa pun kalian yang melihatnya kali pertama pasti takkan percaya bila ia gemar melakukan dosa. Kecuali syirik, semua dosa yang pernah dilakukan Kiyai Musykil, pasti ada saksinya. Jadi ini bukan ghibah, apalagi fitnah. Semua dosa itu sudah terkonfirmasi pada yang bersangkutan. Aku tak perlu mencantumkan deretan dosa itu di sini kan? Toh kita semua tahu apa dan bagaimana dosa itu sebenarnya. Tapi anehnya, kekaguman orangorang pada kiyai ini malah tak pernah luntur. Malah sebaliknya. Apalagi sejak seorang kiyai muda yang sedang berhaji, memergokinya shalat Jumat di Masjid l-Haram. Meskipun semua orang di sekitaran pondokannya tahu, ia tak pernah keluar dari Pandeglang.
Terpantik rasa penasaran, aku memberanikan diri menyambangi Kiyai Musykil usai mengaji kitab Sullam l-Munajah di pondok. Pagi itu, ia tengah duduk santai di sebuah saung dekat kobong santrinya, sambil menghisap kretek ditemani segelas kopi. Setelah menguluk salam dan mencium tangannya, aku dipersilakan duduk. Persis di hadapannya. Itulah kali pertama aku bertemu Kiyai Musykil dengan niat mengaji tentang dosa. Belum lagi mulutku terbuka, ia sudah keburu bicara, “Sebanyak apa pun amal dan pahalamu, tetap bergantung pada Ridha Allah. Segunung apa pun dosaku, jauh lebih besar lagi Rahmat-Nya. Tak ada satu pun makhluk di semesta ini yang bisa suci apalagi mendekati kesucian-Nya. Kita manusia, terkodrat untuk selalu berada dalam kesalahan dan lupa. Tiada yang lebih mulia di antara kita kecuali Allah saja yang mengetahui.” Mendengar itu aku hanya bisa merunduk, malu. Setidaknya pada diri sendiri. []
Omah Prabata, 12 Rajab 1437 H